Mohon tunggu...
puji triana putri L
puji triana putri L Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memiliki minat dalam membaca

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perilaku Konsumtif Salah Satu Dampak dari Fenomena Fast Fashion

9 Januari 2024   19:50 Diperbarui: 9 Januari 2024   20:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fast fashion merupakan sebuah konsep dalam dunia fashion yang membuat produk serta gaya fashion dengan cepat tersedia, siap pakai, namun cepat berganti. Sistem dari fast fashion ini adalah sistem yang dibentuk atas dasar globalisasi dan hal itulah yang memnyebabkan budaya konsumerisme atau perilaku konsumtif pada generasi saat ini. 

Di era digital saat ini, hampir sebagian besar masyarakat mudah terkoneksi dengan dunia maya. Melalui platform media sosial, mereka sangat mudah menemui tren outfit terkini, influencer fashion, dan merek-merek pakaian yang popular pada saat ini. Fast fashion dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan tren dan menawarkan produk-produk murah yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara instan.

Seperti disampaikan di atas, bahwa globalisasi menjadi dasar dari tren fast fashion. Globalisasi sebagai peran penting dalam pembentukan sistem dari fast fashion ini. Tren-tren terkini berkembang begitu cepat dengan bantuan media sosial sehingga perusahaan retail fast fashion memproduksi model pakaian terbaru setiap bulan atau bahkan dalam beberapa minggu. 

Tren yang sangat cepat berubah ditambah dengan harga jual yang murah mengakibatkan adanya perilaku konsumsi berlebih pada kalangan konsumen. Harga jual murah dan tren terbaru memungkinkan konsumen untuk selalu mengikuti perkembangan mode.

Dari sinilah peran globalisasi dan juga fast fashion saling berhubungan. Globalisasi terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu. Hal yang sama berlaku untuk fast fashion, karena tren juga tumbuh dan berkembang entah siapa yang menciptakan tren tetapi tren ini muncul secara tiba-tiba dan tidak terduga. 

Dengan kecanggihan teknologi, banyak sumber informasi yang di dapat, membuat khalayak sangat mudah untuk saling mempengaruhi saru sama lain. Bagaimana tren fashion ini terus berkembang dan di agung-agungkan bagi sebagaian orang tertama para influencer fashion untuk memberikan informasi kepada pengikut mereka. 

Istilah konsumerisme dapat diartikan sebagai tindakan atau perilaku seseorang yang konsumtif untuk membeli barang dan jasa secara berlebihan dan mengabaikan prinsip berhemat untuk alasan-alasan yang bukan bersifat fungsional demi kesenangan semata. 

Budaya globalisai yang membawa pemikiran neoliberalisme telah melahirkan budaya global yang mempengaruhi perilaku konsumsi manusia, globalisasi gaya hidup, dan globalisasi budaya yang disebut konsumerisme. Budaya globalisasi ini tentunya mengasingkan budaya-budaya lokal masyarakat terutama bumi bagian selatan. 

Pada perkembangan saat ini, tren fashion berubah sangat cepat, membuat orang tidak ingin ketinggalan dan akan terus mencari barang keluaran terbaru dari berbagai brand, hingga muncul konsep "Ready to wear" yang mengimplementasikan tren desainer nasional maupun internasional dalam bentuk fashion dengan harga yang lebih terjangkau serta dalam jumlah yang massive.

Perilaku membeli memiliki dua pola, yaitu pola pembelian yang berulang (brand loyality) dan pembelian tidak direncanakan (implusive buying). Pada pola brand loyality, pembelian suatu produk oleh konsumen seringkali didasari oleh merek tertentu. Hal tersebut sering berulang karena kesetiaan konsumen dengan merek tersebut. 

Sedangkan pembelian implusif pembelian tidak direncanakan secara khusus. Pembelian implusif diartikan sebagai tidak terencana, tiba-tiba, dan tindakan spontan untuk membeli, yang kurang hati-hati dalam evaluasi produk tersebut maupun konsekuensi pembelian setelahnya. 

Adanya tren fast fashion ini menyebabkan perilaku pembelian implusif dimana tren dengan cepat berubah dan banyaknya sumber informasi yang didapatkan individu untuk melihat sebuah tren fashion dan muncul dorongan untuk terus mengikuti keinginan diri sendiri untuk membeli dengan tidak adanya pertimbangan yang bijak.

Industri fast fashion biasanya menggunakan pewarna tekstil yang murah dan berbahaya, sehingga dapat menyebabkan pencemaran air dan berisiko mencemari lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu sungai yang ter dampak dan sangat sering diberitakan ialah pencemaran sungai Citarum. Penggunaan bahan baku sintesis seperti katun anorganik dan polyester juga tentu membawa dampak buruk bagi lingkungan, yaitu sebagai penyumbang emisi karbon.

Sebanyak 15% dari total proses produksi industri tekstil akan menjadi limbah dan terbuang. Limbah tekstil yang 37 belum dipasarkan ini akan terus bertambah seiring dengan berjalannya proses produksi industri tekstil. Fakta mengatakan bahwa rata-rata perusahaan celana dan jeans menghasilkan 10% limbah tekstil pra-konsumsi, sedangkan perusahaan blouse, jaket dan pakaian dalam menghasilkan lebih dari 10% .

Dari berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, maka dapat dikemukakan beberapa solusi untuk mengurangi perilaku konsumtif dan bijak terhadap tren fast fashion bagi khalayak. Pertama adalah untuk bijak dalam menerima setiap informasi dari media sosial dan dapat memilah informasi mana yang benar dan terpercaya. 

Kedua, mengurangi perilaku implusif dimana saat membeli memang harus sudah direncakan terlebih dahulu tidak secara tiba-tiba, dan spontan saat ingin membeli. Pembelian suatu barang juga harus di dasari oleh kebutuhan diri tidak keinginan. Lalu, adanya awareness terhadap implusive buying menumbuhkan  kesadaran dalam tren apalagi di era globalisasi dan perkembangan teknologi.

Selanjutnya, khalayak dapat melakukan perencanaan sebelum melakukan pembelian produk seperti catatan kecil dan menentukan barang yang ingin dibeli. Lebih memperhatikan lagi kualitas produk yang dibeli agar diakhir individu tidak merasakan penyesalan serta menghindari juga dari perilaku pemborosan. 

Keempat, masyarakat menerapkan gerakan capsule wardrobe dimana memperhatikan bahan pakaian yang dapat di pakai dalam waktu yang cukup lama. Memilih warna serta model yang basic dengan warna-warna polos, serta kemeja-kemeja yang tidak memiliki warna yang banyak. Kelima, masyarakat sebagai konsumen fashion diharap tidak terpaku pada merek-merek tertentu, dan selalu melakukan pertimbangan pada produk-produk lain yang harga dan kualitasnya lebih terjangkau dan realistis. 

Referensi

Aprianur, R. (2020). Hubungan Keterlibatan Fashion Dengan Pembelian Impulsif Produk Fashion Pada Dewasa Awal. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(2), 15

https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v8i2.4895

Rusadi, Hakim, A., & Yuniarti. (2022). Fenomena Fast fashion Sebagai Budaya Konsumerisme Pada Kalangan Pemuda Kota Surabaya. Al'Ma Arief, 4(2), 59--67.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun