Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jeruk Manis dari Warga Wadas

15 Juli 2022   11:09 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:24 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bro, besok kamu ke Wadas ya. Liput pengukuran lahan penambangan kuari. Besok BPN mulai lakukan pengukuran lagi,"

Itu bunyi pesan WA dari redaktur saya di Jakarta, Senin malam. Seperti biasa, saya hanya bisa menjawab "Siap bos!".

Ya seperti prajurit, saya nggak mungkin menolak perintah redaktur saya itu. Kalau berkelit,  karier bisa ancur.

Wadas. Saya tak asing dengan desa di Purworejo itu. Saat pengukuran lahan untuk penambangan batu andesit di desa itu 8 Februari lalu, saya juga ada di sana. Saya melihat langsung, bagaimana ketegangan terjadi antara aparat dengan warga yang menolak penambangan kuari.

Pikiran saya melayang pada kejadian itu. Waktu itu suasana begitu mencekam. Teriakan, tangisan bahkan aksi kejar-kejaran berujung penangkapan. Kali ini kasusnya sama. Akan ada pengukuran di sana. Dalam hati cukup was-was juga. Mungkin nggak ya bakal terjadi chaos lagi?

"Hati-hati. Mayoritas tanah yang diukur kali ini adalah tanah warga yang dulu menolak penambangan. Ada selebaran aksi penolakan yang ramai di media sosial," balas redaktur saya.

Ah...tambah miris juga rasanya. Berangkat nggak ya? Nanti geger lagi. Nanti bentrok lagi. Apa saya pantau dari kejauhan saja? Update peristiwa dan wawancara dari telepon atau menunggu presscon?

Tapi naluri jurnalistik saya bergejolak. Saya termasuk orang yang punya prinsip, berita hasil pantauan lapangan lebih istimewa daripada sekadar menghadiri presscon atau wawancara via telephone.

Akhirnya, saya memutuskan berangkat ke Wadas hari itu juga.

Selama perjalanan Semarang-Wadas, saya kontak beberapa informan di sana. Bertanya kondisi terkini dan suasana. Sejumlah informan mengatakan, suasana Wadas aman-aman saja. Berkali-kali saya pastikan, dia jawab hal yang sama. Wadas kondusif.

Saya awalnya nggak percaya, tapi setelah saya masuk ke Desa Wadas, saya benar-benar merasakan hal yang berbeda. Di pintu masuk desa, tak ada masyarakat yang berjaga. Padahal dulu biasanya, mereka menjaga ketat pintu masuk. Semua pendatang dicek dan ditanyai keperluannya. Kali ini, saya bebas nyelonong boy tanpa halangan.

Suasana lengang saya dapati ketika masuk ke desa itu. Tak lama, puluhan petugas BPN datang membawa alat pengukuran. Jumlahnya tak banyak, hanya puluhan orang. Saya juga tak melihat mereka dikawal aparat keamanan seperti saat pengukuran pertama. Hanya beberapa orang, yang saya yakin mereka intel kepolisian. Tapi mereka berpakaian preman, hanya mengawasi dari kejauhan.

Tak ada aksi demo penolakan warga seperti informasi yang saya terima. Bahkan warga tak terlihat berkerumun dalam jumlah besar. Disitulah saya mulai menghembuskan nafas lega. Ah, benar-benar kondusif.

Saat pengukuran, saya diminta petugas untuk mencari ojek motor. Sebab lokasinya di atas Bukit Wadas, jalannya kecil, menanjak dan tak mungkin diakses kendaraan roda empat. Saya kemudian mencari warga, yang mau mengantarkan saya ke lokasi pengukuran. Seorang remaja dengan motor trail di pinggir jalan, saya panggil dan saya mintai pertolongan.

Pemuda itu ramah sekali. Dia mau mengantarkan saya sampai ke lokasi. Sepanjang perjalanan, dia bercerita bahwa dulu dia sering ikut demo menolak penambangan kuari.

"Saya dulu selalu berada di barisan paling depan. Demo sampai ke Semarang," kata pemuda itu.

Iseng saya tanya alasan kenapa dia menolak. Alasannya cukup mengagetkan. Saya hanya ikut-ikutan mas, katanya. Bahkan dia nggak ngerti apa yang sebenarnya ia perjuangkan. Hanya katanya dan katanya. Alasan klasik yang sering saya temukan pada peserta demo jalanan.

Di lokasi, saya juga bertemu dengan warga yang mendampingi petugas selama pengukuran. Sama sekali tak ada ketegangan. Warga yang dulunya menolak, kini dengan tersenyum mengantarkan petugas ke lahannya masing-masing. Mereka ikhlas, tanahnya dibebaskan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

"Dulu saya keras menolak, karena khawatir masa depan anak cucu. Saya kan petani, kalau tanahnya dijual, mau kerja apa," kata salah satu warga.

Apalagi, isu yang beredar penambangan akan merugikan warga Wadas. Tapi setelah tahu kondisi sebenarnya, ia akhirnya menerima. Apalagi, uang ganti untung bisa ia belikan lahan di tempat lainnya. Masa depan anak cucu masih terjaga. Sisa uang untuk beli lahan, bahkan bisa untuk modal usaha atau ditabungkan.

"Ya saya harap uang ganti untung segera cair. Dan warga yang masih menolak, bisa segera menerima. Toh ini juga demi kebaikan bersama," ucapnya.

Saya mencoba menggali lebih dalam tentang perubahan sikap warga Wadas itu. Salah satu yang menarik, saya temukan fakta bahwa adanya campur tangan seorang Ganjar Pranowo. Meski dihujat sana-sini, tapi Ganjar berhasil mengambil hati warga, dengan cara dan sikap yang elegan.

Saya masih ingat betul saat Ganjar pertama datang ke Wadas. Saat itu, ia dengan gagah mengatakan permohonan maaf atas bentrokan yang terjadi. Ia bebaskan warga yang ditahan. Ia juga datang ke Wadas meski tangan kanannya diperban.

Tak hanya sekali, Ganjar berulangkali datang ke Wadas. Ia datang sendiri tanpa pengawalan. Duduk lesehan sambil mendengarkan semua keluhan. Benang kusut ia urai satu persatu.

Memang butuh waktu lama. Tapi cara itu berhasil membuat warga yang awalnya menolak penambangan, kini rela dan mengikhlaskan. Ratusan pemilik lahan di Wadas yang awalnya menolak penambangan, kini mengantar petugas ukur dengan tersenyum ke ladangnya masing-masing. Suasana begitu kondusif. Diselingi canda dan tawa. Tak ada ketegangan, tak ada intimidasi maupun ancaman.

Ya memang sampai saat ini, belum semua warga Wadas setuju dengan penambangan kuari. Masih ada sebagian kecil yang menolak. Namun dengan pendekatan humanis, saya kok yakin pelan-pelan akan terangkul semua.

Ada satu lagi yang membuat saya cukup terenyuh.

Saat hendak pulang karena merasa tugas liputan sudah terselesaikan, sepasang suami istri paruh baya datang menghampiri para petugas ukur yang baru selesai bekerja. Ia menghentikan motornya sambil menyapa dengan ramah. Di tangannya, tertenteng sebuah plastik berisi jeruk. Jeruk itu ia bagikan pada petugas yang ada di sana.

Saya pun kebagian satu. Saya ambil jeruk itu. Saya kupas dan saya makan dengan lahapnya.

Ah...jeruk dari warga Wadas ini begitu manisnya. Semanis suasana damai yang saya lihat hari itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun