Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jeruk Manis dari Warga Wadas

15 Juli 2022   11:09 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:24 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana lengang saya dapati ketika masuk ke desa itu. Tak lama, puluhan petugas BPN datang membawa alat pengukuran. Jumlahnya tak banyak, hanya puluhan orang. Saya juga tak melihat mereka dikawal aparat keamanan seperti saat pengukuran pertama. Hanya beberapa orang, yang saya yakin mereka intel kepolisian. Tapi mereka berpakaian preman, hanya mengawasi dari kejauhan.

Tak ada aksi demo penolakan warga seperti informasi yang saya terima. Bahkan warga tak terlihat berkerumun dalam jumlah besar. Disitulah saya mulai menghembuskan nafas lega. Ah, benar-benar kondusif.

Saat pengukuran, saya diminta petugas untuk mencari ojek motor. Sebab lokasinya di atas Bukit Wadas, jalannya kecil, menanjak dan tak mungkin diakses kendaraan roda empat. Saya kemudian mencari warga, yang mau mengantarkan saya ke lokasi pengukuran. Seorang remaja dengan motor trail di pinggir jalan, saya panggil dan saya mintai pertolongan.

Pemuda itu ramah sekali. Dia mau mengantarkan saya sampai ke lokasi. Sepanjang perjalanan, dia bercerita bahwa dulu dia sering ikut demo menolak penambangan kuari.

"Saya dulu selalu berada di barisan paling depan. Demo sampai ke Semarang," kata pemuda itu.

Iseng saya tanya alasan kenapa dia menolak. Alasannya cukup mengagetkan. Saya hanya ikut-ikutan mas, katanya. Bahkan dia nggak ngerti apa yang sebenarnya ia perjuangkan. Hanya katanya dan katanya. Alasan klasik yang sering saya temukan pada peserta demo jalanan.

Di lokasi, saya juga bertemu dengan warga yang mendampingi petugas selama pengukuran. Sama sekali tak ada ketegangan. Warga yang dulunya menolak, kini dengan tersenyum mengantarkan petugas ke lahannya masing-masing. Mereka ikhlas, tanahnya dibebaskan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

"Dulu saya keras menolak, karena khawatir masa depan anak cucu. Saya kan petani, kalau tanahnya dijual, mau kerja apa," kata salah satu warga.

Apalagi, isu yang beredar penambangan akan merugikan warga Wadas. Tapi setelah tahu kondisi sebenarnya, ia akhirnya menerima. Apalagi, uang ganti untung bisa ia belikan lahan di tempat lainnya. Masa depan anak cucu masih terjaga. Sisa uang untuk beli lahan, bahkan bisa untuk modal usaha atau ditabungkan.

"Ya saya harap uang ganti untung segera cair. Dan warga yang masih menolak, bisa segera menerima. Toh ini juga demi kebaikan bersama," ucapnya.

Saya mencoba menggali lebih dalam tentang perubahan sikap warga Wadas itu. Salah satu yang menarik, saya temukan fakta bahwa adanya campur tangan seorang Ganjar Pranowo. Meski dihujat sana-sini, tapi Ganjar berhasil mengambil hati warga, dengan cara dan sikap yang elegan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun