Giliran kakakku yang tersenyum, "Insya Allah...doa saya selalu untukmu Kal. Hemm...tapi ngomong-ngomong apa jenengan sudah punya calon?"
Aku yang berdiri disamping ibunda entah kenapa merasa tegang menanti jawaban dari Sang Hafidz. Aku merapatkan peganganku pada lengan bunda. Keringat dingin membanjiri kulitku.
"Masya Allah...Lukman, sudah lama saya jatuh hati pada seorang muslimah yang saya yakini akan kesholihahanya. Jika waktunya sudah tepat saya akan datang melamar dan semoga Allah menakdirkan dia sebagai jodohku di dunia sampai di akhirat kelak."
Subhanallah, aku tertegun mendengar penuturanya. Tak kusangka ia sempat menoleh kearahku dan melemparkan senyum yang tak sepenuhnya kumengerti namun ada bunga-bunga yang bermekaran tumbuh dalam hatiku. Spontan dalam hati aku mengamini ucapanya. Serasa mau copot tulang-tulang di seluruh tubuhku saat sekilas melihat senyumnya ketika hendak berpamitan pulang kembali ke kota asalnya di Yogyakarta.
Aku gemetaran menangkupkan tangan di dada ketika ia menghampiriku dan mengucapkan salam. "Assalammualaikum dik Syarifah, kami sekeluarga pamit pulang dulu..."
"Wa..waalaikumsalam mas, hati-hati geh di jalan." Aku tersipu malu melihatnya tersenyum mungkin karena aku terbata-bata menjawabnya.
Kulihat mobil Fortuner hitam metalik itu bergerak perlahan meninggalkan pelataran rumah membawa kembali rombongam tamu agung itu.
Ibundaku merangkul pundakku, mengajakku masuk kembali ke dalam rumah. Sebait doa kembali kupanjatkan: "Ya Allah yaa rabb, andaikan Engkau menakdirkan hamba sebagai pendamping hidup hamba pilihan-Mu maka pertemukanlah hamba denganya dalam ikatan suci tali pernikahan...."
****
~~Tamat~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H