Erupsi Merapi menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar lerengnya mati karena terbakar dan tertutup pasir. Kalau punggung Merapi dibiarkan gundul, maka bencana serupa di Wasior berpotensi terjadi. Pada pertengahan musim hujan ini, adalah saat yang tepat untuk menghijaukan kembali lereng Merapi. Maka pemuda gereja dan Banser NU (Bantuan Serba Guna Nahdatul Ulama) bahu-membahu menanam bibit pohon di desa Balerante, kecamatan Kemalang, Klaten, 6 Januari 2010.
****
Setelah wilayah bahaya diturunkan di bawah radius 5 km dari puncak Merapi, maka satgas Derap Kemanusiaan dan Perdamaian segera mengirimkan puluhan ribu bibit pohon ke desa Balerante. Akan tetapi karena tenaga warga tersita untuk membresihkan puing-puing rumah mereka, maka mereka belum sempat menanam bantuan bibit tersebut. Lagipula tanggungjawab penanaman itu memang tidak semata-mata untuk warga Balerante. Warga yang ada di bagian bawah juga berkepentingan untuk penanaman kembali vegetasi di Merapi sebagai konservasi sumber air bersih mereka. Maka kami lalu mengajak teman-teman dari Banser NU untuk bersama-sama menanam bibit itu. Gayung pun bersambut. Malam sebelumnya, kami mengadakan rapat koordinasi di rumah makan Andalas. Antusiasme Banser NU ditunjukkan dengan kehadiran komandan Banser tingkat kabupaten, para komandan sektor dan provost. Selain Baser NU, komponen yang terlibat adalah dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Gereja Kristen Jawa (GKI) Klaten, GKJ Pedan, GKJ Gondangwinangun, GKJ Karangdowo, GKJ Ketandan, GKJ Ceper, GKJ Manisrenggo, dan GKJ Karangnongko.
***
Ketika terjadi erupsi gunung Merapi, desa Balerante mengalami dampak yang paling parah. Awan panas melanda desa ini dan membakar seluruh desa. Sebagian besar warga sudah mengungsi namun tak urung ada dua orang yang meninggal karena awan panas, yaitu Sukarni, 70 tahun, dan Ratno Wiyono alias Walidi, 80 tahun. Awan panas membakar rumah, sapi, dan fasilitas publik. Pohon-pohon besar menghitam dan meranggas. Beberapa pohon bahkan tumbang dengan akar yang terangkat karena bagian atas tidak kuat menahan material padat yang tertumpuk di dahan dan daun-daunnya. Desa ini sudah menjadi areal terbuka, tak ubahnya padang tundra, karena hampir tidak ada pohon besar yang hidup. Sebagian warga desa Balerante masih menghuni barak pengungsian di desa Kepurun. Pada pagi hari mereka kembali ke desa untuk membersihkan puing-puing, membangun rumah dan mengurusi ternak. Pada sore hari, mereka kembali ke barak pengungsian karena di desa ini belum bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pipa saluran air bersih yang dibangun swadaya rusak karena hangus terbakar.
***
Lewat tengah hari, kolaborasi gereja dan Banser NU ini diakhiri dengan makan siang bersama, kemudian satu-per satu turun ke Klaten. Saya dan satgas DKP tidak ikut turun karena masih menunggu rombongan satu mobil yang menyusul ke Balerante. Para penumpangnya adalah ibu-ibu yang telah banyak menolong kami di dapur umum ketika Klaten diserbu puluhan pengungsi. Sebagai rasa terimakasih kami, maka kami mengajak mereka untuk "berwisata bencana."
Kami mengantarkan mereka ke desa Srunen, tempat mbah Maridjan dimakamkan. Namun makamnya sudah tidak kelihatan karena sudah tertimbun pasir lahar dingin. Setelah itu kami menyusuri kali Gendol yang dipenuhi ribuan meter kubik pasir. Meski sudah bercampur dengan air selama berhari-hari namun lahar dingin ini masih terasa hangat. Di beberapa tempatsepanjang kali Gendol terlihat asap putih yang mengepul dan beraroma belerang.
Dalam perjalanan pulang ini kami diguyur hujan deras. Ada perasaan syukur karena bibit pohon yang telah kami tanam langsung disirami oleh Tuhan, tepat setelah kami selesai menanam. Namun di sisi lain, ada perasaan was-was tersapu lahar dingin jika hujan lebat ini terjadi di hulu sungai Gendol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H