Di suatu Minggu pagi, saya dikenalkan dengan seseorang secara mendadak di gereja. Perkenalan kami sangat singkat, hanya bersalaman dan menyapa sekadarnya. Kebetulan, saat itu ada keperluan mendesak sehingga saya belum bisa bercengkrama bahkan untuk sekadar berbasa-basi.
Komunikasi kami pun berlanjut ke media sosial. Lelaki itu mengirimkan pesan yang baru saya respon sekitar 1,5 bulan kemudian. Alamak! Payah kian saya waktu itu. Saya memang jarang menengok akun media sosial.
Komunikasi kami beralih dari media sosial ke aplikasi pesan instan. Di awal pendekatan ini, kami bertukar informasi seputar keluarga, pertemanan, dan kegemaran.Â
Agar lebih leluasa bercakap-cakap, dia mengajak bertatap muka. Kebetulan saya sedang berobat jalan. Jadi, saya usulkan bertemu tepat di hari jadwal berobat. Kalau menunggu akhir pekan sepertinya terlalu lama.
Percakapan kami berkembang. Saya menceritakan kondisi kesehatan saya yang sedang mengalami sakit lambung yang disebut GERD. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar berobat. Karena tidak ingin merepotkan, saya memintanya menjemput di rumah sakit saja.
Setelah jadwal bertemu kami sepakati, mendadak asam lambung saya naik. Obat lambung golongan Antagonis Reseptor Histamin H2 yang saya minum tidak dapat meredakan gejolak asam lambung.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mengatur jadwal pertemuan dengan lelaki. Sebelumnya, saya selalu enggan bila diajak bertemu dan mendadak membangun tembok penolakan setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya saat ajakan itu datang.
Bagi kebanyakan orang, berkencan mungkin hal biasa. Tapi bagi saya, berkencan adalah hal tergila yang saya lakukan! Mungkin karena itu tubuh ini jadi merespon agak berlebihan. Aih, rasanya lebih parah dari gejolak saat menghadapi pendadaran (sidang) skripsi. Rasa tidak nyaman di lambung bertahan sampai tiga hari kemudian, hari H kami bertemu.
Saat giliran berobat, dokter memeriksa kondisi saya dengan jeli. Denyut nadi saya agak tinggi.
"Saya lagi nervous, Dokter," timpal saya menanggapi hasil pemeriksaan yang diungkap.