Kesangsian terhadap GeNose juga disampaikan epidemolog Universitas Griffith, Dicky Budiman. Ia mengatakan, penggunaan GeNose sebagai alat deteksi Covid-19 di Indonesia masih belum tepat, karena masih dalam uji laboratorium.
Dicky juga mengatakan jika GeNose tak lebih berbeda dengan pengecekan suhu. GeNose juga tidak bisa dibandingkan dengan rapid test antigen, apalagi dengan PCR test.
"Oh itu jauh sekali. Itu salah kaprah. Ini yang berbahaya, karena selain alatnya sendiri masih dalam proses uji lab dan validasi, jangan sampai tujuannya screening malah yang terjadi nantinya malah paparan," kata Dicky, dikutip dari cnnindonesia.com.
Ada lagi epidemolog yang mengeluarkan kritikan cukup pedas bagi GeNose. Ialah epidemolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.Â
Pandu mengatakan, GeNose belum bisa menggantikan pengecekan Covid-19 yang sudah ada, karena alat ini menurutnya masih dalam fase eksperimental.
Terkait kritikan-kritikan dan juga serangan itu, ketua tim peneliti GeNose, Prof Kuwat Triyana hanya mesam mesem saja. Di beberapa kanal berita, Kuwat telah memberikan tanggapan terhadap kritikan-kritikan itu. Dengan jawaban ilmiah tentunya, ia menangkis semua kritikan dan serangan dengan sangat meyakinkan.
Misalnya yang menyebutkan GeNose tidak bisa digunakan kepada mereka yang merokok atau makan makanan bau sebelum dites. Kuwat menerangkan, hal itu bukan kelemahan GeNose, akan tetapi itu adalah prakondisi dan bisa disiasati. Ia mencontohkan, seseorang yang akan uji darah, maka ia diminta puasa selama enam jam.
Jawaban Kuwat ini sebenarnya sangat menohok. Secara tidak langsung, Kuwat seperti ingin mengatakan, bahwa masyarakat Indonesia tidak bodoh-bodoh amat.Â
Logikanya, ketika ada orang yang hendak bepergian, tahu kalau untuk bisa pergi ia harus tes GeNose, maka ia pasti tidak akan merokok atau makan makanan berbau menyengat sebelum pengetesan. Karena jika mereka melanggar itu, bisa jadi mereka tak jadi pergi.
Selain itu, kritikan bahwa GeNose tak bisa digunakan karena masih uji lab dan proses eksperimental, didapatnya izin edar dari Kementerian Kesehatan sepertinya sudah cukup untuk menjawab. Analogi sederhana, kalau belum lolos uji dan terbukti ampuh, mana mungkin sekelas Kementerian Kesehatan mengeluarkan izin edar untuk produk itu?.