Saya adalah manusia beruntung.
Pertama, bisa pergi ke kabupaten Rote Ndao, yaitu wilayah NKRI paling selatan tanpa keluar ongkos dari kantong sendiri. Hal ini karena saya ditugasi oleh Majelis Pendidikan Kristen Indonesia untuk menjadi trainer dalam Lokakarya Intensif bagi guru PAUD di Rote Ndao, pada 1-3 Juni 2023.
Kedua, saya beruntung karena dapat mencicipi naik pesawat Grand Caravan Cesna. Mungkin ini agak norak, tetapi saya bisa terbang dengan pesawat Susi Air itu mimpi yang menjadi nyata.
Jadi ceritanya begini. Secara tidak sengaja suatu malam saya menonton vlog di Youtube tentang seorang pengelana yang naik pesawat Cesna Grand Caravan milik Susi Air dari Pangandaran ke Jakarta.Â
Saya jarang sekali menonton video panjang di Youtube dari awal hingga akhir. Akan tetapi video malam itu adalah pengecualian. Â Usai menonton, saya ngudarasa sendiri: "Kapan ya bisa naik pesawat Cesna seperti Susi Air itu? Kayaknya asyik nih."
penerbangan dilanjutkan ke bandara El Tari di Kupang.Â
Eh paginya, saya mendapat tugas berangkat ke Rote Ndao, yang salah satu moda transportasinya adalah dengan naik Susi Air. Tanggal 30 Mei, saya terbang dari bandara Adi Sumarmo, Solo. Setelah transit sebentar di Denpasar,
Di sana saya harus menginap semalam di Kupang karena penerbangan ke Rote Ndao hanya ada satu kali yaitu pukul 7:30 pagi. Â Malam itu, saya memakai kesempatan untuk wisata kuliner bahari di Kampung Solor.Â
Di sini kita bisa menikmati ikan yang baru mati satu kali. Ini adalah becandaan orang Kupang untuk mengatakan bahwa ikan yang mereka masak benar-benar segar dan baru saja ditangkap dari laut.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar kami bergegas menuju ke bandara El Tari untuk check in Susi Air. Sejak awal saya diwanti-wanti supaya tidak banyak bawaan sebab bagasi maksimal untuk Susi Air adalah 10 kg. Karena memakai pesawat mungil, maka berat total yang akan diangkut harus dihitung dengan cermat. Itu sebabnya, semua penumpang juga harus ditimbang badannya.
Panggilan boarding sesuai dengan jadwal. Keunikan lain dari maskapai ini adalah boarding pass yang ditulis tangan. Tidak ada nomor kursi yang tertera. Sama seperti di angkot, penumpang bebas memilih duduk di kursi mana saja. Yang penting bukan menduduki pilot dan ko pilot. Â
Saya beruntung bisa mendapatkan kursi persis di belakang belakang. Saat tahu bahwa pilot dan ko pilotnya orang asing, teman saya nyeletuk, "Tenang saja pak. Pilotnya bule.""Lho, apa hubungannya?" tanya saya.
"Pilot bule sangat disiplin pada aspek keselamatan penerbangan," jawabnya. "Mereka tidak akan mau terbang kalau tidak benar-benar aman," lanjutnya.
Oh, baiklah. Saya mengiyakan. Saya sebenarnya cukup tenang dan konfidens untuk terbang dengan pesawat kecil ini. Saya bahkan pernah naik pesawat yang lebih kecil, yang hanya dua tempat duduk, yaitu untuk pilot dan saya.Â
Saat itu saya terbang dari bandara Adisucipto Yogyakarta ke pangkalan udara Wiriadinata di Tasikmalaya. Saya melihat keseriusan pilot dalam mengecek kesiapan pesawat. Termasuk juga mengecek kondisi cuaca di bandara asal dan tujuan.
Pesawat Cesna mengudara dengan mulus. Ada goyangan sedikit di awal-awal, namun setelah itu penerbangan ditempuh dengan mulus. Karena saya begitu bersemangat, maka saya agak banyak merekam video penerbangan ini.
Setelah terbang selama 20 menit, kami mendarat landasan pacu sepanjang 1500 meter di Bandar Udara David Constantijn Saudale. Â
Bandara ini dibangun tahun 1969 dengan nama bandara Lekunik. Â Kemudian pada tahun 2010 diubah menjadi Bandar Udara David Constantijn Saundale untuk menghormati tokoh pemrakarsa pembangunan lapangan terbang di Pulau Rote ini.
Sebelum pandemi, bandara ini dilayani oleh dua maskapai yaitu Susi Air dan Wings Air. Selama pandemi, tidak ada penerbangan sama sekali ke pulau ini. Setelah badai Covid reda maka baru Susi Air yang melayani penerbangan ke pulau terluar ini. Itu saja, mereka hanya melayani 3 kali selama seminggu.
Untuk kepulangannya, jika harus terbang lagi, maka harus menunggu lama. Maka saya putuskan untuk pulang dengan naik kapal cepat dari pelabuhan Ba'a menuj uKupang. Â
Ba'a termasuk dalam salah satu pelabuhan kelas III di jalur Tol Laut yang merupakan perwujudan program NawaCita Pemerintah, yaitu membangun dari pinggiran dan perbatasan terluar.
Pelabuhan Ba'a memiliki  fasilitas gedung terminal penumpang seluas 400 m2 yang baru selesai dibangun tahun 2015. Gedung terminal tersebut  mampu menampung hingga 200 orang penumpang.
Setiap harinya pelabuhan ini melayani angkutan kapal penumpang dengan kapal cepat  berkapasitas hingga 200 orang yang melayani rute Kupang-Rote pergi pulang (PP) satu kali sehari.
Harga tiket:
VIP Rp. 202.000,-
Eksekutif Rp. 172.000,-
Sebenarnya tidak banyak perbedaan antara kelas VIP dan Eksekutif. Bedanya, kalau kelas VIP ada di dek paling atas. Sedangkan kelas eksekutif ada di bagian lambung (sebelah bawah).
Kalau di lambung, penumpang lebih merasakan hempasan ombak, sedangkan jika di bagian atas akan lebih merasakan lebih banyak goyangan kapal.
Setelah menempuh pelayaran selama 1,5 jam, kami berlabuh di Pelabuhan Tenau Kupang. Di sini, saya harus menginap semalam lagi untuk menunggu penerbangan keesokan paginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H