Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Liontin untuk Hilda

4 April 2021   17:00 Diperbarui: 4 April 2021   17:46 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Manik merasa lega setelah mengungkapkan kebenaran itu pada anaknya. Setelah sekian lama ia memendam semuanya, Hilda akhirnya bisa menerima kebenaran yang nyata adanya.

Dulu sebelum Hilda lahir, Bu Manik telah menunggu lama kehadiran buah hati setelah pernikahannya dengan Pak Radja. Penantian itu berlangsung hingga waktu tujuh belas tahun, dan saat itu sebuah kecelakaan menimpa Bu Manik dan Pak Radja sewaktu pulang berkunjung ke rumah orang tuanya di kampung.

Dalam perjalanan pulang mereka kemalaman di tengah hujan badai hingga terjadilah kecelakaan itu. Mobil yang dikemudikan Pak Radja tiba-tiba oleng terbawa hujan dan angin kencang hingga menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan. Mereka tak sadarkan diri setelah kecelakaan itu hingga seminggu kemudian mereka terbangun sedang berada di sebuah kamar besar dengan dua ranjang terpisah.

Bu Manik yang pertama sadar dan melihat suaminya masih tergolek lemah di ranjang sebelahnya. Ia merasa aneh dengan keadaan di sekitar kamar itu yang sangat harum dengan aroma herbal yang entah apa namanya. Bu Manik merasakan kesegaran pada tubuhnya ketika bangun, kemudian ia pun menghampiri suaminya dan melihat kedua mata suaminya tersebut ditutupi dua lembar daun yang juga ia tak tahu daun apa itu.

Ketika Bu Manik hendak membuka daun tersebut, tiba-tiba ada suara melarangnya.

"Jangan kau sentuh suamimu dia belum sembuh benar!" Suara itu ternyata seorang perempuan tua yang masih tegap.

"Siapakah anda? Dan kami sebenarnya berada di mana?" Bu Manik penasaran.

"Kalian ditemukan tak sadar olehku dan aku membawa kalian ke sini, inilah rumahku, namaku Nyai Raga Sukma." Perempuan itu menjelaskan.

"Terima kasih Nyai sudah menolong kami." Ujar Bu Manik dengan sangat hormat.

Kemudian Nyai Raga pun menjelaskan keadaan sebenarnya hingga Bu Manik tahu jika suaminya akan mengalami kebutaan pada matanya. Dan Bu Manik harus menerima kenyataan tersebut. Hingga keadaan keduanya pulih seperti semula, mereka bermaksud untuk kembali pulang ke rumah.

"Nyai, maafkan kami yang telah merepotkanmu selama ini, entah apa yang harus kami berikan untuk membalas kebaikanmu." Ucap Pak Radja membuka percakapan.

"Jangan kalian sungkan padaku, justru aku merasa senang bisa menolong kalian hingga bisa pulih kembali." Jawab Nyai Raga.

"Dan sekarang aku ingin meminta pertolongan kalian sebelum kita berpisah." Ujar Nyai Raga tampak serius wajahnya.

"Dengan senang hati kami akan membantumu semampu yang kami bisa." Jawab Bu Manik.

"Apakah yang bisa kami bantu, Nyai?" Pak Radja menimpali.

"Aku ingin kalian membawa sesuatu dariku sebelum pergi, dan aku juga memberikanmu satu kesempatan untuk sebuah permintaan dariku." Nyai Raga bicara dengan serius sekali.

"Sungguh kami tak tahu diri jika berani meminta sesuatu darimu yang telah baik menolong kami." Jawab Pak Radja.

"Aku tahu kalian sedang mengharapkan sesuatu dan itu telah menjadi penantian kalian selama ini." Nyai Raga berkata seolah mengetahui isi hati keduanya.

Bu Manik dan Pak Radja saling berpegang tangan mendengar perkataan Nyai Raga tersebut.

"Kami memang sangat ingin memiliki seorang anak karena kami telah menunggu waktu itu hingga tujuh belas tahun ini." Ujar Bu Manik bersedih.

"Baiklah, aku akan memberikan kalian sebuah ramuan herbal untuk kalian minum jika kalian yakin maka harapan kalian bisa terwujud, karena Tuhan Maha Penyayang terhadap hambanya yang bersabar." Nyai Raga menegaskan perkataannya.

"Dan seperti permintaanku tadi, aku ingin memberikan sesuatu pada kalian untuk dijaga dengan penuh kasih karena barang ini adalah warisan ibuku dulu." Nyai Raga kembali menjelaskan.

"Dan tentang harapan kalian untuk memiliki anak, suatu hari nanti jika terkabul mungkin akan membuatmu menjadi buta karena ramuan ini sangat keras sekali, apakah itu takkan membuatmu keberatan?" Jelas Nyai Raga sambil menatap Bu Manik.

"Tak mengapa bagiku menjadi buta asalkan aku bisa memiliki seorang anak." Jawab Bu Manik penuh yakin dan tegar.

Percakapan mereka pun berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Nyai Raga menutupnya sambil memberikan sesuatu di dalam kotak.

"Simpanlah barang ini yang kelak bisa kalian gunakan untuk menolong orang lain dan gunakanlah sebaik mungkin di jalan yang benar demi kebaikan." Nyai Raga berkata sambil menyerahkan sebuah kotak berisi liontin jam kepada Bu Manik.

"Dan rahasiakanlah tentang pertemuan kita pada siapapun karena aku tak ingin ada yang mengetahui keberadaanku, kalian harus ingat itu." Nyai Raga berkata tegas sekali.

Setelah berpamitan dan berterimakasih keduanya pun keluar rumah dan berjalan lurus menuju jalan besar mengarah pulang ke kota tempat tinggal mereka.

Dan ketika Bu Manik tiba-tiba menoleh ke belakang karena ingin melihat untuk yang terakhir kali ke rumah Nyai Raga, sungguh aneh rumah itu hilang dari pandangannya tinggallah sebuah pohon besar nan rindang yang ada di sana. Bu Manik sangat terkejut dan mengusap kedua matanya untuk kembali meyakinkan penglihatannya tersebut dan memang di sana hanya ada sebuah pohon besar yang rindang berdiri tegak penuh keteduhan. "Aneh!" Pikirnya.

Bu Manik tidak mengatakan apapun atas kejadian itu pada suaminya, ia hanya berkata di dalam hati saja mengingat keanehan tersebut.

"Aku akan menyimpan rahasia ini dengan baik dan rapi, Nyai." Gumamnya dalam hati.

Rahasia ini terus disimpannya sendirian hingga anaknya lahir diberi nama Hilda seperti nama yang tercetak pada liontin jam pemberian Nyai Raga. Seperti perkataan Nyai Raga dulu, Bu Manik memang mengalami kebutaan setelah anaknya lahir. Bu Manik hanya bisa tegar dan bersyukur atas karunia Tuhan yang diberikan pada keluarganya tersebut. Walau dalam hatinya tetap ada tanya yang tak pernah terjawab "Siapakah sebenarnya Nyai Raga."

Dan kini setelah Hilda berusia tujuh belas tahun, rahasia itu pun diceritakan pada anaknya dengan harapan yang sama agar tetap menjaga rahasia tersebut. Tentang liontin pun dijelaskannya pada Hilda agar digunakan untuk kebaikan sebagaimana pesan dari Nyai Raga. Bu Manik yakin Hilda akan menjaga hal tersebut dengan segala apa yang dimiliki anaknya sebagai sebuah kelebihan walau awalnya dianggap sebuah kejanggalan.

Akhirnya liontin jam itu pun menjadi milik Hilda sebagaimana nama yang tertulis di balik liontin tersebut. Hilda berjanji pada ibunya untuk selalu menjaga pesannya tersebut. Bu Manik pun merasa lega dan tenang setelah semua diungkapkannya kebenaran ini. 

"Semoga Tuhan selalu menjagamu, nak. Karena namamu Hilda yang bukan gadis biasa." Gumam Bu Manik dalam hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun