Bertambahnya penderita corona dari hari ke hari semakin meningkat. Tidak hanya masyarakat umum yang terkena, namun pejabat dan tenaga kesehatanpun tak lepas dari penularannya.
Himbauan untuk social distancing tak pernah berhenti. Ajakan  untuk stay at home, #dirumah saja selalu didengungkan. Dari yang memajang poster-poster, memosting status di media sosial hingga dengan membuat lagu di rumah aja dalam versi berbagai bahasa dapat kita lihat di berbagai media.
Sudah efektifkah  social distancing ini untuk mencegah penyebaran virus corona?
Efektif atau tidak, tergantung pada kita semua. Ketika patuh dengan anjuran itu, tetap di rumah saja, tidak berinteraksi dengan banyak orang, tidak bepergian pada tempat-tempat yang ada keramaian, bisa jadi efektif.
Namun ketika kita tidak mempedulikan himbauan tersebut, kita masih bandel dengan sering keluar dan kumpul-kumpul, masih ada penyelenggaraan hajatan, masih menghadiri  kajian yang melibatkan banyak orang, masih suka kuliner di luar, berinteraksi dengan banyak orang, penyebaran Covid-19 mungkin tidak bisa dikendalikan.
Hal semacam itu lah yang dikatakan sebagai garda terdepan dalam perjuangan melawan pandemi Covid-19 adalah kita, masyarakat semua. Berawal dari diri kita masing-masing untuk menahan diri tidak pergi keluar rumah, keluarga kita jaga untuk tidak bepergian, bahkan mungkin hanya sekedar netangga, Â penyebaran virus corona akan berhenti dengan sendirinya.Â
Di status teman-teman saya baca himbauan untuk tidak keluar rumah tanggal 10-12 April 2020. Sama sekali tidak keluar rumah, kenapa? Di situ tercantum, virus tidak akan bergerak dengan sendirinya, ketika kita semua berhenti tidak keluar rumah, maka penyebarannya juga akan berhenti.Â
Entahlah apakah himbauan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh semua orang? Yang jelas dalam grup kumpulan ibu-ibu rt ngobrolin tentang tukang sayur yang menawarkan pesanan belanjaan untuk stok 3 hari tersebut. Siapa yang mau menitipkan belanjaan dan jenis bahan pangannya apa saja untuk kebutuhan 3 hari ini. Ramai obrolan tersebut karena ibu-ibu ini akan benar-benar berada di rumah saja selama tiga hari ini.Â
Akhirnya tukang sayur kelilinglah yang menjadi andalan mereka  memenuhi kebutuhan pangannya.Â
Namun ternyata ada satu kasus penderita positif Covid-19 yang diwawancara oleh gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di channel youtubenya mengatakan beliau tidak habis bepergian jauh, tidak keluar kota ke wilayah zona merah ataupun ke luar negeri. Beliau hanya di rumah saja dan interaksi paling hanya dengan tukang sayur keliling.
Jadi tertularnya dari mana?Â
Di sinilah diperlukan kejujuran dari kita semua. Kita perlu jujur, apakah kita termasuk orang dalam pengawasan karena berinteraksi dengan penderita corona? Kita perlu jujur ketika mungkin statusnya adalah orang tanpa gejala padahal sudah positif corona.Â
Kenapa kita perlu jujur ? Seberapa pentingnya kejujuran tersebut?
Dari berita-berita yang saya baca, beberapa kasus penularan yang terjadi pada petugas kesehatan adalah akibat ketidakjujuran pasien ketika ditanya apakah mereka berinteraksi dengan penderita? Apakah mereka baru bepergian dari wilayah dengan zona merah corona?
Ternyata mereka tidak mengaku kalau sebelumnya pernah berinteraksi dengan orang yang dari daerah zona merah. Mereka tidak mengaku kalau pernah bepergian ke wilayah zona merah tersebut.
Bahkan ada  rekan yang pernah cerita menerima rujukan pasien dengan diagnosa diare, dikiranya dirujuk karena diarenya ternyata setelah dianamnesa lebih lanjut pasien tersebut memiliki gejala corona.Â
Ketidakjujuran tersebut menjadikan pasien yang mungkin sudah mengarah ke corona diperlakukan sebagai pasien biasa hingga akhirnya kemudian diketahui bahwa pasien tersebut positif corona. Tentu saja petugas kesehatan yang pada awalnya menerima sebagai pasien biasa dan tidak memperlakukan prosedur pasien corona menjadi kalang kabut. Mereka akhirnya mengisolasi diri karena berinteraksi dengannya.
Kejujuran itu dari dulu memang penting. Kejujuran menjadi nilai dasar kepribadian seseorang. Tidak benar kalau ada yang  mengatakan "jujur iku kojur / jujur itu cilaka" . Salah besar, yang benar adalah jujur itu membawa keselamatan. Keselamatan pada diri dan orang lain.Â
Jujur itu mengatakan apa adanya. Jujur itu tidak ada yang ditutupi. Jujur itu keterbukaan. Jujur itu membawa keselamatan.
Jangan malu bersikap jujur. Nilai kejujuran tidak akan usang dimakan jaman. Nilai kejujuran itu abadi. Dari dulu sampai sekarang, begitu juga di masa depan.
Di masa pandemi corona ini, nilai kejujuran juga diperlukan. Jujur mengatakan yang sebenarnya tentang kondisi dirinya membawa keselamatan pada diri dan orang lain. Jujur pada petugas kesehatan tentang keadaan dirinya menjadikan dirinya bisa ditangani dengan baik jika memang terkena corona dan tidak menularkan pada orang lain karena dirinya jujur dan mau mengisolasi diri.
Karena ketidakjujuran tersebut, akhirnya sekarang petugas kesehatanpun membatasi diri dalam berinteraksi dengan pasien. Kalau pada awalnya ada himbauan siapa saja yang baru pulang dari bepergian untuk periksa ke layanan kesehatan, sekarang dimohon melaporkan diri, itupun lewat media sosial agar mereka dapat didata sebagai orang dalam pengawasan.
Kepada pasien yang tidak benar-benar bergejala, atau tidak dalam keadaan darurat maka diupayakan tidak periksa ke layanan kesehatan. Tetaplah di rumah, demi keamanan dan kenyamanan bersama. Yang dalam pengawasan juga tidak bepergian, isolasikan diri agar jika dirinya positif tidak menularkan kepada yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H