Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ironi Nasib Wartawan di Balik Berita Demo UU Cipta Kerja: Sebuah Curhatan si Kuli Tinta

8 Oktober 2020   10:27 Diperbarui: 8 Oktober 2020   10:36 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok jabar.suara.com

Aksi mogok nasional dan demonstrasi besar-besaran menggema di seantero negeri pasca Undang-Undang Ciptakerja disahkan DPR RI. Hampir seluruh media menjadikan isu itu sebagai headline, yang setiap jam dan setiap hari selalu diupdate perkembangannya.

Berita-berita tentang aksi demo menghiasi topik-topik utama media massa kita, akhir-akhir ini. Baik cetak, radio maupun elektronik, semua berlomba menyajikan informasi menarik dan terupdate kepada pembaca.

Namun ada sebuah ironi dari berita yang muncul dalam peliputan aksi demo buruh itu. Tak lain dan tak bukan, adalah nasib wartawan yang berjibaku memperjuangkan kesejahteraan buruh melalui pemberitaan. Tak banyak yang menyadari, bahwa wartawan sebenarnya 'menangis' dengan nasibnya yang tak lebih baik dari buruh yang diperjuangkannya.

Bagaimana tidak, banyak wartawan di Indonesia, yang juga menjadi korban penindasan perusahaan media. Tak sedikit diantara mereka, mendapat gaji jauh lebih rendah ketimbang UMK atau UMP yang ditetapkan pemerintah. Jam kerja yang tak pasti dan selalu standby selama 24 jam sehari. Belum lagi kalau ada gelombang PHK, tak sedikit pula yang diberhentikan tanpa memperoleh hak-hak yang ditetapkan.

Terkait upah wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beberapa kali melakukan survey terkait upah para kuli tinta di Indonesia. Dari survey-survey itu, hasilnya cukup mengerikan.

Beberapa survey AJI menemukan, ada banyak wartawan yang digaji hanya Rp100.000-Rp300.000. Bahkan dari sisi prosentase, penelitian AJI pernah mencatat, ada 75 persen wartawan di salah satu daerah di Indonesia yang bergaji Rp750.000 sampai Rp1 juta dalam sebulan. Tentu nilai itu sangat jauh dari besaran UMK bahkan UMP yang ditetapkan.

Sebagai seorang jurnalis, penulis merasakan betul kondisi itu. Ketika bekerja di salah satu media cetak nasional, upah yang didapatkan penulis juga jauh dari ketetapan UMK Kabupaten/Kota. Jam kerja tak pasti, bahkan hampir tak ada liburan untuk sekedar bercanda bersama anak dan istri.

Derita semakin menganga saat perusahaan tempat penulis bekerja tutup mendadak tanpa tanda-tanda dan menyebabkan ratusan karyawan di PHK. Pemberhentian mendadak itu sempat membuat kami syok. Apalagi, setelah pengumuman PHK, itikad buruk perusahaan muncul. Mereka enggan memberikan pesangon sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan alasan efisiensi, perusahaan memutuskan menutup sejumlah biro perwakilan di daerah. Saat itu, perusahaan hanya memberikan 'uang terimakasih' kepada kami dengan dua bulan gaji, tanpa mengindahkan aturan rigid soal pesangon, yang ironisnya, sering mereka buat dalam setiap pemberitaan demo buruh.

Tak terima dengan perlakuan itu, penulis bersama kawan-kawan berontak dan melakukan aksi demonstrasi. Bahkan, penulis juga sempat menempuh jalur hukum. Mulai perundingan bipartit antara perusahaan hingga campur tangan pemerintah melalui perundingan tripartit, semuanya menemui jalan buntu. Akhirnya karena lelah, kami menerima uang pesangon yang tak seberapa itu.

Tak hanya saya, beberapa kawan seperjuangan dari lintas media juga mengalami hal serupa. Menerima gaji yang jauh dari kata layak, hingga perlakuan tak menyenangkan saat di-PHK. Tapi di satu sisi, ada banyak pula wartawan yang bernasib lebih baik. Gaji mereka sangat besar, ditambah tunjangan ini dan itu. Biasanya, mereka-mereka yang bergaji besar itu dari media yang kuat secara bisnis.

Siapa yang memperjuangkan kami?

Terkadang ada perasaan iri kepada para buruh yang setiap aksi kami liput kegiatannya secara besar-besaran. Dari hasil peliputan yang kami buat, pemerintah kemudian mengambil kebijakan baru atau merevisi kebijakan lama. Buruh seolah memiliki nilai tawar tinggi, dan selalu menjadi perhatian nasional.

Sementara nasib wartawan, selalu diabaikan. Apakah pemerintah tidak tahu? Pasti tahu! Hanya saja, mereka asyik dengan sikap pura-pura tidak tahu itu.

Mungkin mudah bagi pemerintah memberikan teguran keras bahkan menutup perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya dengan layak. Tapi melakukan itu pada perusahaan media? Tentu bak menyiram bensin ke bara api yang menyala.

Siapa yang memperjuangkan kami? Pertanyaan yang tak pernah terucap itu selama ini menghantui. Apakah mahasiswa, organisasi jurnalis, apakah Dewan Pers atau bahkan Presiden? Entahlah...Sampai sekarang belum ada jawabannya.

Beberapa kali, organisasi wartawan di Indonesia melakukan pendampingan terhadap wartawan yang mendapat nasib buruk itu. Tapi baru sekadar pendampingan, belum bisa memberikan dobrakan untuk merubah sistem dan mekanisme yang ada di perusahaan media. Beberapa kali kasus yang didampingi, meski menang di pengadilan, namun hak-hak mereka tetap tidak dapat direalisasikan.

Ada seorang teman, ketika menunjukkan keputusan hakim yang mewajibkan perusahaan media membayar pesangon sesuai ketentuan undang-undang, tapi tidak didapatkan dengan alasan tak punya uang. Istilahnya, ia hanya menang di atas kertas, tapi tak ada hasil apa-apa. Miris bukan?

Lalu, kenapa masih banyak orang mau jadi wartawan? Susah sekali menjawab pertanyaan ini.

Selain sebagai pekerjaan, dunia jurnalistik memiliki daya magis tersendiri bagi sebagian orang, termasuk penulis. Tak hanya mengharapkan gaji, jurnalistik lebih sebagai tempat memenuhi panggilan jiwa, tempat memperkaya pengalaman dan tempat menikmati asyiknya dunia. Keasyikan yang ditawarkan itulah, yang membuat sebagian orang 'rela' dibayar murah demi menjadi wartawan.

Inilah nasib kami, yang sangat berbeda dengan para buruh di negeri ini. Buruh dengan aliansi organisasi yang kuat, selalu memiliki kekuatan melakukan dobrakan. Selain itu, isu-isu buruh memang selalu menarik untuk kami beritakan dan selalu menjadi perhatian nasional.

Jadi, di tengah perjuangan menolak RUU Cikpta kerja, biarlah kami tetap berada pada garda terdepan memperjuangkan nasib buruh melalui karya jurnalistik. Tapi kalau kami boleh meminta, jangan biarkan kami tertular Covid-19 karena harus berjibaku memperjuangkanmu. Itu saja!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun