[caption id="attachment_183882" align="aligncenter" width="645" caption="Belajar dengan metode partisipatif"][/caption]
Setelah menyelesaikan pelatihan "Peace Education: Concepts and Approaches"(PECA), pada minggu berikutnya saya memilih kelas "Strengthening Peace Education Training Skills" (SPETS). Pelatihan ini diselenggarakan oleh Mindanao Peacebuilding Institute di kota Davao, Filipina, tanggal 21-25 Mei 2012.
Minggu kedua ini merupakan masa-masa yang paling berat. Gigi geraham saya mendadak berdunyut-denyut. Rasa sakit itu menjalar ke atas. Kepala saya seperti ditusuk-tusuk dengan jarum. Saya lalu minta obat ke sekretariat, ternyata mereka tidak menyediakan. Saya lalu meminta tolong panitia agar membelikan di apotik, tapi mereka hanya membeli satu butir. Alasannya, harga obatnya mahal. Padahal pembayarannya menggunakan uang saya. Akhirnya saya putuskan untuk membeli sendiri tambahan obat penahan sakit itu.
Sesampai di Indonesia, saya memeriksakan ke dokter gigi. Saat memeriksa gigi saya, dokter mengetuk-ngetuk gigi yang bermasalah itu.
"Sakit pak?" tanya dokter gigi.
"Tidak," jawab saya.
Dia lalu menyemprotkan sesuatu pada gigi itu.
"Kalau sekarang terasa ngilu?"
"Tidak."
Dokter mengambil kesimpulan gigi itu sudah mati. "Saat terasa sakit yang terakhir itu, syaraf-syaraf gigi bapak mulai mengalami kematian." Dia menawarkan untuk mencangkokkan syaraf baru pada gigi saya itu. Sampai tulisan ini dibuat, terapi itu belum dijalankan.
***
Fasilitator yang memandu pelatihan minggu kedua ini adalah Wendy Kroeker dan Mirriam L. Siacito. Wendy Kroeker adalah pelatih dan penulis kurikulum untuk pelatihan transformasi konflik. Instruktur pada Departemen Penelitian Perdamaian dan Transformasi Konflik pada Universitas Mennonite di Kanada. Perempuan Kanada ini memiliki pengalaman yang luas di bidang mediasi ketenagakerjaan di Kanda dan berbagai negara di Asia. Dia juga memegang sertifikat Mediasi dan Resolusi Konflik yang diberikan oleh Resolution Skills Centre di Winnipeg, Canada. Wendy juga meraih gelar M.A. di bidang teologi dengan fokus pada Teologi Kotemporer dan Perdamaian.
Mirriam L. Siacito adalah Direktur Eksekutif pada Yayasan Nagdilaan yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat dan perdamaian di antara komunitas muslim di propinsi Basilan,Mindanao. Dia memiliki pengalaman selama 30 tahun di bidang pengorganisasian, pendidik, konselor trauma dan pelatih di antara masyarakat akar rumput di daerah rawan konflik di Mindanao. Deddete, demikian nama panggilannya, juga termasuk di dalam 1000 perempuan yang secara kolektif dinominasikan sebagai penerima Hadian Nobel pada tahun 2005.
[caption id="attachment_183883" align="aligncenter" width="576" caption="Bermain lempar bola untuk saling mengenal"]
Seperti biasa, pada awal pelatihan diisi dengan perkenalan di antara partisipan. Wendy mengajak partisipan melempar bola sambil menyebut nama orang yang dilempari bola. Sebagian partisipan sudah saling mengenal karena mengikuti kelas PECA. Namun ada juga partisipan yang baru. Partisipan diajak menuliskan nama panggilan di bagian tengah kertas. Pada bagian kiri partisipan menggambar simbol tentang wisdom. Pada bagian kanan menggambar simbol dari pekerjaan masing-masing.
Setelah menuliskan harapan-harapan yang ingin didapatkan selama pelatihan, partisipan bermain "musical chairs" yang telah dimodifikasi. Permainan aslinya begini: Fasilitator mengatur kursi di tengah ruangan membentuk lingkaran. Jumlah kursinya adalah sebanyak partisipan dikurangi satu. Jadi jika jumlah partisipan ada 20 orang maka jumlah kursinya adalah 19 buah. Partisipan Partisipan berjalan mengelilingi kursi itu sambil bernyanyi. Saat fasilutator berkata, "duduk!" maka partisipan harus berebut tempat duduk. Partisipan yang tidak mendapat kursi harus keluar dari permainan. Karena jumlah partisipan berkurang satu, maka kursinya juga dikurangi satu.
Namun karena pelatihan ini adalah tentang perdamaian, maka ada perubahan aturan permainan. Jumlah kursinya dikurangi satu demi satu, namun partisipan tidak ada yang dikeluarkan dari permainan. Partisipan yang mendapat kursi harus mencari cara agar partisipan lain yang tidak mendapat kursi bisa duduk. Caranya, ada yang berbagi kursi. Satu kursi diduduki berdua. Ada juga yang memangku partisipan lain. Ketika jumlah kursinya semakin sedikit, maka permainannya menjadi semakin sulit.
Permainan ini untuk mengajarkan tentang inklusivitas, berbagi dan saling mendukung. Di dunia ini, manusia hidup menggunakan sumber-sumber yang terbatas. Kursi-kursi itu melambangkan sumber-sumber kehidupan yang semakin terbatas dari hari ke hari. Permainan kursi musik yang asli menggambarkan budaya perang (culture of war) dalam berebut sumber-sumber penghidupan. Pihak yang paling kuat dan paling cekatan akan mampu menguasai sumber penghidupan. Pihak yang lemah akan tersingkir. Dalam budaya perdamaian (culture of peace) diajarkan tentang cara mengelola konflik kepentingan secara beradab dan menghindari penggunaan kekerasan.
Selanjutnya partisipan diajak menulis kata-kata kunci tentang "Peace Education" pada selembar kertas indeks. Kertas ini ditempelkan di kertas plano dan dibahas bersama-sama. Wendy kemudian menunjukkan rumusan Pendidikan Perdamaian menurut versi Haris (1988):
Pendidikan Perdamaian adalah upaya pemberdayaan masyarakat dengan ketrampilan, sikap dan pengetahuan:
a. Untuk membangun, memelihara dan memulihkan hubungan antar manusia pada semua aras.
b. Untuk mengembangkan pendekatan yang positif di dalam menangani konflik, mulai dari aras lokal hingga aras internasional.
c. Untuk menciptakan lingkungan yang aman, baik secara fisik maupun emosional,
d. Untuk menciptakan dunia yang aman berdasarkan keadilan dan HAM.
e. Untuk membangun lingkungan yang lestari dan melindunginya dari eksploitasi dan perang.
Wendy selanjutnya menjelaskan tentang tahapan pembelajaran. Ada empat tahapan saat seseorang belajar sesuatu. Bermula dari peristiwa atau kejadian, manusia kemudian merenungkan dan mengumpulkan informasi yang relevan. Hasil dari perenungan ini terbitlah kesimpulan yang menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan.
Proses ini menjadi prinsip yang penting dalam pendidikan perdamaian. Wendy mencontohkan di sebuah wilayah di Afganistan akan dibangun jalan yang melintasi dua kelompok masyarakat yang sudah lama bertikai. Rencana pembangunan jalan ini hampir saja gagal karena konflik yang tidak usai. Lalu datanglah LSM yang menjadi penengah di antara mereka. Setalah diteliti, ternyata pembangunan ini dapat merugikan kepentingan tuan-tuan tanah yang selama bertahun-tahun mengambil untung dari keterpencilan itu. Dua kelompok ini akhirnya menyadari bahwa selama ini mereka diperalat oleh tuan-tuan tanah. Akhirnya, jalan itu berhasil dibangun.
Prinsip yang menonjol adalah pendidikan perdamaian adalah cara belajar orang dewasa (adult learning). Wendy merangkum prinsip-prinsip ini dalam beberapa kalimat kunci:
- Kita belajar sesuatu dengan melakukannya.
- Kita memiliki panca indera.
- Kita belajar jika kita sudah siap.
- Kita membangun hubungan.
- Kita belajar satu hal dalam satu waktu.
- Kita belajar lebih cepat jika hasilnya memuaskan kita.
- Kita butuh untuk memahami apa yang kita pelajari.
- Kita mengembangkan ketrampilan melalui praktik.
- Kita berbeda antara satu dengan lainnta dalam hal kemampuan dan latarbelakang hidup.
***
Usai makan siang, partisipan diminta untuk mengingat pengalaman tentang training yang paling berkesan, kemudian menggambarkan dalam bentuk rumah. Di dalam rumah itu ada berbagai aspek yang dapat dijadikan simbol. Misalnya: lantai menyimbolkan pengetahuan dan pengalaman. Dua hal ini menjadi fondasi yang penting dalam pelatihan. Lalu di pintu menyimbolkan keterbukaan. Kesediaan untuk menerima hal-hal yang baru termasuk aspek penting dalam pelatihan.
Pada bagian akhir, Wendy membagikan kualifikasi yang sebaiknya dimiliki oleh para peace educator:
- Menjadi agen perubahan
- Termotivasi untuk melayani di dalam masyarakat
- Pembelajar seumur hidup
- Aktor transformasi kebudayaan
- Membangun hubungan baik dengan orang lain
- Memiliki kepekaan gender
- Banyak bertanya
- Pemimpin yang reflektif
- Memiliki ketrampilan berkomunikasi dan menyelesaikan konflik
- Bisa bekerja sama dalam tim
- Mampu mencari berbagai alternatif solusi
[caption id="attachment_183885" align="aligncenter" width="645" caption="Aktivitas kelompok"]
***
Selain kelas SPETS, panitia juga menyelenggarakan kelas "Approaches to grassroots Peacebuilding: Interreligious Dialogue and Zones of Peace", kelas "Resources-Based Conflict Transformation Initiatives: A Community Perspective", kelas "Conflict Resolution Skills: Medation, Negotiation and Dialogue" dan kelas "Religion: Dialogue, Theories and Practice for Peacebuilding."
[caption id="attachment_183886" align="aligncenter" width="645" caption="Semua Peserta Training MPI berfoto bersama"]
Baca juga:
- Catatan Perjalanan: Kesasar di Singapura
- Peace Building Training Note
- Catatan Pelatihan “Peace Building” (1)
- Peace Zone di Filipina | Catatan Pelatihan “Peace Building” (2)
- Melongo di Davao
- Menyerap Metode Partisipatif dalam Pelatihan Peace Education
- Menyemai Perdamaian Batin [Oleh-oleh dari Filipina]
- Belajar Tentang Prinsip Belajar Orang Dewasa
- Komunikasi Nir-Kekerasan
- Masuk Zona Ketidak-Nyamanan
- Pemulihan Trauma Berbasis Masyarakat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H