Mohon tunggu...
Puji Slamet R
Puji Slamet R Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berusaha menjadi pribadi yang santun dan bertakwa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simfoni Dua Cinta

30 Mei 2014   22:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu pertama kalinya aku menjejakkan kaki di pulau Sumatra. Ya, aku datang untuk merantau. Meninggalkan kota Magelang sebagai kota tempat kelahiranku memang berat. Apalagi harus berpisah jauh dengan kedua orang tua dan dua adikku. Sulitnya mencari lapangan kerja di tanah Jàwa adalah sebab utama. Mau tak mau merantau adalah pilihan yang harus kembali kugeluti. Lagipula sejak duduk di bangku kelas 5 SD aku sudah terbiasa merantau.

Jam dinding di ruang tamu rumah sekaligus yang akan menjadi basecamp tim tempatku bekerja telah menunjukkan pukul 23.50 wib. Badan terasa capek sekali setelah menempuh dua hari perjalanan. Setelah selesai sholat isya' aku mengambil buku diary dari dalam tas. Menulis apa saja di buku diary sudah merupakan kebiasaan sejak lama. Rasanya dia teman curhat yang gak pernah protes. Malam itu aku goreskan sebuah tulisan kecil,

Kapal telah berlabuh, kehidupan baru seakan dimulai esok hari saat sang mentari menunjukkan sinarnya yang hangat, dan udara pagi yang bersahabat. Aku ingin menyongsongnya, dengan menggenggam erat harapan dan doa untuk sebuah hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.

Aku bisa tersenyum bahagia karena senyum dan restu kedua orang tua menyertaiku. Hingga aku tegar untuk melangkah.

Meskipun ada sayatan luka.

Ya, sayatan luka di hati yang harus kuterima dengan lapang dada. Bahwa jodoh, rizki, hidup dan mati adalah di tangan-Mu. Oh Tuhan, meski hamba sangat mencintainya tapi jika kedua orang tuanya tak merestui mungkin cinta in hanya akan menjadi sebuah kenangan.


Hanya kepada-Mu hamba gantungkan doa dan harapan. Berilah hamba kekuatan dan pertolongan disetiap langkah hamba.

Aamiin.

Aku pejamkan ke dua mata. Wajah Nurhayati gadis putri dari kepala yang sangat kusayangi terbayang di pelupuk mata.

Mas Aji, aku mencintai dan menyayangimu tulus apa adanya. Aku minta maaf atas sikap kedua orang tuaku terhadap keluarga mas. Saat ini aku hanya bisa pasrah karena aku sendiri sudah tidak punya kebebasan lagi untuk memilih calon pendamping hidup. Aku bagai raga yang tak bernyawa.

Kenapa harus nama itu yang dipilihkan orang tuaku? Nama yang sangat kubenci. Belum pupus harapanku untuk bisa membina bahtera mahligai rumah tangga bersamamu mas. Hanya doa dan doa yang bisa kupanjatkan.


Tak terasa air mataku menetes membaca penggalan sepucuk surat yang ditulisnya saat melepas kepergiaanku. Tapi apa mungkin? Mungkinkahaku bisa bersanding denganya jika kedua orang tuanya mengutamakan harta dan kekayaan. Sedangkan aku adalah orang yang tak bergelimang harta.

Sayup-sayup aku masih mendengar lantunan sholawat dari Grup Sholawat Rebana Panji Kinasih, Temanggung yang kuputar lirih dari ponsel genggam.

"Rohmaka ya robbal 'ibadi rojai, waridhoka qosdi fastajibli du'aa'i..."
Kemudian kian hilang ketika aku terlelap dalam tidur.

****


Kumandang adzan memecah kehinangan malam membangunkañku. Aku bergegas mengambil air wudhu dan bersiap-siap menuju masjid. Kubangunkan pula Arif adikku yang masih bergelung dalam selimut. "Duh, masih capek dan ngantuk mas...ntar jam lima bangunin yah." Akhirnya aku berangkat sendirian menuju masjid yang tak jauh dari basecamp.

Sesampai di masjid yang cukup megah itu aku terenyuh karena nyaris tidak ada jamaah sholat subuh. Hanya aku dan penjaga masjid yang bertindak sebagai imam. Berbanding terbalik dengan jamaah sholat subuh di masjid kampung kelahiranku yang biasa terisi dua shaf meski kebanyakan orang-orang tua yang berbondong-bondong ke masjid.

Setelah selesai berjamaah penjaga masjid yang sudah separuh baya itu menyalamiku, "Tampaknya adik orang baru ya disini?" Tanya beliau ramah. Aku hanya mengangguk lantas sedikit bercerita tentang asal-usul dan keperluanku disini. Bapak penjaga masjid yang bernama Pak Sumedi itu tersenyum mendengar aku berasal dari Jawa. "Bapak juga asli dari Jawa dek, bapak lahir di Kutoarjo. Kalau bapak sekeluarga sih sudah sejak tahun 83 merantau disini." Aku manggut-manggut mendengarnya. Ada rasa senang bisa berkenalan dengan sama-sama orang Jawa yang hidup di tanah perantauan.

Perbincangan kami beralih ke persoalan minimnya jamaah sholat subuh di masjid Al-Hidayah yang berada di komplek perumahan ini, "Sayang sekali ya pak, masjidnya kok sepi dari jamaah..." Pak Sumedi hanya tersenyum, "Maklumlah dek, disini gak bisa disamakan dengan di Jawa. Disana masih banyak orang-orang sholeh dan pondok-pondok pesantren."

Perbincangan kami terpotong oleh sebuah uluk salam dari luar masjid. "Assalammualaikum..." Aku dan Pak Sumedi serempak menjawab salam bersamaan. Ternyata seorang gadis muda yang datang. Subhanallah, cantik sekali. Gumamku dalam hati.

"Oh ya dek Aji perkenalkan, ini putri bungsuku Ardina Kusumawardani..." Gadis anggun dan berjilbab yang ternyata putri pak Sumedi itu melempar senyumnya seraya menelangkupkan ke dua telapak tangan di depan dada sebagai tanda salam.

"Salam kenal kak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun