Mohon tunggu...
Syarif Ahmad
Syarif Ahmad Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Mbojo

#PoliticalScience- #AnakDesa Penggembala Sapi, Kerbau dan Kuda! #PeminumKahawa☕️ *TAKDIR TAK BISA DIPESAN SEPERTI SECANGKIR KOPI*

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kotak Kosong dan Kekosongan Partai Politik

20 Juni 2018   13:40 Diperbarui: 20 Juni 2018   13:50 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mungkin bagi kebanyak orang atau pendukung calon yang bersangkutan, bahwa berkompetisi dengan kotak kosong atau kolom kosong pada Pemilihan Kepala Daerah dianggap sebagai sebuah kehebatan dan kelihaian kelas para Dewa bagi sang calon Kepala Daerah tersebut. 

Bagaimana tidak, kompetisi demokrasi yang ketat dan penuh keterbatasan partai politik pengusung, semua partai politik diborong oleh salah satu pasangan calon dan yang tersisa hanyalah jalur independen dan bahkan dalam beberapa Pemilihan Kepala Daerah ada yang bertanding dengan kotak/kolom kosong, ini bukanlah sebuah kelebihan yang biasa dari sang calon kepala daerah. Tetapi dengan memborong semua partai politik dan ketiadaan pasangan independen adalah sebuah kelebihan yang luar biasa.

Memborong partai politik, sebenarnya tak ada yang dilanggar sebagaimana yang tertuang dalam UU Pilkada no 10 tahun 2016 maupun UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, atau pada pertauran-peraturan tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pada Peraturan KPU yang dituangkan dalam PKPU no 3 tahun 2017, bahwa syarat pencalonan kepala daerah yang mengahruskan dukungan partai politik atau gabungan partai politik sebesar 20% kursi atau 25% suara pemilih menjadi masalah  bagi kemunculan calon kepala daerah. 

Alasan ketidakterpenuhan syarat dari partai politik untu mengusung pasangan calon, menjadi elit-elit partai politik berkoalisi dalam mengusung salah satu calon, maka munculah pasangan calon kepala daerah hasil "upeti" kepentingan pragmatis partai politik. Meskipun ini, bukan menjadi satu-satunya penyebab lahirnya satu pasangan calon yang dipaksa berlaga dengan  kotak/kolom kosong.

Dalam berbagai praktek politik, untuk mendapatkan Partai Politik pengusung dan memenuhi syarat pencalonan, pasangan calon mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan pencalonan tersebut, karena partai politik sesungguhnya berada pada genggaman segelintir kelompok elit partai politik dalam hal menentukan keputusan partai politik. Inilah yang disebut dengan oligarki dan menjadi salah satu sumber bencana bagi perkembangan Pilkada yang demokratis.

Hak-hak politik rakyat untuk memilih pasangan calon yang akan berkompetisi pada Pilkada dibatasi dengan memilih satu pasangan calon yang disanding dengan kotak kosong atau kolom kosong. Pemilihan kepala daerah seperti ini,  merusak akal sehat, karena tak memberikan pilihan pada pemilih untuk memilih pasangan calon berjenis manusia. Inilah proses legalisasi pembodohan akal sehat dari demokrasi itu sendiri, yaitu memilih salah satu pasangan calon kepala daerah atau memilih kotak/kolom kosong. 

Pemilihan Kepala daerah secara prinsipnya adalah memilih pemimpin. Kenapa ada kotak/kolom kosong yang akan dipilih menjadi pemimpin? Sekali lagi, Ini adalah pembodohan politik yang dilegalkan oleh negara yang dioperasikan oleh Partai Politik berwatak oligarki dengan menggunakan instrumen-instrumen legal negara, seperti UU dan Peraturan turunannya.

Secara normatif, sistem politik demokratis adalah adanya pemilihan umum dan pada tulisan ini adalah pemilihan umum kepala daerah. Pemilu demokratis mensyaratkan adanya prinsip Pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, mandiri, jujur dan adil, tetapi prinsip politik demokratis tersebut akan dapat diwujudkan apa bila ada lebih dari satu pasangan calon kepala daerah, bukan memilih Kotak/Kolom kosong.  Tetapi negeri ini terjebak pada orientasi politik formalistik demokrasi yang identik dengan perburuan kekuasaan dan mengabaikan demokrasi secara subtantif.

Dalam memburu kekuasaan, para politisi dan ditopang oleh saudagar-saudagar politik menggunakan segala jalan untuk ditempuh, termasuk  aksi belanja borong-memborong partai politik. Sementara kondisi kekinian partai politik yang memang dikelolah secara oligarki, memungkinkan terjadinya belanja borong-membirong partai politik. Inilah ironi politik demokrasi dalam konteks Pemilukada dengan mempraktekan politik-oligarki.

Meskipun ada yang berpendapat, bahwa memilih kotak kosong atau kolom kosong juga adalah bagian dari pilihan demokratis. Pendapat ini juga tak seluruhnya salah, tetapi sangat keliru dalam konteks memaknai subtansi Pilihan Umum Kepala Daerah yang demokratis. Karena subtansi pemilihan umum kepala daerah adalah memilih pemimpin yang akan menjadi Gubernur-Wakil Gubernu, Bupati-Wakil Bupati atau Wali Kota-Wakil Wali Kota, melalui Pemilihan kepala daerah. 

Pemilukada atau Pilkada adalah memilih pemimpin yaitu pemimpin dari jenis manusia, bukan memilih kotak/kolom kosong untuk menjadi kepala daerah. Tetapi itulah faktanya, sistem politik demokrasi yang dianut di negeri ini dan dalam konteks Pemilukada/Pilkada tak "mengharamkannya" untuk memilih selain pasangan calon dari jenis manusia, tetapi memilih benda mati berupa kotak/kolom kosong untuk bersaing mendapatkan suara pemilih dari manusia. 

Memilih kotak/kolom kosong, merupakan salah satu cacat bawaan dari siatem politik demokrasi-Pemilukada/Pilkada, karena memilih kotak/kolom kosong pun disebut sebagai pemilihan kepala daerah yang demokratis secara prosedural.

Kekosongan Partai Politik

Partai politik kosong atau tak memiliki calon kepala daerah, jadi siapa yang dirugikan? Bukankah setiap kursi/suara partai Politik telah diuangkan oleh negara melalui Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka pihak paling dirugikan adalah rakyat didaerah itu sendiri, untuk apa partai politik ada atau setidaknya sebanyak ini? Jika tugas dan fungsi partai politik tak dijalankan atau hanya akan mengusung satu pasangan calon dan melawan kotak/kolam kosong?

Secara teoritik bahwa salah satu tugas pokok partai politik pada negara-negara demokrasi adalah rekruitmen kepemimpinan. Demokrasi akan tumbuh dengan "lambung yang sehat" seiring dengan hadirnya beberapa pilihan-pilihan calon pemimpin daerah yang dihidangkan oleh partai politik. 

Partai politik adalah "dapur kepemimpinan" yang memiliki kelihaian meracik kader-kader partai politik untk menjadi pemimpin yang siap dilagakan pada arena Pemilukada/Pilkada, dan rakyat pemilih yang akan menentukan mana yang sesuai dan cocok untuk dijadikan pemimpin. 

Tugas meracik kepemimpinan adalah tugas mulia partai politik dalam melakukan proses-proses politik berkuawalitas, seperti pendidikan-perkaderan politik guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Partai politik menjadi tempat dimana kepentingan rakyat digodok dan diperjuangkan, bukan kepentingan segelintir para elit oligarki partai politik.

Kekosongan partai politik dalam mengusung Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, yang disebabkan oleh adanya syarat-syarat pencalonan dari sisi regulasi pencalonan kepala daerah, telah membuka ruang terjadinya praktek-praktek penguatan politik-oligarki dengan mengatasnamakan demokrasi. Praktek semacam ini lumrah dilakukan oleh partai politik dengan cara meninggalkan para anggota partai serta konsituen yang memilihnya pada saat pemilihan umum legislatif. 

Ketiadaan calon yang diusung oleh partai politik dalam Pilkada dan hanya ada satu pasangan calon adalah proses pemisahan elit-elit partai politik dan konstituen. 

Fenomena Kotak/Kolom kosong dalam pilkada adalah bukti nyata sebagai akibat dari persekongkolan elit-elit oligarki. Semestinya persekongkolan ini harus menjadi keprihatianan bersama, tentang bahaya laten oligarki partai politik dan tentu akan mematikan proses penguatan kelembagaan partai politik sebagai salah satu tiang penyanggah berdirinya sebuah sistem politik demokrasi. 

Calon-calon yang punya kapasitas, kapabilitas dan integritas, terhambat oleh mekanisme pencalonan dan penguasaan atas partai politik oleh oligarki. Meskipun UU membuka jalur lain dalam pencalonan kepala daerah yaitu jalur independen. Tetapi jalur ini, justru menjadi rawan untuk "digergaji" melalui mesin politik-hukum, dan inilah yang terjadi pada Pemilukada Kota Makassar Sulawesi Selatan pada 27 Juni 2018.

Secara konsep bahwa Partai Politik demokratis, sejatinya tak memungkinkan adanya kekosongan calon kepala daerah atau adanya satu pasangan kepala daerah yang dikompetisikan dengan Kotak/Kolom Kosong. 

Tetapi dalam praktek politik demokrasi di negeri ini, justru partai politik anti terhadap sistem demokrasi yaitu dengan mempraktekan model politik-oligarki. Kekuasaan partai politik ada pada segelintir elit dan tidak dikelola secara demokratis, tetapi ditentukan oleh sekelompok elit dengan mengatasnamakan proses demokrasi. Inilah yang disebut sebagai praktek politik oligarki yang menempel atau bagian dari partai tipologi partai politik.

Politik oligarki adalah jenis politik yang menempatkan sekelompok kecil elit untuk membuat sebuah keputusan partai politik. Dalam konteks Pemilukada, sekelompok elit partai politik inilah, masa depan politik kader, anggota dan konstituen/pemilih dipertaruhkan . Maka tak heran para bakal calon kepala daerah yang memiliki stok dana besar atau para saudagar politik melakukan politik belanja dengan sistem borong. 

Pandangan belanja borong partai politik untuk kepentingan calon kepala daerah ditentang oleh semua elit-oligarki partai politik di negeri ini dan dianggap sebagai sebuah hoax. Tetapi alur: saudagar-belanja-borong-partai politik adalah realitas politik yang tak dapat dibantahkan. 

Penolakan atas adanya istilah belanja partai politik atau uang mahar oleh elit-elit oligarki, tetapi ada juga secara tersirat diakui sebagai kesepakatan partai politik dengan calon kepala daerah dengan sebutan biaya politik. Tetapi, apa pun istilahnya, yang pasti praktek oligarki dalam pengelolaan partai plitik adalah sesuatu yang nyata adanya. 

Bagaimana mungkin partai politik dapat bersatu untuk mengusung calon tunggal kepala daerah, sementara ada ideologi partai politik dan kepentingan politik yang beragam diantara partai politik. Kecuali terjadinya persekongkolan politik dalam bentuk  kuasa- modal dan nir ideologi. Dan fenomena sekelompok elit-elit oligarki yang ada pada struktur partai politik, ibaratnya vendor bagi para calon dan calo kepala daerah. 

Makassar, 20 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun