Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidayah dari Tsunami Selat Sunda

23 Januari 2019   08:55 Diperbarui: 23 Januari 2019   09:16 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berapa banyak orang yang dapat mengambil hikmah dari suatu kejadian? Kita tidak bisa memprediksinya karena masalah hidayah tidak ada orang yang tahu. Itu adalah persoalan antara Tuhan dengan HambaNya. Hati yang tergugah, jiwa yang bergetar, sikap yang berubah bisa jadi terasakan oleh mereka yang mendapatkan hidayah tersebut. Bisa jadi hal yang dirasa sepele, ringan saja, bukan sesuatu yang sepertinya besar, namun ternyata mampu memberikan perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupannya. Merubahnya menjadi pribadi yang baru, membuat dirinya menjadi insan yang lebih baik. Mengubahnya seratus delapan puluh derajat.

Pengalaman semacam itu baru saja diceritakan oleh  tutor kami dalam kursus bahasa inggris yang sedang kami laksanakan. Awal kami mengenal tutor tersebut Mr. H adalah ketika pimpinan di tempat kami bekerja menyarankan  untuk kursus bahasa inggris. Kursus tersebut diadakan agar kami memiliki kemampuan berbahasa inggris yang baik. Walaupun kegiatan sehari-hari lumayan padat, kami sempatkan juga untuk mengikutinya karena dilaksanakan di kantor dan mengundang tutor dari sebuah lembaga pelatihan.

Tutor kami ini orangnya sangat menarik. Penampilan rapih, senyumnya menawan dan yang paling penting kemampuan bahasa inggrisnya itu yang membuat kami terpesona. Cas cis cus dengan lancarnya dan nyaris tidak merasa kebingungan dengan kosa kata. Kayaknya ngomong bahasa inggris itu seperti bicara bahasa ibunya saja. 

Awalnya biasa-biasa saja selayaknya tutor yang sedang mengajari muridnya. Interaksi kami dengan sang tutor juga hanya sekedar interaksi pembelajaran di ruangan. Sikapnya juga biasa-biasa saja, tidak ada yang terasa aneh, hingga kejadian tsunami selat sunda. Kami memang melaksanakan kursus tersebut beberapa minggu sebelum kejadian tsunami selat sunda.

Pertemuan berikutnya  diadakan sekitar 2 minggu setelah tsunami selat sunda. Awal pertemuan setelah kejadian tsunami tersebut kami merasa ada keanehan. Seperti biasanya jam mengajarnya memang berada di antara waktu dhuhur dan asyar, sehingga ketika adzan asyar berkumandang pembelajaran masih berlangsung. 

Pertemuan - pertemuan sebelumnya walaupun dari masjid kampus ada adzan berkumandang, pembelajaran tetap berlangsung, hanya henti sejenak mendengarkan adzan namun tidak langsung melaksanakan sholat.

Namun hari itu tutor kami tersebut meminta ijin untuk sholat berjamaah di masjid, sehingga pembelajaran dihentikan sementara. Begitu pula dengan pertemuan-pertemuan berikutnya setelah itu., selalu ada jeda waktu untuk sholat berjamaah.

Selain perubahan pada jam sholat, ada perubahan lain yang sempat tertangkap. Mulai dari gaya bicara, tutur kata, pandangan mata, cara bersalaman dan beberapa hal lainnya ada perubahan. Kami menangkap sikap tutor kami itu lebih agamis sekarang. 

Penasaran dengan perubahan yang ada, akhirnya kami menanyakan juga, apa gerangan yang membuatnya berubah. Dengan mengucapkan maaf barangkali menyinggung karena menanyakan hal yang bersifat pribadi, pertanyaan tentang perubahan yang tertangkap mata kami itu ditanyakan kepadanya.   

Awalnya tutor kami itu seperti merasa kaget juga dengan pertanyaan tersebut. Namun akhirnya dengan mata berkaca-kaca bercerita juga tentang perubahan yang terjadi pada dirinya.

Awal perubahan itu  adanya kejadian tsunami selat sunda yang menyebabkan korban meninggal begitu banyak termasuk personil band seventeen. Walau beliau tidak terlalu ngefans, karena bukan penggemar band juga, namun kematian yang mendadak pada personil band tersebut dan terjadi pada saat mereka manggung membuatnya berpikir tentang kematian.

Kematian itu ternyata begitu dekat. Kematian itu tidak bisa diprediksikan. Kematian itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Entah apakah pada saat kita siap menghadapi kematian? Ataukah justru pada saat kita bersenang-senang menikmati kehidupan? Kehidupan di dunia yang hanya bersifat sementara, namun menjadi penentu bagi kehidupan kita selanjutnya di alam sana. 

Tutor kami itu merasa begitu terhenyak. Ternyata dirinya yang segar bugar seperti ini, bisa saja meninggal sewaktu-waktu. Dan beliau belum merasa siap sekarang ini. Beliau merasa ibadahnya masih belum istiqomah. Sholatnya masih belum benar-benar terlaksana sesuai dengan waktunya. Sholat masih belum menjadi agenda utama dalam kehidupannya. Masih dikerjakan sesempatnya di antara sela-sela kesibukannya. 

Berbeda dengan seorang rekan kerjanya di kantor. Sebut saja Bapak M, beliau merasa kalau rekan kerjanya tersebut orang yang sangat memperhatikan sholat. Sholat wajib selalu dikerjakan secara berjamaah di mesjid terdekat dengan kantor. Tepat  waktu dan tidak menunda-nunda. Walau rekannya itu sangat terlihat bersahaja dalam kehidupannya, namun terasa tidak ada kesusahan yang menimpa. Dia merasa rekannya tersebut selalu bahagia dan berserah diri walau sesekali kesulitan dalam kehidupan dirasakannya.

Kedua hal tersebut memicu dirinya untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Tutor kami itu merasa tersentak  dengan dirinya yang selama ini merasa adem ayem, aman-aman saja, walau ibadahnya sangat jauh dari dikatakan sempurna. 

Ternyata kehidupan itu tidak abadi, kesehatan itu tidak selamanya datang. Kematian itu bisa datang kapan saja terhadap dirinya, dan dia tidak mau itu terjadi pada saat dirinya sedang melakukan perbuatan dosa.

Atas dasar itulah, akhirnya kesadaran itu datang. Kesadaran untuk merubah dirinya menjadi insan yang lebih baik. Kesadaran diri untuk melaksanakan sholat yang lebih sempurna. Kesadaran diri bahwa hidup itu tidak abadi.

Beliau merasa ini adalah saat terbaik untuk berubah, Kapan lagi perubahan itu akan dilaksanakan jika tidak sekarang. Kapan lagi dirinya akan lebih baik jika tidak diawali dari mulai sekarang memperbaiki sholat. Bukankah sholat adalah amalan yang akan dihisab pertama kali. Jika sholatnya baik, maka amal lainpun akan diperhitungkan baik. Namun jika sholatnya buruk maka amal lainpun akan terhitung buruk pula. Sungguh sebuah kerugian yang besar. Beliau tidak mau menjadi manusia yang bangkrut pada akhirnya.

#ditulisberdasarkancerita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun