Fenomena menyebarnya virus corona telah menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pedagang asongan hingga direktur perusahaan, dari bidan hingga peragawan, semua mengikuti perkembangan berita tentang corona di media massa, baik cetak, elektronik hingga online.Â
Corona memang sedang menjadi berita utama: tidak hanya menjadi gejala, tapi sudah mewabah di seluruh dunia. Informasi tentangnya muncul setiap saat, setiap waktu.
Kita dipasok informasi oleh media dalam beragam bentuk: reportase, analisa atau feature, hingga dari share, tag atau retweet postingan, komentar atau pesan konten online.Â
Informasi tentang corona, dan segala yang terkait dengannya, ada dimana-mana -- mulai dari obrolan di kantin dan saat rapat ketika kita masih boleh berkantor atau berita di koran, majalah dan situs berita online, televisi hingga gawai ketika kita diminta mengisolasi diri setelah wabah ini menyebar luas.
Kita mengalami "banjir informasi" tentang corona. Tapi jika kita terkena banjir, tak ada air yang bisa diminum, apakah kita bisa "meminum" sesuatu dari banjir informasi tentang corona?Â
Kita tahu informasi bernilai aktualitas, daya tarik, dan rasa ingin tahu yang ditimbulkan. Dengannya, ada ratio informasi-aksi yang berarti seberapa jauh informasi bisa melahirkan tindakan.
Dalam konteks corona, informasi itu ada yang memberi manfaat langsung, dalam arti membuat publik bertindak positif: pesepakbola Cristiano Ronaldo menghibahkan hotel miliknya menjadi rumah sakit untuk pasien corona, milyader Jack Ma menyumbang dana pembelian alat-alat kesehatan hingga artis Nikita Mirzani mendonorkan uang untuk pengadaan masker pencegahan tersebarnya virus.
Tapi pada saat yang sama, informasi juga dapat menjadi komoditas, sesuatu yang tidak mempunyai hubungan dengan kegunaan maupun maknanya, juga dengan konteks sosial maupun intelektualnya.Â
Hal ini terbukti dengan penyajian ragam berita tentang corona -- mulai dari ditepiskannya etika jurnalistik dengan dibukanya data mengenai penderita dan penggalian berita tentangnya yang terkesan beringas dan tidak proporsional, pemaknaan wabah penyakit yang dikaitkan dengan hal-hal diluar nalar (klenik, tahayul hingga fatwa sepihak) hingga beragam versi berita bohong (hoax). Dengannya, informasi menjadi terdekontekstualisasi.
Akibatnya, informasi media tidak membuat masyarakat bertindak positif. Yang terjadi malah perilaku diluar nalar seperti panic buying terhadap barang-barang seperti masker dan hand sanitizer serta penimbunan barang-barang kebutuhan rumah tangga atas nama persiapan lockdown yang mungkin saja bakal terjadi.Â
Alih-alih simpati, empati dan toleransi kepada masyarakat yang lebih membutuhkan, beberapa kalangan malah melakukan swab test pribadi secara khusus dan eksklusif bagi anggota keluarganya.Â
Padahal telah muncul berbagai postingan tweet, update status atau meme yang viral di media sosial: kemana aja tuh orang-orang yang biasanya pamer saldo ATM di infotainment.. duitnya buat beliin masker dong. Atau: dulu waktu kampanye bagi-bagi kaos, sekarang rakyatnya pada sakit dan butuh masker, pada diem aja. Banjir informasi corona di media mempunyai dua sisi mata pisau yang sama tajam.
Bereaksi Positif
Seharusnya banyak yang bisa "diminum" dalam banjir informasi corona. Hal ini karena corona berkonteks massal: menjadi pandemi di wilayah global, bahkan mulai mengancam orang-orang di sekitar kita. Informasi itu harus memiliki manfaat praktis yaitu membuat masyarakat memiliki kepastian dalam bertindak.Â
Media tidak sekadar memberitakan tetapi juga membantu publik merumuskan situasi yang dihadapinya. Berita-berita informatif yang dikemas dalam format soft news atau feature dan bersifat human interest juga bisa membuat publik bereaksi positif.
Begitu juga dengan penyebarluasan anjuran social distancing terhadap pertemuan, kerumunan dan acara-acara yang melibatkan banyak massa. Acara pernikahan, hiburan hingga agenda keagamaan dan sosial kemasyarakatan lainnya harus ditunda atau bahkan perlu dibatalkan. Kegiatan pendidikan, perkantoran hingga peribadatan juga dilakukan di rumah.
Tidak hanya sebagai usaha mencegah makin luasnya penyebaran virus corona kepada orang lain di sekitar kita, media massa bisa mendidik kesadaran dan jiwa masyarakat: bahwa anjuran membiasakan mencuci tangan setelah berkegiatan, sebelum dan sesudah makan yang kerap kali ditegaskan, tidak hanya berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan.Â
Ia juga menandai jiwa yang sehat -- mensana in corpore sano, seperti juga kebiasaan membersihkan diri sebelum beristirahat dan sebagai syarat sebelum beribadah.Â
Social distancing yang diterapkan juga menyiratkan pengajaran nilai disiplin, toleransi dan kerja sama sehingga kita bisa berempati dalam solidaritas, kebersamaan dan kegotongroyongan. Dengannya, media massa telah menjalankan fungsi persuasif.
Dampaknya bisa kita lihat: masyarakat bertindak simpatik dengan mengirim rangkaian bunga, bingkisan makanan dan doa harapan kepada para dokter, perawat dan tenaga medis yang bekerja keras menangani pasien penderita virus corona yang terus bertambah.Â
Sumbangan bagi kerja penanganan corona juga terus bermunculan. Basis relasi kemanusiaan antar manusia itu adalah kesetaraan moral tanpa melihat ideologi, agama, kepercayaan dan latar belakangnya.Â
Dengannya, infomasi tentang merebaknya virus corona membuat media menciptakan "banjir informasi" yang bisa "diminum" oleh masyarakat yaitu informasi yang kontekstual dan menumbuhkan kesadaran tentang realitas kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H