Jajaran petinggi Partai Demokrat marah besar. Pasalnya, kader unggulan mereka yang tak lain adalah putra mahkota, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak dianggap bahkan dipandang sebelah mata.
Adalah Direktur Indo Barometer, M Qodari yang jadi penyebabnya. Qodari menilai, wacana menyandingkan AHY dan Airlangga Hartarto untuk bertarung pada Pilpres 2024 tak lebih dari sekadar halusinasi.
Wacana duet Demokrat-Golkar ini memang sudah mengemuka di ranah publik, akhir-akhir ini. Kemesraan dua partai besar yang pernah berjaya pada Pilpres 2004 semakin hangat. Saling puji, saling mengunjungi dan saling menguatkan. Sepertinya, di internal dua partai sudah terjalin kesepakatan. Mereka akan bergandengan tangan pada Pilpres 2024 nanti.
Ekspektasi dan harapan mulai mencuat ke permukaan. Para elit dua partai pasti sudah memimpikan, bisa mengulang kembali kejayaan. Seperti tahun 2004 lalu. Kala itu, duet maut Demokrat-Golkar dengan calonnya SBY-Kalla berhasil memenangkan kontestasi tertinggi di negeri ini.
Jadinya, kalau mereka dianggap sebelah mata, sudah jelas langsung murka. Siapapun dan apapun di dunia, pasti tak mau dianggap jadi yang kedua. Kecap aja nomor satu kok, masak Demokrat enggak? Qodari ini bikin ulah saja. Kata mereka.
Tapi mari kita menelisik lebih dalam tentang pernyataan Qodari. Sebagai pemerhati politik sekaligus pemilik lembaga survei ternama, Qodari tentu tak asal bicara. Dalam kasus ini, statemen-statemen Qodari memang sesuai dengan kenyataan.
Faktanya, elektabilitas AHY maupun Airlangga Hartarto sampai detik ini belum kelihatan menonjol. Beberapa kali lembaga Sigi melakukan jajak pendapat, dua nama itu masih berada di barisan buncit.
Survei terbaru yang dihelat Parameter Politik Indonesia misalnya, elektabilitas AHY masih kalah jauh dibanding nama-nama besar lain semisal Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto atau Anies Baswedan. Dalam survei itu, AHY hanya didukung 5,6 persen suara. Sementara Airlangga justru lebih mengenaskan, hanya memperoleh 0,4 persen saja.
Lembaga survei milik Qodari sendiri, Indo Barometer pernah melakukan jajak pendapat pada Februari 2021 lalu. Hasilnya, elektabilitas AHY berada di urutan keenam dengan perolehan 5,7 persen. Sementara nama Airlangga tak masuk dalam survei tersebut.
Belum lagi soal pengalaman politik. AHY dinilai masih belum memiliki pengalaman mumpuni untuk bertarung dalam kontestasi setingkat Capres. Semasa karier politiknya, ia belum pernah menduduki jabatan politik bergengsi. Pernah sih dia mencalonkan diri jadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi seperti yang sudah diketahui, ia keok dengan perolehan suara 17 persen dan tak bisa ikut putaran kedua.
Jadi kalau Demokrat merasa pede dan memandang bahwa AHY memiliki kans kuat seperti SBY, ya memang halu. Dari segi apapun, AHY belum bisa menyaingi kehebatan sang bapak.
Inilah yang membuat Qodari menilai duet ini halusinasi dan tak menguntungkan bagi Golkar. Pasalnya, Airlangga Hartarto memiliki seabrek pengalaman dan akan sia-sia jika disandingkan dengan AHY. Sebagai politisi senior dengan partai yang juga cukup besar, Qodari mengatakan Airlangga bisa dipasangkan dengan calon potensial lainnya dibanding AHY.
Demokrat boleh-boleh saja tak terima dengan pernyataan Qodari. Tapi melihat peta politik saat ini, Demokrat sepertinya harus berterima kasih dengan statement itu. Mereka harus berkaca dengan kondisi perpolitikan saat ini. Evaluasi besar-besaran harus dilakukan, strategi perang harus ditingkatkan. Tujuannya satu, demi mendongkrak elektabilitas sang ketua umum.
Kalau Demokrat marah-marah, bisa jadi mereka tak punya kaca di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H