Mohon tunggu...
Syarif Ahmad
Syarif Ahmad Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Mbojo

#PoliticalScience- #AnakDesa Penggembala Sapi, Kerbau dan Kuda! #PeminumKahawa☕️ *TAKDIR TAK BISA DIPESAN SEPERTI SECANGKIR KOPI*

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir: Dari Subversi ke Terorisme

24 Januari 2019   21:58 Diperbarui: 25 Januari 2019   18:05 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, pada tanggal 1 Oktober 2002 mengadukan Majalah TIME sehubungan dengan berita yang ditulis dalam majalah tersebut tertanggal 23 September 2002 yang menurut Ustadz Abu Bakar Ba'asyir berita itu masuk dalam trial by the press dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Abu Bakar Ba'asyir membantah semua tudingan yang diberitakan Majalah TIME. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Al-Farouq.

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) secara resmi pada tanggal 11 Oktober 2002, meminta pemerintah untuk membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia berkaitan dengan pengakuannya yang mengatakan bahwa ia mengenal Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Atas dasar tuduhan AS yang mengatakan keterlibatan Al-Farouq dengan jaringan Al-Qaeda dan aksi-aksi teroris yang menurut CIA dilakukannya di Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir mengatakan bahwa sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia, dan pada tanggal 14 Oktober 2002, Ustadz Abu menggelar konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo. Dalam jumpa pers itu Ustadz Abu mengatakan peristiwa ledakan di Bali merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.

Markas Besar Polri pada tanggal 17 Oktober 2002, melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba`asyir. Namun beliau tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME dan pada tanggal 18 Oktober 2002, Ustadz Abu ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia, berdasarkan pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afganistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, pada tanggal 3 Maret 2005 divonis bersalah atas konspirasi serangan bom pada tahun 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, sehingga dijatuhi hukuman 2,6 tahun penjara dan pada tanggal 17 Agustus 2005, masa tahanan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari. Hal ini merupakan suatu tradisi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Ustadz Abu dibebaskan pada 14 Juni 2006.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir mengundurkan diri dari Majelis Mujahidin Indonesia pada tahun 2008 bersama beberapa aktivis Islam lainnya dan mendirikan sebuah organisasi baru bernama Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) pada bulan Juli 2008. Ustadz Abu, kembali didaulat menjadi Amir JAT dan pada tanggal 9 Agustus 2010 Ustadz Abu Abu kembali ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaida di Aceh yang melakukan pelatihan militer di Jantho, Aceh Besar dan Abu Bakar Ba'asyir menolak tuduhan tersebut.

Pada 16 Juni 2011, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia, walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan. Kemudian dari balik penjara sejak ditahan di Bareskrim Mabes Polri hingga saat di Lapas Nusakambangan dan kemudian dipindahkan di LP Gunung Sindur, Ustadz Abu dalam kondisi sakit-sakitan dan usia yang semakin sepuh sekitar 81 Tahun, Abu Bakar Ba'asyir terus berdakwah dengan menulis buku. Buku yang sempat membuat geger dan ramai dibicarakan adalah buku Tadzkiroh II dimana beliau secara langsung menyebut negara dan penguasa beserta aparat di negeri ini sebagai Thoghut.

Politisasi Kemanusiaan 

Tidak dapat dihindari, wacana pembebasan tanpa syarat Ustadz Abu Bakar Ba'asyir  dipahami sebagai kebijakan politis yang bersifat elektoral menjelang Pilpres pada tanggal 17 April 2019. Wacana pembebasan tanpa syarat Ustadz Abubakar Ba'asyir disampaikan sehari setelah debat Calon Presiden tahap pertama pada tanggal 17 Januari 2019. Melalui media Calon Wakil Presiden Ma'aruf Amin memuji tentang kebijakan pembebasan Ustadz Abu. 

Informasi tersebut secara mengejutkan viral di media massa (termasuk media sosial), tentang proses pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Pembebasan tersebut, juga disampaikan oleh pengacara Capres Jokowi, sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dengan menyebutkan: bahwa proses pembebasan tersebut demi alasan kemanusian.

 Tidak hanya Yusril Ihza Mahendra, Presiden Jokowi pun secara terbuka juga menyampaikan proses pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir tersebut tanpa syarat.

Presiden Jokowi, melalui Yusril Ihza Mahendra menyampaikan beberapa alasan penting kenapa Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dibebaskan tanpa syarat, yaitu: Pertama, pertimbangan Presiden Joko Widodo menyetujui pembebasan Abu Bakar Ba'asyir karena didasari rasa kemanusiaan. Kedua, soal kondisi kesehatan Ba'asyir selama menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun