Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Koruptor Divaksin

27 Februari 2021   12:02 Diperbarui: 27 Februari 2021   12:10 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbah Doel meradang. Dibantingnya koran langanannya itu ke atas meja. Hampir saja, kopi hitam kesukaannya tumpah terkena hempasan surat kabar itu.

"Edan...berita opo iki?," hardiknya.

Kemit, si cucu yang sedang asyik main gawai di ruang tamu langsung melesat. Dihampirinya sang kakek karena suara lemparan koran dan amukannya terdengar mengerikan. Kemit khawatir, darah tinggi sang kakek kumat, lalu harus kembali masuk rumah sakit.

"Ono opo to mbah, sing sabar," ucap Kemit menenangkan.

"Sabar piye. Iki lho le, masa koruptor jadi prioritas dapat vaksin Covid-19. Edan. Mau jadi apa negara ini?," bentak Mbah Doel masih belum tenang.

Diambilnya koran itu oleh Kemit dan dibacanya. Memang benar, berita soal vaksinasi koruptor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat di sana.

Dibacanya dengan seksama berita itu. Tak mau terpancing dengan judul yang kontroversi itu, Kemit yang sudah SMA dan melek teknologi mencoba menelaah berita dengan benar.

"Iki lho mbah, katanya koruptor yang sedang di tahan di KPK itu rentan terdampak Covid-19. KPK khawatir, karena jumlah koruptor yang terpapar terus meningkat, dari 64 tahanan yang positif Covid-19 ada 20. Katanya to mbah, para koruptor itu dikhawatirkan menulari penyidik sampai petugas di KPK, belum lagi pengacaranya dan para hakim saat disidang," terang Kemit.

Alis Mbah Doel masih tetap ke atas. Raut wajahnya merah padam, tanda kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun.

"Koruptor kui penjahat, musuhe rakyat. Karena ulah mereka, kita jadi miskin. Mereka itu seharusnya bukannya divaksin Covid-19, tapi disuntik mati," nada suara Mbah Doel makin tinggi.

Kemit yang paham betul kemarahan simbahnya itu hanya terdiam. Sebagai mantan pejuang saat penjajahan, Mbah Doel memang kerap marah melihat kondisi bangsanya yang semakin awut-awutan.

Negara yang ia perjuangkan dengan darahnya itu, kini dipenuhi para penjahat yang melakukan segala cara untuk memperkaya diri, keluarga serta kelompoknya sendiri. Parahnya, cara yang dilakukan adalah dengan merampok uang rakyat, yakni korupsi.


"Kalau alasannya takut menulari yang lain, kan bisa dilakukan pengetatan protokol kesehatan. Lagian, sidang juga sekarang online to lhe?. Kalau memang itu dianggap riskan, lha maling sandal jepit dan maling kotak amal masjid yang ditahan di tempat lain kui pie nasibe?. Mereka ditahan uyel-uyelan, dengan sel sempit yang kumuh. Dipandang darimanapun, mereka lebih riskan dan harusnya jadi prioritas," tegas Mbah Doel.

Mereka itu, para koruptor itu, lanjut Mbah Doel orang-orang yang kaya. Tanpa divaksinpun, mereka sanggup membeli vitamin dan obat-obatan untuk menjaga stamina. Meskipun tertular Covid-19, mereka itu akan lebih aman. Kecuali, mereka yang punya penyakit bawaan.

Lha kalau penjahat cilikan, yang ditahan di sel-sel kecil itu, jangankan beli vitamin, untuk beli rokokwong saja susahnya minta ampun. Kan ya mereka sama saja rentannya, ketemu banyak orang di tahanan, kadang ya ketemu pengacara, ketemu petugas lapas dan orang-orang lainnya.

"Apapun alasannya, ini nggak bisa diterima, le," kata Mbah Doel.

Masih banyak orang lain yang lebih prioritas ketimbang tikus-tikus berdasi itu. Pedagang pasar misalnya, karyawan pabrik, kuli panggul, tukang ojek, tukang becak dan wong cilik lainnya. Mereka yang jelas-jelas membantu negara dengan bekerja keras menyokong sektor ekonomi, justru dilupakan.

"Kudune mereka itu yang divaksin duluan. Mereka itu lebih pantas dan layak mendapat vaksin, bukan para penjahat ini," Mbah Doel menghempaskan asap rokok dari bibirnya.

Kemit hanya diam saja. Dia tahu, jika simbahnya sedang marah, tak ada seorangpun yang berani melawan. Tapi jauh di lubuk hati Kemit, ia menyadari omongan simbahnya itu ada benarnya.

"Logikane le, vaksin Covid-19 itu jumlahnya masih terbatas. Padahal, yang sudah terpapar sangat banyak. Masyarakat sudah menanti dapat jatah vaksin dari pemerintah biar bisa tenang menjalani rutinitasnya. Lha sing ditunggu ndak datang-datang, justru dikasihkan pada musuh mereka. Kan edan!," ketus Mbah Doel.

Mbah Doel lalu menyeruput kopi hitamnya. Sambil memandang Kemit, cucu kesayangannya, Mbah Doel meneteskan air mata.

"Maafkan simbahmu ini ya le, sudah mewariskan negeri yang kacau ini padamu. Bukan ini yang kami harapkan saat mengusir penjajah dulu. Impian kami, kemerdekaan itu indah dan rakyat bisa sejahtera,".

"Nanti kalau kamu sudah besar, jadilah pemimpin yang bijak dan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat di atas segalanya. Elingo le, sing bener durung tentu pener. Semua itu harus pakai rasa, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua bentuk kejahatan, mau korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba, perdagangan orang, perusakan lingkungan kudu mbok sikat habis," ucap Mbah Doel.

"Kalau aku ndak bisa jadi pemimpin, gimana mbah?," ucap Kemit lirih.

"Minimal kamu jangan jadi bagian dari mereka," katanya.

Seketika suasana pun jadi hening...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun