Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidayah dari Tsunami Selat Sunda

23 Januari 2019   08:55 Diperbarui: 23 Januari 2019   09:16 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kematian itu ternyata begitu dekat. Kematian itu tidak bisa diprediksikan. Kematian itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Entah apakah pada saat kita siap menghadapi kematian? Ataukah justru pada saat kita bersenang-senang menikmati kehidupan? Kehidupan di dunia yang hanya bersifat sementara, namun menjadi penentu bagi kehidupan kita selanjutnya di alam sana. 

Tutor kami itu merasa begitu terhenyak. Ternyata dirinya yang segar bugar seperti ini, bisa saja meninggal sewaktu-waktu. Dan beliau belum merasa siap sekarang ini. Beliau merasa ibadahnya masih belum istiqomah. Sholatnya masih belum benar-benar terlaksana sesuai dengan waktunya. Sholat masih belum menjadi agenda utama dalam kehidupannya. Masih dikerjakan sesempatnya di antara sela-sela kesibukannya. 

Berbeda dengan seorang rekan kerjanya di kantor. Sebut saja Bapak M, beliau merasa kalau rekan kerjanya tersebut orang yang sangat memperhatikan sholat. Sholat wajib selalu dikerjakan secara berjamaah di mesjid terdekat dengan kantor. Tepat  waktu dan tidak menunda-nunda. Walau rekannya itu sangat terlihat bersahaja dalam kehidupannya, namun terasa tidak ada kesusahan yang menimpa. Dia merasa rekannya tersebut selalu bahagia dan berserah diri walau sesekali kesulitan dalam kehidupan dirasakannya.

Kedua hal tersebut memicu dirinya untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Tutor kami itu merasa tersentak  dengan dirinya yang selama ini merasa adem ayem, aman-aman saja, walau ibadahnya sangat jauh dari dikatakan sempurna. 

Ternyata kehidupan itu tidak abadi, kesehatan itu tidak selamanya datang. Kematian itu bisa datang kapan saja terhadap dirinya, dan dia tidak mau itu terjadi pada saat dirinya sedang melakukan perbuatan dosa.

Atas dasar itulah, akhirnya kesadaran itu datang. Kesadaran untuk merubah dirinya menjadi insan yang lebih baik. Kesadaran diri untuk melaksanakan sholat yang lebih sempurna. Kesadaran diri bahwa hidup itu tidak abadi.

Beliau merasa ini adalah saat terbaik untuk berubah, Kapan lagi perubahan itu akan dilaksanakan jika tidak sekarang. Kapan lagi dirinya akan lebih baik jika tidak diawali dari mulai sekarang memperbaiki sholat. Bukankah sholat adalah amalan yang akan dihisab pertama kali. Jika sholatnya baik, maka amal lainpun akan diperhitungkan baik. Namun jika sholatnya buruk maka amal lainpun akan terhitung buruk pula. Sungguh sebuah kerugian yang besar. Beliau tidak mau menjadi manusia yang bangkrut pada akhirnya.

#ditulisberdasarkancerita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun