Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengapa Kamu Enggan Silaturahmi?

25 Mei 2020   11:30 Diperbarui: 25 Mei 2020   12:12 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sholat id warga RT/dokpri

Idul fitri di rumah saja, bener-bener nyaris di rumah saja. Setelah sholat idul fitri bersama tetangga di lapangan voley yang hanya dihadiri 35 orang warga akhirnya kembali ke rumah. 

Sholat idul fitri yang unik karena jarak masing-masing jamaah 1 meter lebih. Sholat idul fitri yang unik karena semua jamaah bermasker. Masker tahun ini menjadi barang yang dibeli untuk melengkapi baju lebaran di masa pandemi Covid-19. 

Selesai sholat idul fitri Ibu telpon apakah kami akan ke rumah beliau? Ibu  sudah masak ketupat dan pecel seperti biasa. Akhirnya setelah ditimbang-timbang karena perjalanan ke rumah ibu hanya 30 menit akhirnya diputuskan ke sana untuk silaturahmi secara langsung. Kalau biasanya kami lanjutkan berkeliling ke rumah saudara, kemarin kami benar-benar di rumah ibu saja.

Sampai rumah ibu setelah mohon maaf ke ibu dan saudara yang tinggal serumah,  kami cerita-cerita tentang suasana sholat pagi ini. 

Kami cerita kalau tadi sholat idul fitri dengan warga satu komplek perumahan kampus. Jadi benar-benar hanya orang dalam kampus. Kalau biasanya di kampus dipakai untuk sholat idul fitri bersama warga desa kali ini tidak. Dalam sholat idul fitri tersebut bapaknya anak-anak diminta untuk jadi khotibnya.

Suami khutbah/dokpri
Suami khutbah/dokpri
Gantian keluarga di rumah ibu cerita tentang sholat idul fitri tadi. 

Kata bulik " idul fitri ini suasana sangat  mencekam"

"Mencekam bagaimana?" Tanyaku

Ternyata masjid depan rumah ibu yang biasanya untuk sholat idul fitri seluruh warga desa, bahkan kadang jamaahnya sampai menggelar tikar di halaman rumah ibu, tidak boleh digunakan untuk sholat id. Akhirnya warga desa banyak yang melaksanakan sendiri di rumah-rumah dan ada yang berkelompok menjadi satu beberapa rumah.

Untuk di masjid sendiri imam mengadakan sholat di masjid namun jamaahnya hanya beberapa warga yang datangnya sembunyi-sembunyi takut kelihatan warga umum. Satu persatu ada warga yang ikut, namun tidak seperti orang mau sholat. Tidak berani lewat jalan umum depan rumah ibu. 

"Mau sholat, tapi rasanya seperti mau perang " ujar Bulik. Baru kali ini mau sholat idul fitri di masjid takut ketahuan warga umum. "Benar-benar mencekam rasanya".

Pandemi Covid-19 telah merubah suasana. Idul fitri yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi kumpul-kumpul bersama saudara menjadikan suasana mencekam. 

Bagaimana tidak mencekam, orang yang berniat mudik tidak bisa, ada yang sudah terlanjur mudik, harus putar balik. Semata-mata dilakukan agar penularan Covid-19 tidak menyebar.

Namun benarkah suasana mencekam itu dirasakan semua warga?

Ternyata tidak, banyak yang tidak peduli dengan itu semua. Mereka menganggap Covid-19 biasa-biasa saja. Covid-19 itu masih jauh di sana. Tidak akan menghampirinya. Nyatanya mereka masih berkeliaran, berkerumun dan belanja-belanja seperti biasa.

Dengan alasan persiapan lebaran mereka berdesak-desakan di pasar. Dengan alasan persiapan idul fitri mereka menyambangi mal dan melanggar social distancing. Tak peduli jaga jarak dan tak pakai masker. 

Entahlah, apa karena mereka tidak tahu? Padahal informasi sudah sedemikian masifnya. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu? Kecuali mereka memang seperti katak dalam tempurung yang tidak tahu suasana sekitar.

Ataukah memang mereka orang yang tak peduli, bandel ketika dibilangi tidak menuruti? Bisa jadi. Kepada orang-orang seperti ini yang tahu tapi tidak mau tahu, tidak menuruti dengan himbauan ini, memang tidak ada kata yang pantas untuk mereka kecuali"TERSERAH".

Terserah artinya sudah tidak ada upaya yang bisa dilakukan lagi. Terserah mereka mau berbuat semaunya. Terserah mereka mau seperti apa.

Namun apa bisa begitu? Bukannya kalau terserah kita biarkan, bisa jadi akan merugikan mereka yang benar-benar berjuang? Berjung dengan sungguh-sungguh mengatasi keadaan ini? 

Bukankah bila membiarkan, menyerahkan begitu saja dapat merugikan semua? Bukankah terserah itu merupakan pengkhianatan terhadap mereka yang sungguh-sungguh berjuang?

Kita bisa memodifikasi lingkungan dan keadaan. Atas nama perekonomian kita masih bisa menjalankan dengan tetap memegang prinsip social distancing. Atas nama pemenuhan kebutuhan kita masih bisa menyelenggarakan kegiatan jual beli.

Atas nama kebutuhan belajar kita masih bisa memfasilitasi. Atas nama kebutuhan beribadah kita masih melaksanakan sesuai dengan syariat dan tanpa perlu melanggar himbauan.

Selama itu masih menjadi kesadaran yang kita ikuti maka tidak perlu ada pelanggaran. Kesadaran bersama untuk saling menjaga. Tidak semata-mata mementingkan keegoisan kita. Keegoisan yang natinya bisa membawa malapetaka.

Idul fitri kali ini kita banyak di rumah saja. Tidak bepergian ke rumah saudara ataupun tidak menerima tamu di rumah. Apakah karena enggan bersilaturahmi atau takut corona? 

Tentu saja kita sudah tahu jawabannya. Semua itu adalah upaya kita agar Covid-19 tidak menyebar. Kalaupun ada yang beranggapan karena enggan silaturahmi maka untuk tahun ini ditepiskan dulu. Silaturahmi bisa kita lakukan secara virtual. Demi keamanan dan kesehtan bersama kita tidak laksanakan kumpul-kumpul dulu.

Kalau ada yang menganggap kita sombong tidak hadir undangan silaturahmi? Bisa diabaikan, kalaupun ada yang mengadakan even kumpul-kumpul ya mungkin mereka melaksanakannya sudah sesuai prosedur. Semua tergantung pada niat. Kalau niat kita baik, tidak berkunjung karena agar tidak tertular dan menularkan, menjaga diri dan keluarga ya insya Allah itu yang akan didapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun