Ditangkapnya Bupati Ogan Ilir terpilih periode 2015 – 2019 atas penyalahgunaan narkoba, tidak hanya menjadi tamparan keras bagi masyarakat Ogan Ilir tetapi juga bagi demokrasi itu sendiri. Prestasinya sebagai salah satu Bupati termuda sirna seketika ia ditangkap oleh tim dari Badan Narkotika Nasional. Sebenarnya kasus tersebut merupakan bagian kecil dari potret banyaknya pejabat/kepala daerah yang terjerat kasus pidana, terbaru Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho divonis bersalah dengan pidana 3 (tiga) tahun penjara. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2015 saja sudah terdapat 343 kepala daerah yang tersangkut kasus.
Â
Wajah Demokrasi
Arus demokratisasi pasca runtuhnya Orde Baru, memberikan masyarakat di daerah kebebasan untuk menentukan sendiri nasib mereka secara luas melalui kerangka otonomi. Otonomi tersebut diperkuat melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang sebelumnya mekanisme pemilihan dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa kepala daerah adalah wujud demokrasi di aras lokal. Sayangnya, semangat penguatan demokrasi lokal tidak diikuti dengan penguatan elemen-elemen pendukung demokrasi, seperti:
1. Independensi lembaga penyelenggara di daerah
Sulit mengukur independensi sebuah lembaga penyelenggara pemilu di daerah jika sebagian besar sarana dan prasarananya bahkan operasionalnya bergantung dengan pemerintah daerah setempat, yang kompleks dengan kepentingan politis. Bukan tidak mungkin, jika lembaga penyelenggara pemilu semisal Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pengawas Pemilu memihak pada calon tertentu, hingga dapat mempersulit/mempermudah ‘jalan’ bagi calon lainnya.
2. Fungsi partai politik di daerah yang tidak maksimal
Hal terpenting dari fungsi partai politik ialah sebagai sarana rekrutmen politik. Minimnya putra daerah merupakan kendala tersendiri yang dihadapi partai politik untuk mempersiapkan calon yang mumpuni. Namun setidaknya, partai politik dapat berperan sebagai filter pertama bagi calon kepala daerah yang akan maju.
3. Â Budaya pragmatis masyarakat
Masyarakat di daerah, secara kultur politik sebagai pemilih berbeda dengan di perkotaan. Masyarakat daerah kebanyakan masuk dalam tipe pemilih tradisional. Indikator utama pemilih tradisonal dapat diidentifikasi dengan tingkat pendidikan, kecenderungan ‘manut’ pada aktor komunikasi politik sosial tradisional, dan konservatif dalam memegang ideologi. Figur menjadi aktor utama bagi pemilih jenis ini.Â
Â