Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berbagi Kebahagiaan pada Anak Sumba di Masa Pandemi

22 Desember 2020   01:11 Diperbarui: 22 Desember 2020   01:23 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unit Radio FM dikirim menggunakan JNE

Pandemi Corona telah menghentikan proses belajar di sekolah. Anak-anak harus belajar di rumah. Seorang teman di Sumba Timur mengeluh bahwa anak-anak tidak punya akses internet. Namanya Aprissa Taranau. "Anak-anak belajar dari fotokopian yang diantarkan langsung oleh guru," jelas Aprissa Taranau.  Aprissa adalah seorang pegiat literasi. Ia mendirikan taman baca "Hambila Humba" di Sumba Timur, NTT. "Karena wilayah yang harus dijangkau sangat luas, maka fotokopian hanya diserahkan tanpa penjelasan memakainya. Guru harus buru-buru pergi ke tempat lain" tambahnya.

Saya lalu teringat seorang teman yang menjadi relawan tanggap bencana. Namanya mas Sulis. Jika terjadi bencana besar, dia akan pergi ke lokasi bencana untuk mendirikan stasiun radio darurat. Stasiun radio ini dapat menjadi media komunikasi yang pas untuk wilayah nir-sinyal internet. Saya berinisiatif untuk mendirikan stasiun radio komunitas. Rencananya, guru akan mengajar dari studio radio dan anak-anak mendengarkan di rumah.

Ide ini membutuhkan biaya yang besar, yaitu: a. Perangkat pemancar radio, dan b. Radio penerima. Setelah menghubungi beberapa pihak, saya berhasil mengumpulkan biaya yang dibutuhkan. Pada bulan September 2020, saya memesan unit pemancar radio FM berkekuatan 300 watt.

Selain itu, juga memesan 90 unit radio FM yang akan dibagikan kepada anak-anak. Saya membeli melalui marketplace yang ada di Jakarta.  Karena jumlah yang dipesan cukup banyak, maka saya memilih menggunakan fasilitas JNE trucking untuk dikirim ke Klaten. Pesanan pemancar radio dan unit radio penerima terkirim sesuai dengan rencana.

Unit Radio FM dikirim menggunakan JNE
Unit Radio FM dikirim menggunakan JNE

Sebelum berangkat, mas Sulis mengetes pemancar radio di Klaten.  Semuanya normal dan siap di-packing. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana memasukkan antena radio ke dalam pesawat ATR yang  hanya bisa menerima kargo maksimal 1,5 meter. Padahal meskipun sudah dipotong-potong, namun masih ada satu bagian yang panjangnya 2 meter. Akhirnya diputuskan untuk memotong bagian itu menjadi dua.

****

Pandemi juga memukul bisnis penerbangan. Jumlah penerbangan turun drastis. Akibatnya, kami kesulitan memilih penerbangan Sumba, baik itu dari bandara Solo atau Yogyakarta. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat dari bandara, Juanda di Surabaya. Itu artinya kami harus menempuh perjalanan darat dari Klaten ke Surabaya. Untungnya sudah ada jalan tol sehingga dapat ditempuh dengan cepat.

Hari Minggu siang kami berangkat. Kami memutuskan menginap semalam di Juanda supaya hari Senin pagi kami bisa terbang ke Waingapu, Sebelum ke penginapan, kami mlipir dulu ke bagian pergudangan di bandara. Di sana kami mengirimkan pemancar, antena dan perangkat lain sebagai barang kargo. Saat itu, karyawan perusahaan kargo memberitahu bahwa tidak ada penerbangan ke Waingapu pada hari Senin. Saat itu kami tidak begitu memperhatikan informasi itu.

Saat di penginapan, ada kiriman SMS dari maskapai bahwa mereka membatalkan penerbangan Kupang ke Waingapu. Saat itulah saya baru ngeh dengan info dari karyawan kargo tadi. Saya lalu menghubungi call centre mereka yang susahnya bukan main. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya tersambung juga. Kami diberi pilihan:

Pertama, menginap semalam lagi di Surabaya dan terbang hari Selasa; atau

Kedua, tetap terbang dari Surabaya ke Kupang pada hari Senin, kemudian baru terbang ke Waingapu pada keesokan harinya. Sama-sama harus mengeluarkan biaya ekstra untuk penginapan, saya pilih opsi kedua. Setidaknya bisa menikmati satu malam di Kupang.

Malam itu juga, saya membuka aplikasi untuk mencari penginapan di Kupang. Ada satu hotel di dekat bandara. Saya pernah menginap semalam di sana saat pertama kali ke Kupang. Saya tetapkan memilih hotel ini. Saat akan membayar, ternyata harus dengan kartu kredit. Padahal kartu kredit saya ketinggalan di rumah. Akhirnya, saya kirim WA ke istri untuk menanyakan kode CVV. Namun karena istri sedang ada kegiatan lain, maka dia tidak segera merespons.

Saat sedang menunggu respons istri itu, ada WA masuk dari teman di Kupang. Rupanya dia membaca story di WA-ku. Teman saya ini berasal dari Klaten namun sekarang bekerja di Kupang.  Karena sedang pandemi, maka dia tidak berani menawarkan menginap di rumahnya. Sebagai gantinya, dia mencarikan hotel sekaligus membayarinya. Dan penginapan tersebut adalah hotel yang sedang akan saya bayar. Ajaib kan?

Senin pagi, kami berangkat empat jam sebelum jadwal penerbangan untuk mengantisipasi antrian pemeriksaan surat Rapid-test. Pemeriksaan pertama adalah validasi surat rapid test. Pihak bandara menyediakan banyak meja sehingga tidak perlu antrian. Proses selanjutnya adalah check in seperti biasanya.

Pukul 14 WITA kami sudah mendarat di bandara Eltari. Sebelum keluar, kami harus mengisi EHAC yang sudah diinstal di HP. Pada EHAC ini kita harus mengisi data diri, asal dan tujuan, nomor penerbangan dan nomor kursi. Bagi penumpang yang tidak menginstal aplikasi maka ada barisan tersendiri untuk ditanyai oleh petugas. Sedangkan jika sudah mengisi di aplikasi, maka petugas akan scan kode bar pada HP penumpang. Sehingga antrian lebih cepat. Di bandara ini, penumpang juga harus menunjukkan surat keterangan rapid test yang valid.

Karena menginap semalam di Kupang, akhirnya saya bisa ngobrol dengan sesama Coklat (Cowok Klaten) yang bertugas di kota ini.

Selasa pagi, kami bersiap terbang ke Waingapu. Begitu turun dari pesawat, petugas mengarahkan para penumpang untuk mencuci tangan. Setelah berdiri di antrean untuk dicatat oleh petugas secara manual. Tiga jam kemudian pesawat yang ditumpangi pak Suginto dan Albert dari Denpasar mendarat. Mereka ikut bergabung dengan kami. Setelah makan siang, kami lalu meluncur ke kecamatan Lewa.

Hari berikutnya, kami segera menyiapkan tiang antena. Karena pembatalan penerbangan, maka kami hanya punya dua hari untuk memasang pemancar radio. Hal pertama yang kami lakukan adalah membeli 3 pipa besi dengan diameter besar, sedang, dan kecil. Namun ternyata kami tidak menemukan ukuran yang sesuai rencana. Maka kami memutuskan untuk mengelas 3 batang pipa yang tersedia. Tidak ada akar, rotan pun jadi. Dalam situasi darurat, karus bisa berimprovisasi. Untungnya persis di seberang bakal lokasi studio radio, ada tukang las yang mahir dan cekatan. Hanya dalam waktu 3 jam, mereka dapat menyambung 3 pipa itu.

Sore harinya, dengan bantuan warga lokal, mereka beramai-ramai menegakkan antena. Akan tetapi apa daya, karena terlalu bersemangat dan kurang koordinasi, tiang antena tersebut malah melengkung. Tak ada pilihan lain. Pipa yang bengkok itu harus dibuang dan dilas kembali.  Tukang las dipanggil untuk mengerjakannya hingga sampai malam. "Kalau dipikir-pikir, sungguh ajaib bahwa di daerah pelosok ada tukang las. Bahkan jaraknya hanya sepelemparan batu dari  lokasi stasiun radio. Malam itu juga, tiang antena radio dapat ditegakkan.

Tiang antena melengkung sehingga harus dipotong dan dilas kembali
Tiang antena melengkung sehingga harus dipotong dan dilas kembali

Keesokan harinya, tim mulai menyambungkan antena dengan pemancar dan alat siar lainnya. Siaran uji coba akhirnya terlaksana pada hari itu. Siangnya, bersama dengan pak Suginto meluncur ke Taman Baca "Hambila Humba", Praikauiki, Lewa.  Di sana kami memberi 90 set radio kepada anak-anak . Tak lupa disertakan baterai karena aliran listrik belum masuk ke wilayah tersebut. Anak-anak ini tidak dapat bersekolah karena pandemi.

Dari pantauan saat itu, siaran radio dapat ditangkap dengan jernih.  Bahkan siaran radio ini dapat menjangkau wilayah dalam radius 30 km. Stasiun radio yang bersiaran di gelombang 107,7 FM ini diberi nama "Pelita FM" dengan harapan dapat menjadi penerang bagi warga di Sumba. Ini adalah stasiun radio komunitas pertama di pulau Sumba. Satu-satunya radio komersial hanya ada di Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur. Siaran TV juga tidak menjangkau pulau ini.

Studio radio tangga darurat pandemi Korona
Studio radio tangga darurat pandemi Korona

Saat membereskan peralatan,  seorang dosen di STT memberi informasi kepada kami bahwa lokasi antena sebenarnya rawan petir. Pada musim hujan sering terjadi sambaran petir. Mendengar hal itu, mas Sulis spontan mendongak memeriksa ketinggian antena. Ternyata ujung antena masih di bawah bangunan lain. Aman. 

"Coba kalau kemarin pipa besinya itu tidak dipotong. Bisa jadi antena radio itu rawan tersambar petir karena antenanya terlalu tinggi. Demikian kata mas Sulis. Karena insiden yang membuat pipa bengkok, sehingga harus dipotong, maka tiang antena itu aman dari sambaran petir. Ajaib kan?

---

Hari ketiga di Lewa, kami harus berkemas karena malam itu juga kami harus ke Waingapu. Kami harus mengejar pesawat pagi sehingga kami menginap di dekat bandara. Malamnya maskapai bikin ulah lagi. 

Rute penerbangan pak Suginto diubah. Dari Waingapu menuju ke Denpasar. Tapi setelah itu rutenya ke Lombok, sebelum akhirnya ke Jakarta. Dari Timur ke barat, lalu balik ke timur lagi, setelah itu akhirnya ke barat. Rute yang aneh di masa pandemi ini.

Saat ke Sumba, kami sudah membawa 90 unit radio FM untuk anak-anak. Akan tetapi jumlahnya belum cukup. Maka kami memutuskan untuk menggalang dana lagi, Namanya program "Hadiah Natal untuk Anak di Sumba." 

Puji Tuhan, kami mendapatkan 120 unit radio FM untuk menyantuni anak-anak di  Sumba Timur pada awal Desember. Semoga kiriman tersebut sudah sampai sebelum 25 Desember sehingga dapat menjadi hadiah Natal bagi anak-anak di kecamatan Lewa, Sumba Timur, NTT.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun