"Mau sholat, tapi rasanya seperti mau perang " ujar Bulik. Baru kali ini mau sholat idul fitri di masjid takut ketahuan warga umum. "Benar-benar mencekam rasanya".
Pandemi Covid-19 telah merubah suasana. Idul fitri yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi kumpul-kumpul bersama saudara menjadikan suasana mencekam.Â
Bagaimana tidak mencekam, orang yang berniat mudik tidak bisa, ada yang sudah terlanjur mudik, harus putar balik. Semata-mata dilakukan agar penularan Covid-19 tidak menyebar.
Namun benarkah suasana mencekam itu dirasakan semua warga?
Ternyata tidak, banyak yang tidak peduli dengan itu semua. Mereka menganggap Covid-19 biasa-biasa saja. Covid-19 itu masih jauh di sana. Tidak akan menghampirinya. Nyatanya mereka masih berkeliaran, berkerumun dan belanja-belanja seperti biasa.
Dengan alasan persiapan lebaran mereka berdesak-desakan di pasar. Dengan alasan persiapan idul fitri mereka menyambangi mal dan melanggar social distancing. Tak peduli jaga jarak dan tak pakai masker.Â
Entahlah, apa karena mereka tidak tahu? Padahal informasi sudah sedemikian masifnya. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu? Kecuali mereka memang seperti katak dalam tempurung yang tidak tahu suasana sekitar.
Ataukah memang mereka orang yang tak peduli, bandel ketika dibilangi tidak menuruti? Bisa jadi. Kepada orang-orang seperti ini yang tahu tapi tidak mau tahu, tidak menuruti dengan himbauan ini, memang tidak ada kata yang pantas untuk mereka kecuali"TERSERAH".
Terserah artinya sudah tidak ada upaya yang bisa dilakukan lagi. Terserah mereka mau berbuat semaunya. Terserah mereka mau seperti apa.
Namun apa bisa begitu? Bukannya kalau terserah kita biarkan, bisa jadi akan merugikan mereka yang benar-benar berjuang? Berjung dengan sungguh-sungguh mengatasi keadaan ini?Â
Bukankah bila membiarkan, menyerahkan begitu saja dapat merugikan semua? Bukankah terserah itu merupakan pengkhianatan terhadap mereka yang sungguh-sungguh berjuang?