Mohon tunggu...
Politik

Membenahi Kualitas Demokrasi

5 April 2016   15:45 Diperbarui: 5 April 2016   15:58 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditangkapnya Bupati Ogan Ilir terpilih periode 2015 – 2019 atas penyalahgunaan narkoba, tidak hanya menjadi tamparan keras bagi masyarakat Ogan Ilir tetapi juga bagi demokrasi itu sendiri. Prestasinya sebagai salah satu Bupati termuda sirna seketika ia ditangkap oleh tim dari Badan Narkotika Nasional. Sebenarnya kasus tersebut merupakan bagian kecil dari potret banyaknya pejabat/kepala daerah yang terjerat kasus pidana, terbaru Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho divonis bersalah dengan pidana 3 (tiga) tahun penjara. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2015 saja sudah terdapat 343 kepala daerah yang tersangkut kasus.

 

Wajah Demokrasi

Arus demokratisasi pasca runtuhnya Orde Baru, memberikan masyarakat di daerah kebebasan untuk menentukan sendiri nasib mereka secara luas melalui kerangka otonomi. Otonomi tersebut diperkuat melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang sebelumnya mekanisme pemilihan dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa kepala daerah adalah wujud demokrasi di aras lokal. Sayangnya, semangat penguatan demokrasi lokal tidak diikuti dengan penguatan elemen-elemen pendukung demokrasi, seperti:

1. Independensi lembaga penyelenggara di daerah

Sulit mengukur independensi sebuah lembaga penyelenggara pemilu di daerah jika sebagian besar sarana dan prasarananya bahkan operasionalnya bergantung dengan pemerintah daerah setempat, yang kompleks dengan kepentingan politis. Bukan tidak mungkin, jika lembaga penyelenggara pemilu semisal Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pengawas Pemilu memihak pada calon tertentu, hingga dapat mempersulit/mempermudah ‘jalan’ bagi calon lainnya.

2. Fungsi partai politik di daerah yang tidak maksimal

Hal terpenting dari fungsi partai politik ialah sebagai sarana rekrutmen politik. Minimnya putra daerah merupakan kendala tersendiri yang dihadapi partai politik untuk mempersiapkan calon yang mumpuni. Namun setidaknya, partai politik dapat berperan sebagai filter pertama bagi calon kepala daerah yang akan maju.

3.  Budaya pragmatis masyarakat

Masyarakat di daerah, secara kultur politik sebagai pemilih berbeda dengan di perkotaan. Masyarakat daerah kebanyakan masuk dalam tipe pemilih tradisional. Indikator utama pemilih tradisonal dapat diidentifikasi dengan tingkat pendidikan, kecenderungan ‘manut’ pada aktor komunikasi politik sosial tradisional, dan konservatif dalam memegang ideologi. Figur menjadi aktor utama bagi pemilih jenis ini. 

 

Dinamis dan Akomodatif

Sebagai permulaan membenahi demokrasi, kita harus beranjak memandang demokrasi hanya dari ‘kacamata’ pemilu dan pilkada. Mengingat pemilu dan pilkada saat ini masih sebatas prosedural melaksanakan demokrasi (demokrasi prosedural), karena faktanya demokrasi model itu hanya memunculkan pemimpin yang kontra-demokratis (meminjam istilah Mahkamah Konstitusi, terstruktur-sistematis-masif), otoriter (dalam versi baru yaitu ‘politik dinasti’), hingga yang korup. Sebab alasan tersebut, Victor Silaen mengatakan bahwa: Pertama, demokrasi bukanlah sesuatu yang sekali dibuat lalu dianggap sudah final. Sebaliknya, ia justru harus senantiasa didiskusikan secara dialektis sehingga produk-produk sistemik yang dihasilkannya niscaya cocok dengan perubahan dan perkembangan zaman. Kedua, demokrasi bukanlah produk seorang pemikir atau dihasilkan melalui pemikiran-pemikiran tertentu (Marxisme melalui Karl Marx atau Sosialisme melalui Robert Owen), melainkan bersumber dari suatu peradaban. Karena sifatnya yang berkembang terus menerus, maka demokrasi juga harus direkonstruksi terus menerus. Dari kedua pendapat tersebut, keniscayaan sebuah demokrasi bersifat dinamis dan akomodatif.

 

Berkaca dari kasus ditangkapnya seorang kepala daerah karena kasus narkoba atau bahkan korupsi, tentu sangat mengganggu rasionalitas kita secara skeptis bagaimana bisa ia terpilih atau lolos pada saat mekanisme pencalonan yang telah dilalui. Hal ini menandakan bahwa mekanisme yang ada saat ini belum mampu memberikan ‘rambu-rambu’ yang tegas atau segala macam prosedur yang ditentukan dapat dipermainkan sesuak hati oleh kandidat dan lembaga penyelenggara atau yang terlibat di dalam proses itu. Oleh sebab itu, rambu-rambu tersebut harus diperketat dengan cara memperbaharui mekanisme-mekanisme atau prosedur-prosedur yang terdapat dalam demokrasi. Dalam hal ini, sebagai contoh mungkin sudah saatnya lembaga penyelenggara perlu menggandeng lembaga seperti Bada Narkotika Nasional, Ombudsman, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjaga akuntabilitas dan rasionalitas kita sebagai pemegang kedaulatan rakyat, agar pemimpin-pemimpin yang terpilih memiliki moralitas yang tak tercela minimal selama ia menjabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun