Mohon tunggu...
puji ana
puji ana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu

12 Agustus 2018   14:11 Diperbarui: 12 Agustus 2018   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sah-sah saja jika ketentuan minimal itu diambil, namun alangkah lebih baik bahwa penempatan perempuan pada lembaga penyelenggara pemilu tidak sekedar dibatasi secara minimal namun harus dilihat bahwa keterlibatan perempuan adalah bagian dari pemenuhan hak perempuan di sektor publik, dan perlu ditekankan pada kompetensi personal. 

Jadi ketika ada banyak perempuan yang memiliki kelayakan dalam hal kompetensinya sudah semestinya diberi akses yang luas dan tidak serta merta hanya diambil jumlah minimalnya seolah-olahhanya berperan sebagai pelengkap saja. Sehingga ini diperlukan keberpihakan dari pengambil dan pelaksana kebijakan untuk terus mendorong agar partisipasi perempuan untuk terlibat menjadi penyelenggara pemilu dapat terealisasi dan meningkat secara kuantitatif.

Sebelum adanya pengaturan kuota minimal bagi perempuan di sejumlah produk peraturan perundang-undangan termasuk di bidang politik seperti yang diatur di dalam UU Partai Politik No. 2 Tahun 2011, tingkat representasi perempuan untuk menduduki jabatan di lembaga politik pun jarang dijumpai. Selain karena belum adanya kebijakan khusus yang mendukung representasi perempuan di lembaga politik dan lembaga penyelenggara pemilu, juga antusiasme perempuan untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu masih kurang. 

Sebab ini bukan tanpa alasan karena senyatanya dibutuhkan performance yang tangguh dari banyak aspek internal-eksternal dalam mengawal proses demokrasi, serta tak kalah penting konsisten dalam menegakkan aturan main. 

Jika dirunut lebih jauh bisa dipahami minimnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu juga di lembaga politik tidak terlepas dari konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat yang kemudian turut mempengaruhi pola relasi kuasa dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah domestik dan publik. 

Adanya anggapan yang sering muncul bahwa wilayah publik apalagi yang berkorelasi dengan politik masih terkesan "tabu", dan tak lazim bagi perempuan, karena wilayah itu lebih dekat dengan wilayah maskulin. Sehingga menjadi wajar jika perempuan memiliki posisi tawar yang masih kurang. 

Dalam kajian sejarah, para feminis menyebut budaya patriarkhi sebagai salah satu akar permasalahan ketidakadilan pada perempuan yang kemudian memunculkan banyak persoalan diskriminasi (pembedaan perlakuan) terhadap perempuan di berbagai bidang. Seorang filsafat feminis, Simone de Beauvoir mengatakan perempuan sebagai makhluk jenis kelamin kedua (the second sex). Logisnya dapat diterjemahkan bahwa posisi perempuan sebagai subyek yang dinilai kurang penting. Karena dianggap manusia kelas dua, otomatis tidak menjadi yang utama. 

Wilayah domestik seringkali disebut sebagai wilayah kodrati perempuan, Kodrat bersifat given, secara harfiah dimaknai sebagai pemberian dari Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan. Realita yang terjadi konstruksi sosial dan budaya yang dibentuk memposisikan wilayah domestik adalah kodrat dari perempuan.

 Sehingga perempuan tidak memiliki ruang yang leluasa untuk memanfaatkan peluang dan kesempatan di domain publik. Inilah yang kemudian menjadikan perempuan selangkah tertinggal dibandingkan dengan laki-laki, Namun anggapan ini tidak lantas menuding siapa yang salah dan siapa yang benar karena masyarakat tumbuh dalam sistem sosial dan budaya yang didasari oleh nilai-nilai yang tumbuh dan berproses di masyarakat yang kemudian terinternalisasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.

Dalam kaitannya dengan proses pembentukan norma di masyarakat mengutip pendapat Soerjono Soekanto "supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, dirumuskan norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Namun lama kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar." (Soerjono Soekanto, 2012, hlm.174). 

Bagian penting untuk dikaji dari pendapat ini berkaitan dengan proses adanya norma tertulis tidak dapat lepas dari nilai-nilai social,budaya,dan filosofi yang melatarbelakangi hadirnya norma yang berlaku di masyarakat yang kemudian mempengaruhi munculnya berbagai aturan hukum tak terkecuali bagi perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun