Transisi A: Pada bagian ini partisipan menceritakan gejala awal yang muncul sebelum peristiwa traumatik itu terjadi. Misalnya, pada korban pembantaian, partisipan bercerita bahwa sebelum terjadi pembunuhan massal, dia melihat helikopter berputar-putar di atas di kampungnya.
Fase 2: Selanjutnya partisipan menceritakan kejadiannya. Bagaimana peristiwa itu terjadi?
Transisi B: Partisipan mengisahkan dimana posisinya ketika hal itu terjadil Apa yang dilakukannya sesaat setelah kejadian itu.
Fase 3: Pada bagian ini, partisipan menceritakan keadaan hidupnya setelah kejadian. Perubahan apa yang terjadi?
Transisi C: Partisipan membagikan nilai atau ajaran agama yang diyakininya saat ini.
Fase 4: Partisipan membagikan mimpi atau harapan atas kehidupan yang ingin didapatkannya pada masa datang.
Dalam kenyataannya, proses penceritaan tidak bisa berurutan. Misalnya dimulai dari fase 4, lalu melompat ke fase 2, lalu ke fase 3 dan seterusnya. Hal itu tidak menjadi masalah karena storytelling tidak harus berjalan secara linier.
Pada beberapa orang, ada kemungkinan mengalami kesulitan dalam bercerita. Pada penyintas yang traumatik hambatan mereka bertambah lagi karena mereka harus mengingat kembali kejadian yang tidak menyenangkan itu.
Simbol
Untuk itu dapat penggunaan benda simbolik dapat menjadi pintu masuk dalam bercerita. Pada dasarnya setiap hari kita menggunakan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang sulit untuk digambarkan. Â Aktivitas: Setiap partisipan membawa simbol tentang penyembuhan. Setiap hari kita menggunakan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang sulit digambarkan. Dalam trauma healiang, metafora dapat digunakan untuk mulai dari anak-anak sampai dengan usia lanjut. Metafora membantu manusia untuk mengekspresikan diri sendiri.