Menghadapi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19), ada dua pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertentangan antara satu sama lain, yaitu: Pernyataan pertama, pada tanggal 26 Maret 2020 Presiden Jokowi dengan semangat menyatakan "membunyikan genderang perang terhadap Covid-19. Presiden Jokowi mengajak negara-negara anggota G20 untuk 'perang' melawan virus corona. (sumber)
Pernyataan kedua, pada tanggal 7 Mei 2020, Presiden Jokowi mengajak masyarakat untuk berdamai dengan Covid-19, dengan menyatakan, "Kita Harus Hidup Berdamai dengan Covid-19 sampai Vaksin Ditemukan ". https://www.youtube.com/watch?v=bweSUGFTpMA
Pernyataan pertama "...genderang perang terhadap Corona disampaaikan Presiden Jokowi lewat pertemuan virtual KTT G20 di Bogor, Jawa Barat, Kamis (26/3) malam. Sementara pernyataan kedua Presiden Jokowi "Berdamai dengan Corona" disampaikan Presiden Jokowi pada tanggal 7 Mei 2020.
Rentang waktu antara pernyataan pertama dan kedua lebih kurang berjarak 42 hari, meskipun pernyataan kedua diluruskan oleh anak buah Presiden Jokowi, Bey Machmudin Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden pada tanggal 8 Mei 2020, dengan mengatakan bahwa maksud Presiden Jokowi adalah "masyarakat dapat mencegah penularan COVID-19 meski antivirus belum ditemukan.
Frasa 'hidup berdamai' diartikan sebagai penyesuaian baru dalam tatanan kehidupan". https://news.detik.com/berita/d-5006454/jokowi-ajak-warga-hidup-berdamai-dengan-corona-istana-beri-penjelasan
Perbedaan kedua pernyataan Presiden Jokowi "Perang dan damai", tersebut di atas, jika dicermati antara pernyataan pertama dan pernyataan yang kedua yang kontradiktif, justru mengkonfirmasikan bahwa ada dua hal penting, yaitu: pertama, bahwa Presiden sebagai Panglima Perang Bapak Jokowi, secara tidak langsung telah mengakui kalah atau gagal dalam perang mengahadapi Corona dan kedua, Presiden Jokowi sebagai panglima perang sedang merubah siasaat serta strategi perang melawan Corona, yaitu dari perang terbuka yang disertai pemukulan gendang perang, menjadi perang alamiah dengan membiarkan aktivitas masyarakat berjalan seperti biasa dan apa adanya atau berdamai dengan virus Corona.
Perubahan siasat dan strategi dengan menyatakan "ajakan perang" dan "ajakan berdamai" dengan musuh yang bernama Corona dengan rentang waktu cuma 42 hari (dari tanggal 26 Maret-7 Mei 2020) tersebut, menunjukan bahwa Presiden Jokowi telah menarik diri dari pertempuran terbuka dengan virus Corona dan melakukan "perundingan" perdamaian dengan sebuah intruksi berdamai dengan virus Corona. Tentu ada banyak pertimbangan, tetapi pada tulisan ini tidak membahasa apa yang menjadi pertimbangan perubahan strategi perang dengan damai.
Namun lazimnya sebagai seorang panglima perang, sebelum memutuskan pilihan melanjutkan perperangan atau menuju meja perundingan untuk berdamai, tetapi informasi yang beredar luas pada media sosial dan media online, menunjukan pada satu kepentingan, yaitu ekonomi di atas segalanya.
Berdamai Dengan Corona: Seleksi Alam
Perubahan pilihan kebijakan Presiden Jokowi dari Perang menjadi Damai dengan Corona, menarik untuk ditinjau dengan menggunakan pendekatan teori Darwin dalam Teori Evolusi tentang 'seleksi alam' dan 'survival of the fittest.
Pada teori tersebut, bahwa seleksi alam menjadi inti sari dari pendekatan teori evolusi Darwin. Mekanisme seleksi alam adalah individu yang bugar, sehat, kuat akan bertahan hidup atau individu yang lemah, sakit akan tumbang dalam mengahadapi seleksi alam.
Dengan meminjam pendekatan teori evolusi-seleksi alam daari Darwin, maka perubahan strategi dari 'peperangan' menjadi 'berdamai' dengan Corona, sepertinya Presiden Jokowi menghindari perang yang menghabiskan anggaran negara.
Konskuensi sebuah peperangan adalah selain mempersiapkan pasukan tempur yang berkualitas, juga peralatan perang yang lengkap, tetapi kita dengan mudah melihat pasukan utama tenaga medis banyak yang berguguran karena keterbatasan sarana dan prasarana seperti Alat Perlindungan Diri (APD) dan himbauan kepada masyarakat umum agar di rumah tak efektif, karena pemerintah tidak memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar warga negara.
Fakta tersebut, Presiden Jokowi lebih menghitung dan mengkalkulasi keuntungan dan kerugian secara material, antara melanjutkan peperangan dan atau berdamai dengan Corona.
Pernyataan Presiden Jokowi pada tanggal 7 Mei 2020 dengan mengajak "...Berdamai dengan Corona", sesungguhnya mengkonfirmasikan secara terbuka tentang arah kebijakan yang ditempuh dalam menghadapi Corona, yaitu dengan "menyerahkan" pada seleksi alam, sebagaimana dalam perspektif Darwinian yang menekankan pada mekanisme alamiah.
Teori tersebut menjelaskan tentang seleksi alam, Darwin mengungkapkan bahwa perubahan-perubahan yang bersifat adaptif pada satu bagian dapat membawa perubahan pada bagian lain yang sebetulnya tidak penting untuk bertahan hidup. Darwin secara ilmiah menjelaskan bagaimana hidup berevolusi di planet ini, adalah sebuah proses alami yang dapat dijelaskan oleh hukum-hukum biologi, dan interaksi antara organisme dengan lingkungannya.
Penjelasan teori evolusi kehidupan Darwin selanjutnya adalah dengan bentuknya yang kaya dan beragam ini, adalah sebuah konsekuensi tak terelakkan dari reproduksi kehidupan itu sendiri, yaitu pertama, seperti tiap anak akan mirip induknya, dengan sedikit variasi. Tapi juga, kedua, semua organisme cenderung menghasilkan lebih banyak keturunan daripada yang boleh terus hidup dan berkembang biak.
Dengan meminjam pendekatan teori Darwin tersebut, dalam konteks seleksi alam menghadapi wabah Corona di Indonesia, maka individu yang memiliki peluang terbesar untuk bertahan hidup adalah individu yang memiliki kemampuan beradaptasi lebih besar pada lingkungan dan atau memiliki kekuatan kekebalan tubuh (imunitas), sementara yang lemah, sakit, akan mati dan binasa.
Mengadopsi pendekatan Darwinian tersebut, dalam rangka menganalisis arah kebijakan Presiden Jokowi dengan kalimat ajakan berdamai dengan Corona. Maka dengan kata lain, "yang paling kuat menghadapi wabah Corona" akan berhasil bertahan hidup dan menyebarkan ciri-cirinya yang cocok ke dalam populasi manusia baru.
Di alam, evolusi Darwinian adalah sebuah respons terhadap lingkungan yang berubah. Alam"memilih" organisme dengan ciri-ciri yang paling sanggup beradaptasi dengan lingkungannya.
"Evolusi melalui seleksi alam," tidaklah lebih dari sebuah penjejakan terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang disebabkan wabah Corona ini, dengan terpeliharanya organisme fisik yang kuat memiliki kemampuan lebih baik untuk bertahan hidup pada masa pandemi." Maka, seleksi alam mengarahkan alur perubahan yang bersifat evolusioner.
Menuju Herd Immunity
Konsep herd Immunity atau kekebalan kelompok-kawanan, sesungguhnya adalah modifikasi dari pendekatan teori evolusi-seleksi alam dari Darwinian, dalam menghadapi Corona. Konsep tersebut bagi penulis sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup umat manusia, dimana menyerahkan pada seleksi alam dengan pendekatan kekebalan kelompok atau disebut dengan herd immunity. Pendekatan kekebalan kelompok, sepertinya telah menjadi pilihan dari Presiden Jokowi (meskipun disembunyikan) dalam menghadapi wabah Corona di Indonesia. Indikator utama penggunaan konsep herd humanity atau kekebalan kelompok, juga memiliki kesamaan dengan konsep seleksi alam Darwinian. Pilihan konsep herd immunity tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi yang mengajak hidup berdamai dengan Corona, sebelum ditemukannya vaksin.
Pernyataan berdamai dengan Corona dan diikuti dengan rangkaian kebijakan pembukaan jalur-jalur transportasi udara, darat dan laut memperkuat signal bahwa Presiden Jokowi sedang "berjudi" dengan nyawa warga negara demi kepentingan eokonomi, dengan menggunakan pendekatan herd immunity atau kekebalan kelompok - kawanan.
Herd immunity secara subtansi memiliki kepiripan dengan konsep seleksi alam atau dalam teori Evolusi Darwin yang disebutkan sebagai 'survival of the fittest yang menggambarkan seleksi alam bagi kelangsungan mahluk hidup.
Pendekatan herd immunity sebagai kekebalan kelompok atau kawanan adalah inti dari seleksi alam dalam pendekatan Darwin. Pendekatan pemerintahan Presiden Jokowi seperti ini, sesungguhnya sudah terlihat secara jelas dari cara pemerintahan Jokowi merespon wabah Corona mulai menyebar dari Wuhan-China, yaitu respon pemerintah yang lamban dan terkesan tak serius menghadapi wabah Corona dan mengutamakan promosi pariwisata dan investasi.
Ketidakseriusan pemerintahan Jokowi juga tergambar dari keengganan menggunakan UU No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Pemerintahan Jokowi justru menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.
Penggunaan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sesungguhnya pemerintahan Jokowi sedang memanupulasi publik, seolah-olah pemerintah serius menangani wabah Corona.
Padahal yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah pendekatan seleksi alam model Darwinian dengan modifikasi konsep herd immunity dan ini berbahaya bagi kelangsungan hidup warga Negara. Pendekatan herd humanity adalah pendekatan yang mengutamakan kekebalan kelompok, sebagaaimana pendekatan seleksi alam dan 'survival of the fittest dalam teori Evolusi Darwin, yaitu mekanisme seleksi alam bagi individu yang 'fit' (bugar, sehat) lebih berpeluang selamat dalam mengahadapi wabah Corona.
Peneliti di Nusa Tenggara Research Center (NTRC) dan Pendiri Rumah Kopi Dinasti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H