Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kolaborasi Gereja dan Banser NU

9 Januari 2011   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erupsi Merapi menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar lerengnya mati karena terbakar dan tertutup pasir. Kalau punggung Merapi dibiarkan gundul, maka bencana serupa di Wasior berpotensi terjadi. Pada pertengahan musim hujan ini, adalah saat yang tepat untuk  menghijaukan kembali lereng Merapi. Maka pemuda gereja dan Banser NU (Bantuan Serba Guna Nahdatul Ulama) bahu-membahu menanam bibit pohon di desa Balerante, kecamatan Kemalang, Klaten, 6 Januari 2010.

****

Setelah wilayah bahaya diturunkan di bawah radius 5 km dari puncak Merapi, maka satgas Derap Kemanusiaan dan Perdamaian segera mengirimkan puluhan ribu bibit pohon ke desa Balerante. Akan tetapi karena tenaga warga tersita untuk membresihkan puing-puing rumah mereka, maka mereka belum sempat menanam bantuan bibit tersebut. Lagipula tanggungjawab penanaman itu memang tidak semata-mata untuk warga Balerante. Warga yang ada di bagian bawah juga berkepentingan untuk penanaman kembali vegetasi di Merapi sebagai konservasi sumber air bersih mereka. Maka kami lalu mengajak  teman-teman dari Banser NU untuk bersama-sama menanam bibit itu. Gayung pun bersambut. Malam sebelumnya, kami mengadakan rapat koordinasi di rumah makan Andalas. Antusiasme Banser NU ditunjukkan dengan kehadiran komandan Banser tingkat kabupaten, para komandan sektor dan provost. Selain Baser NU, komponen yang terlibat adalah dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Gereja Kristen Jawa (GKI) Klaten, GKJ Pedan, GKJ Gondangwinangun, GKJ Karangdowo, GKJ Ketandan, GKJ Ceper, GKJ Manisrenggo, dan GKJ Karangnongko.

Dari Foto Tepat pukul delapan, empat truk dan puluhan kendaraan pribadi yang mengangkut 427 relawan berkonvoi mendaki punggung Merapi.   Tak ketinggalan ada delapan pendeta dan calon pendeta yang juga ikut terjun langsung ke lokasi penghijauan. Sesampai di Gondangwinangun, HP saya berdering. Cik Joli menelepon. Astaga! Saya lupa kalau GKI Sorogenen Solo juga mau gabung (Tapi sebelumnya saya bilang untuk kumpul 7:30. Jadi saya tidak sepenuhnya salah). Karena tidak mungkin menunggu, maka saya beri ancar-ancar kepada kontingen Sorogenen untuk menyusul. Membawa rombongan besar seperti ini agak ribet karena sebagian besar peserta mengenal rute ke arah Balerante. Selepas Manisreonggo, saya menghentikan konvoi untuk re-grouping, namun rombongan yang belakang terlanjur kocar-kacir. Mereka ternyata  mengambil jalur lain alternatif . Maka diputuskan untuk meneruskan perjalanan dan re-grouping di pasar Butuh. Sesampai di lokasi, kami  segera membagi rombongan menjadi empat titik. Titik A adalah di pemukiman penduduk. Titik B dan C  mencakup ladang penduduk di sekitar jurang kali Woro. Sedangkan titik D berada di tempat paling tinggi yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Kehadiran Banser sangat membantu aksi ini. Dengan dukungan fisik yang prima, mereka mampu menerobos lereng-lereng Mareapi yang sangat curam. Jangankan untuk mengangkut bibit. Bagi orang yang tidak bertubuh prima, menjangkau tempat itu dengan tangan kosong saja sudah ngos-ngosan. Apalagi okisgen di ketinggian itu juga menipis. Untungnya cuaca cukup mendukung. Dari pagi hingga tengah hari, langit tertutup oleh mendung. Namun tak urung kulit salah satu relawan terbakar sinar matahari. Maklum, orang ini bertipe orang rumahan.
Dari Foto “Aksi penghijauan ini bertujuan untuk mencegah bencana longsor dan sebagai konservasi sumber air bersih di wilayah Klaten, “jelas Agus Permadi, relawan dari Derap Kemanusiaan dan Perdamaiaan yg menjadi koordinator aksi ini. Ada dua jenis pohon yang ditanam. Pertama, pohon yang bernilai eknomis seperti pisang, mlinjo, nangka, apokat dan sirsak. Bibit ini sengaja ditanam di dekat pemukiman warga. Kedua pohon yang berfungsi sebagai konservasi, seperti munggur, sengon siklon, jabon, dan mindi. Pohon ini ditanam di pinggir sungai, tepian jurang dan di dekat Taman Nasional Gunung Merapi.
Dari Foto
Dari Foto “Kami menyambut baik kerjasama ini dan berharap dapat dilanjutkan pada masa yang akan datang,” kata Jafar, komandan Banser NU kabupaten Klaten. “Kami siap mendukung jika gereja akan mengadakan penghijauan di tempat lain, maupun jika akan melakukan aksi sosial lainnya.” Untuk aksi ini, Banser NU mengerahkan 160 orang berasal dari sektor Kota, Kalokotes, Prambanan, Manisrenggo, Kemalang dan Karangnongko. Kerjasama lintas iman ini bukan sekali ini dilakukan. Selama bertahun-tahun sudah terjalin hubungan yang harmonis antara gereja dengan NU di Klaten. Setiap Natal dan Tahun Baru, Banser NU selalu menerjunkan anggotanya untuk mengamankan ibadah di gereja. Menjelang Lebaran, gereja juga menjalin kerjasama dengan NU mengadakan pasar murah dan aksi sosial lainnya.
Photobucket
Photobucket
Banser ikut mengamankan ibadah malam Natal, 24 Desember 2010

***

Ketika terjadi erupsi gunung Merapi, desa Balerante mengalami dampak yang paling parah. Awan panas melanda desa ini dan membakar seluruh desa. Sebagian besar warga sudah mengungsi namun tak urung ada dua orang yang meninggal karena awan panas, yaitu Sukarni, 70 tahun, dan Ratno Wiyono alias Walidi, 80 tahun. Awan panas membakar rumah, sapi, dan fasilitas publik. Pohon-pohon besar menghitam dan meranggas. Beberapa pohon bahkan tumbang dengan akar yang terangkat karena bagian atas tidak kuat menahan material padat yang tertumpuk di dahan dan daun-daunnya. Desa ini sudah menjadi areal terbuka, tak ubahnya padang tundra, karena hampir tidak ada pohon besar yang hidup. Sebagian warga desa Balerante masih menghuni barak pengungsian di desa Kepurun. Pada pagi hari mereka kembali ke desa untuk membersihkan puing-puing, membangun rumah dan mengurusi ternak. Pada sore hari, mereka kembali ke barak pengungsian karena di desa ini belum bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pipa saluran air bersih yang dibangun swadaya rusak karena hangus terbakar.

***

Lewat tengah hari, kolaborasi gereja dan Banser NU ini diakhiri dengan makan siang bersama, kemudian satu-per satu turun ke Klaten.  Saya dan satgas DKP tidak ikut turun karena masih menunggu rombongan satu mobil yang menyusul ke Balerante. Para penumpangnya adalah ibu-ibu yang telah banyak menolong kami di dapur umum ketika Klaten diserbu puluhan pengungsi. Sebagai rasa terimakasih kami, maka kami mengajak mereka untuk "berwisata bencana."

Kami mengantarkan mereka ke desa Srunen, tempat mbah Maridjan dimakamkan. Namun makamnya sudah tidak kelihatan karena sudah tertimbun pasir lahar dingin. Setelah itu kami menyusuri kali Gendol yang dipenuhi ribuan meter kubik pasir. Meski sudah bercampur dengan air selama berhari-hari namun lahar dingin ini masih terasa hangat. Di beberapa tempatsepanjang kali Gendol terlihat asap putih yang  mengepul dan beraroma belerang.

Dalam perjalanan pulang ini kami diguyur hujan deras. Ada perasaan syukur karena bibit pohon yang telah kami tanam langsung disirami oleh Tuhan, tepat setelah kami selesai menanam. Namun di sisi lain, ada perasaan was-was tersapu lahar dingin jika hujan lebat ini terjadi di hulu sungai Gendol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun