"Beli buku itu sia-sia. Buang uang. Mending uangnya dipakai buat beli baju atau perhiasan. Biar kelihatan cantik"
Itulah komentar dari beberaoa orang ketika mereka tahu bahwa aku rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk membeli buku. Rela irit beli baju dan kosmetik biar aku tetap bisa upgrade ilmu pengetahuan sekaligus menikmati novel-novel kesukaanku.
Jangankan mereka. Kadang aku juga bingung sendiri. Kenapa aku tidak mempermasalahkan uang ratusan ribu habis di meja kasier sebuah toko buku untuk membeli beberapa buku kesukaan. Sedangkan rasanya sayang sekali mengeluarkan uang untuk beli baju meski hanya seratus ribu.
Alhasil, aku jarang sekali upgrade baju. Selalu tertinggal dengan informasi fashion terkini. Karena bagiku selama baju masih layak dipakai, tidak ada alasan apapun untuk membeli baju lagi. Kecuali lebaran tiba. Itupun hanya satu stel saja sebagai formalitas.
Tapi tidak untuk buku. Entah sudah ada berapa ratus buku yang memenuhi rak buku di rumah. Aku memang tidak pernah menghitung berapa tepatnya. Tapi koleksi itu terus bertambah seiring munculnya buku-buku baru dari penulis favorit.
Bagiku membaca dan koleksi buku bukan hanya sebatas hobi saja. Lebih dari itu. Membaca adalah kebutuhan. Dan aku sadar ini ketika aku masih duduk di bangku SMA.
Aku duduk di bangku SMA sekitar tahun 2001 hingga 2004. Waktu dimana akses internet belum mudah seperti sekarang ini. Selain televisi, satu-satunya media yang biasa kugunakan untuk upgrade informasi adalah buku. Sesekali baca koran dan majalah sastra yang datang secara berkala di perpustakaan sekolah.
Tiada hari tanpa mengunjungi perpustakaan. Bahkan aku nyaris membaca semua novel yang ada di perpustakaan selama tiga tahun bersekolah di SMA. Kenapa novel? Ya karena aku memang suka sastra. Selebihnya buku-buku ensiklopedi dan buku teknologi yang ada di sana.
Minat bacaku dimulai dari situ. Lalu berlanjut hingga bangku kuliah. Hobiku masih sama. Di sela-sela kelas kuliah biasnya aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan daripada di kantin.Â
Tidak seperti di SMA yang banyak menyediakan buku sastra, di perpustakaan kampus lebih didominasi buku diktat dan jurnal ilmiah. Terutama untuk buku-buku bidang ekonomi dan investasi. Karena memang aku kuliah di sebuah sekolah tinggi ekonomi swasta di kota Semarang.
Lebih banyak berkutat dengan ilmu ekonomi bukan berarti aku melupakan hobi baca novel. Sesekali aku datang ke toko buku terbesar di kota ini. Memilih novel-novel yang sedang nge-hits kala itu. Bukan untuk membeli, tapi hanya sebatas baca di tempat.
Jangankan untuk membeli buku ori di toko buku bergengsi. Untuk uang kuliah, makan, dan kos saja masih ngos-ngosan. Beruntung toko buku memberi satu sample buku yang biasanya dibuka.Â
Aku manfaatkan kesempatan ini untuk membaca novel-novel kesukaanku. Dengan cara ini pula aku bisa membaca beberapa novel dari awal hingga akhir tanpa harus membeli.Â
Ada beberapa teman yang menyarankan untuk membeli novel bajakan saja. Memang kualitas kertas dan cetaknya tidak seperti buku ori. Tapi lumayan juga daripada cuma numpang baca di toko buku.
Tapi aku menolah usul itu dengan alasan yang sederhana. Membeli buku bajakan jelas merugikan penulis. Dan aku tidak mau mengambil hak royalty penulis dengan membeli buku bajakan. Kreatifitas mereka layak untuk dihargai dengan nilai yang sepadan.
Beruntunglah numpang baca buku gratis di toko buku itu hanya kulakukan saat kuliah. Setelah lulus kuliah dan kerja, aku bisa memuaskan diri membeli buku-buku yang Kusuka. Rela menghabiskan banyak uang untuk memiliki novel-novel favoritku.
Buku tidak hanya sebatas alat upgrade informasi saja. Lebih dari itu. Kadang kala buku layaknya teman. Menemani ketika tidak banyak teman yang paham dengan kondisiku.
Sejak saat itu hingga sekarang aku mencintai buku tanpa syarat. Bahkan ketika google sudah bisa memberi semuanya, atau mulai bermunculan platform baca novel online, buku tetap tak bisa digantikan. Aku tetap membelinya. Meskipun aku sendiri lebih memilih bekerja sebagai penulis online daripada penulis buku.
Sayangnya tidak semua orang mendukung hobi yang katanya kaya manfaat itu. Sebagian besar dari mereka sampai sekarang masih mengatakan bahwa membeli buku hanya buang-buang uang. Tidak bisa bikin cantik. Apalagi bikin kaya.
Sesekali aku memang mengabaikan saja pendapat itu. Tapi lama-lama berisik juga kalau sering dengar ocehan macam itu. Apalagi kalau diucapkan oleh mereka yang sama sekali tidak pernah membiayai hidupku. Tidak pernah memberi uang padaku untuk membeli buku.
Setiap orang memiliki cara bahagia yang berbeda. Jika memang kalian suka dengan baju, kosmetik atau hal apapun lainnya, tidak perlu mengatakan bahwa membeli buku hanya buang-buang uang. Karena aku juga bisa berpendapat bahwa membeli baju dan kosmetik juga membuang uang.Â
Bukan hanya karena kalian tidak suka baca buku lantas mengatakan bahwa beli buku itu tidak berguna. Aku juga bisa mengatakan bahwa beli barang fashion dan kosmetik juga tidak berguna. Hanya karena aku tidak suka koleksi barang-barang fashion dan skin care mahal.
Berhentilah memaksa orang lain bahagia dengan cara kita. Biarkan mereka bahagia dengan caranya sendiri. Karena setiap orang memiliki hobi dan cara bahagia yang berbeda.Â
Tidak perlu mengatakan bahwa apa yang membuat kita bahagia tentu akan membuat orang lain juga bahagia. Karena kita juga tidak akan bisa bahagia kalau dipaksa melakukan apa yang membuat orang lain bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H