Sabtu malam kota ramai sekali
oleh hingar-bingar muda-mudi yang mencari jati diri
dari kisah asmara yang sibuk mereka tenun sendiri.
Tapi aku tidak!
Jalanan masih macet seperti kepalaku yang berusaha mengingat
alamat tempat di mana kemarin aku sempat rehat.
Aku patuh pada jalan-jalan yang menyimpan banyak jejak kaki kita,
pada gedung-gedung pencakar langit yang tinggi serupa cita-cita bocah ingusan,
pada warna-warni lampu jalan yang menjadi penunjuk arah.
Aku menentang musisi jalanan yang bersenandung sedih
dan menyebut-nyebut namamu dalam lirik lagunya,
Melawan deru kendaraan bermotor yang lebih berisik
daripada suaramu yang berdahanam di kepalaku,
Juga memintasi gemuruh petir dan hujan yang jatuh ke bumi
agar hujan di matamu turut mereda.
Aku berjalan mencakah sambil memikirkan tentang rumah
dan anak-anak yang akan menyambut dengan sumringah,
juga membayangkan kau dengan daster ungu kesukaanmu
berdiri di depan pagar: tubuhku bergetar menggigil kedinginan.
"Aku pulang."
Makassar, 21 Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H