Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantan TKW Menjadi PNS

25 Januari 2020   22:10 Diperbarui: 25 Januari 2020   22:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasib siapa yang tahu, perjalanan seseorang mengikuti kehidupan berjalan seperti air mengalir. Kisah hidup seorang perempuan yang bernama Aisah (bukan nama sebenarnya) adalah perjalanan terjal mendaki. 

Sejak ia mengalami kegagalan berumah tangga, kembali ke rumah orang tua dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 5 bulan, sangatlah pedih jika harus dikenang. Orang tua yang hanya tinggal ibunya saja adalah pahlawan besar baginya. Ayahnya telah lama meninggal sejak Aisah berusia 4 tahun. Sosok ayah yang dirindukan sebagai pelindungnya menjelma pada ibunya yang tegar dengan mengurus Aisah dan adiknya hanya seorang diri.

Kegagalan Aisah dalam berumah tangga pun kini harus dihadapi ibunya dengan lapang dada. Belum lagi Aisah yang telah memiliki seorang anak. Aisah sangat terpuruk dengan keadaannya yang menjadi single parent dengan status tidak bekerja. Beban berat otomatis menjadi tanggungan ibunya. Namun keterpurukan Aisah tidak ingin terus menerus menghancurkan kehidupannya.

Aisah pun bangkit dengan sebuah tekad bahwa ia bisa berdiri tanpa seorang suami memapah kehidupannya. Aisah nekad untuk bekerja di luar negeri dengan sakit hati yang dibawanya. Brunei Darussalam adalah negara tujuan ia bekerja menjadi seorang TKW. Ijazah SMA-nya tidak menjamin ia bisa mendapatkan pekerjaan selain untuk menjadi asisten rumah tangga, Amah jika dalam bahasa Melayu.

Tidak berkecil hati dengan pekerjaan yang mungkin bagi segelintir orang sangatlah rendah. Aisah tetap pergi ke sana dengan harapan bisa menabung untuk kehidupannya juga anaknya. Ia harus menguatkan diri berpisah dari anaknya yang dititipkan kepada ibunya. Pada saat itu anaknya baru berusia 1 tahun. Remuk sangat perasaan hatinya ketika Aisah diantar pergi hingga ke bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Air mata terus membasahi pipi Aisah sepanjang perjalanan dengan pesawat hingga sampai di bandara Brunei Darussalam. Ada rasa ragu menyelinap di hatinya ketika malam menyambutnya di negeri orang yang jauh dari keluarganya. Ada rasa ingin berlari untuk kembali ke tanah airnya karena ketakutannya saat Aisah dijemput oleh seorang supir dan beberapa pekerja yang semuanya laki-laki.

Bayangkan saja hanya Aisah perempuan satu-satunya yang berada di dalam mobil yang terus melaju di jalanan yang memang sudah sangat sepi, malam itu semakin larut. Aisah berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan dirinya dari rasa ketakutan dan keraguan. Ia teringat kembali kepada anaknya yang harus diperjuangkan kehidupannya. 

Sampailah Aisah di sebuah rumah megah yang memang itu adalah rumah majikannya. 

"Alhamdulillah." Begitu gumam Aisah.

Dimulailah episode kehidupannya sebagai seorang amah di negeri Sultan Bolkiah. Kontrak kerjanya selama dua tahun, dan itu sangat terasa lama dalam bayangan Aisah. 

"Sungguh berat menanggung kepedihan ini." Bisik hatinya.

Hari demi hari, Aisah mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya. Sebagai seorang amah tentunya ia harus menuruti perintah majikannya, apa pun pekerjaan yang diperintahkan harus dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh. 

Awalnya, ia bekerja sebagai pengasuh Ibu Tua (istri pertama majikannya yang sudah sakit-sakitan). Aisah menekuni pekerjaannya, mengurusi segala keperluan Ibu Tua mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Luka hatinya perlahan mulai terlupakan dengan kesibukan pekerjaannya. Terkadang Ibu Tua pun mengajaknya berbicara sebagai sesama perempuan. Nasib Ibu Tua yang dimadu oleh suaminya, serasa perasaan sakit hatinya ada sedikit persamaan. Aisah dan Ibu Tua pun saling menghibur untuk melupakan luka hatinya.

Beruntung Aisah memiliki majikan Ibu Tua yang baik hati. Kemana pun Ibu Tua pergi pasti Aisah di bawa serta. Belanja ke mall atau kemana saja Ibu Tua ingin pergi. Dan ketika Ibu Tua sakit hingga harus dirawat di rumah sakit pun Aisah ikut menginap di sana untuk menjaga dan mengurusi Ibu Tua. Tak ada waktu bagi Aisah untuk diam melamun mengingat masa lalu dengan sakit hatinya.

Selang beberapa bulan, Aisah harus beralih pekerjaan menjadi pelayan di gerai milik majikannya, karena waktu itu pelayan sebelumnya sudah habis masa kontrak kerjanya. Gerai itu tempat menjual hasil perkebunan majikannya, mulai dari buah-buahan dan sayur-sayuran.

Pekerjaan apa pun tentunya sangat melelahkan, namun bagi Aisah itu adalah sebuah perjuangan. Ia harus kuat demi anaknya, seberat apa pun pekerjaannya. Aisah sudah terbiasa mengangkat beban kurang lebih 30 kg oleh tangannya sendiri. Segala yang ia rasakan tentang kegelisahan ditentangnya untuk tidak bersemayam dalam hati. Aisah menepis kerinduan pada anaknya dengan sekuat hati.

Hari pun berganti bulan ke bulan, hingga genap dua tahun kontrak kerjanya harus berakhir. Majikannya ingin ia memperpanjang kembali kontrak, namun Aisah tetap ingin kembali ke tanah airnya, karena memang sudah tak mampu membendung kerinduan pada keluarganya. Akhirnya ia pun kembali ke Indonesia tercinta, kembali pada keluarganya.

Lantas, apa yang Aisah lakukan setelah kembali di Indonesia?

Ternyata Aisah meneruskan studinya masuk ke perguruan tinggi. Tak ada tabungan yang ia miliki dari hasil kerja di Brunei, karena memang hanya cukup pas-pasan saja untuk biaya setiap bulannya. Kembali ibunya-lah yang akhirnya membiayai Aisah kuliah.

Ketika kuliahnya menginjak di semester ketiga, Aisah berusaha untuk sambil bekerja sebagai guru honorer. Aisah pernah punya mimpi untuk menjadi seorang guru dan pada akhirnya mimpi itu dijadikan nyata dalam perjuangan hidupnya. 

Walau dengan gaji tak seberapa, Aisah tetap menikmati pekerjaannya, karena di belakangnya selalu ada ibunya yang menopang kebutuhannya juga anaknya. 

"Ibuku pahlawanku." Begitulah Aisah membanggakan ibunya.

Hingga tiba suatu waktu Aisah dipertemukan dengan seorang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Dari suaminya yang kedua, Aisah dianugerahi kembali seorang anak laki-laki. Namun nasib masih belum berpihak indah bagi Aisah, suaminya hanya seorang kuli sederhana dengan penghasilan dibilang tidak memadai. Aisah tetap merasa membebani ibunya, dan itu hal yang sangat menyedihkan baginya. Di usia Aisah yang tak lagi muda masih saja menjadi beban bagi ibunya yang sudah mulai renta.

Sungguh sedih jika Aisah mengingat masa-masa sulit itu, namun ia tak pernah patah semangat. Di dalam hatinya selalu yakin akan ada indah pada waktunya. Hingga ada kesempatan untuk Aisah mengikuti Tes Pegawai Negeri. Dengan meminta restu ibunya, Aisah pun berangkat mengikuti tes tersebut dengan doa dan segala harapan.

Atas berkat rahmat Allah SWT dan doa ibunya, Aisah pun lulus dalam tes tersebut. 

"Alhamdulillah, Yaa...Rabb, terimakasih atas karunia-Mu." Aisah mengucap syukur penuh bahagia.

Tak pernah disangka ia akan menjadi seorang PNS, sungguh indah pada waktunya. Perjalanan hidupnya yang harus mengalami kepahitan akhirnya berbuah manis. Perjuangan dan doa ibunya adalah pendukung kuat bagi perjalanan Aisah. 

Kebahagiaan pun mengelilingi keluarga Aisah. Betapa indah hadiah dari Sang Maha Penyayang. Masa lalu yang sangat pahit telah menjadikan Aisah bertekad kuat untuk maju. Ia akhirnya bisa memperlihatkan bahwa sakit hati itu telah mencambuknya dengan kuat untuk bangkit dan berjuang demi anaknya.

Putus asa pernah ia rasakan, namun tak menjadikannya putus pengharapan. Luka telah menjadikannya sebuah perih yang harus terobati hingga sembuh seperti sediakala. Kecewa telah membawanya kembali pada perjalanan untuk meraih segala mimpinya. Banyak hikmah dan pelajaran dari kepahitan hidupnya.

Semoga Aisah senantiasa kuat dalam bahtera kehidupannya sekarang. Dalam kebahagiaan tentunya selalu ada celah ujian dan cobaan yang menimpa. Layaknya gelombang samudera yang tak selamanya tenang, karena angin atau pun badai pasti ada menghantam.

"Jangan terlalu banyak berpikir, jangan terlalu sering berandai-andai, jangan habiskan waktu cemas, dan sebagainya. Tidak banyak manfaatnya, malah membuat rumit diri sendiri." (Tere Liye)

"Kita tak wajib berhasil, tapi wajib terus berusaha. Kita tak wajib menang, tapi wajib terus berjuang."(inovasee)

"Perjalanan panjang takkan melelahkan, jika engkau tahu arah dan tujuan. Demikian juga dengan kehidupan." (Inovasee)

"Ketika merasa terpuruk, lihatlah mereka yang berada di bawah kita, karena masih ada orang yang tak seberuntung kita."(Pukinas)

Semoga kisah ini dapat menginspirasi, dan menjadikan kita untuk hidup lebih baik lagi.

Tetap semangat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun