Saat berkunjung ke Bengawan Solo, saya bertemu dengan seorang kakek. Hartono namanya. Meski usianya sudah 70 tahun, namun ia tetap kuat mencangkul tanah di bibir sungai terbesar di pulau Jawa itu.
Bajunya nampak basah oleh peluh, namun ia tetap tersenyum menyambut kedatangan saya. Saya yang ditugasi untuk meliput soal pencemaran Bengawan Solo, beruntung bisa bertemu mbah Hartono, pagi itu.
Bagaimana tidak, cerita masa kecilnya tentang sungai ini menarik untuk diulas dan menjadi berita features yang ciamik. Ceritanya tentang keindahan Bengawan Solo tempo dulu, memang seindah lagu yang dinyanyikan Gesang.
Mbah Hartono mengisahkan, dahulu saat kecil, ia bersama teman sepermainanya, kerap ciblon di sungai itu. Airnya yang bersih, jernih, membuat mbah Hartono mau berlama-lama berenang, tentu tanpa sehelai benang di badan. Saking jernihnya, ucap mbah Hartono, sampai-sampai ikan malu untuk bercumbu karena terlihat olehnya. Begitu kisahnya.
Tapi kondisi itu kini sudah tak nampak. Di usianya yang sudah 70 tahun, ia hanya bisa menceritakan kisah manisnya itu ke anak cucu. Sungai tempatnya mandi, kini menghitam airnya akibat pencemaran lingkungan.
Pabrik-pabrik yang berdiri kokoh di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo, dengan congkakknya membuang limbahnya ke sungai. Belum lagi, industri kecil rumahan dan peternakan babi juga ikut bermunculan, tak hanya membuat air menghitam, tapi juga bau yang tak sedap.
"Tahun 80an, airnya sangat jernih. Tidak seperti sekarang, mau cuci tangan saja sudah tidak tega," keluhnya.
Mbah Hartono mungkin contoh kecil yang bisa menggambarkan bagaimana masifnya kerusakan daerah aliran sungai Bengawan Solo. Sampai saat ini, kisah kelam itu masih terjadi. Padahal, ada ribuan orang, bahkan mungkin jutaan, yang mengandalkan hidupnya dari air sungai itu. Miris.
Namun ada secercah harapan bagi mbah Hartono dan masyarakat di sekitar Bengawan Solo lainnya. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, adalah pemantik dari harapan itu. Dengan ketegasannya, ia mencoba membenahi kerusakan di Bengawan Solo agar kembali jernih.
Langkah-langkah untuk mewujudkan harapan itu sudah nampak jelas. Awal yang dilakukan Ganjar, adalah menerjunkan tim untuk mencari siapa pencemar Bengawan Solo. Setelah ketemu, ia dengan tegas memanggil sejumlah pengusaha besar dan juga industri kecil yang terbukti melakukan pencemaran.
Awalnya, tentu mereka tidak mengaku. Namun setelah ditunjukkan bukti-bukti di lapangan, mau tidak mau mereka mengakuinya.
Apakah Ganjar langsung marah dan mengambil tindakan tegas dengan menutup pabrik pencemar Bengawan Solo? Tentu tidak. Ada banyak pertimbangan jika langkah hukum itu diambil. Mengingat, ada ribuan nyawa yang bergantung dari mengais rejeki dengan bekerja di perusahaan-perusahaan itu.
Jalan tengah diambil Ganjar, dengan meminta semua pengusaha menyetop pembuangan limbah langsung ke sungai. Mereka diminta memperbaiki sistem instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) masing-masing, bagaimanapun dan berapapun biaya yang dikeluarkan, harus dilakukan. Sementara bagi pengusaha kecil rumahan dan peternak babi, Ganjar membantu mereka dengan membuatkan IPAL komunal.
Dalam pertemuan yang berlangsung Desember 2019 itu, Ganjar memberikan deadline kepada para pengusaha besar untuk memperbaiki IPAL mereka dalam waktu setahun. Dan saat ini, waktu itu tinggal tiga bulan lagi.
Desember 2020, semua perusahaan yang kedapatan membuang limbah ke sungai, harus menyelesaikan persoalan itu. Mereka harus memiliki IPAL yang standar, sehingga limbah yang dibuang ke sungai, tidak melebihi batas baku mutu.
"Saya belum akan mengambil tindakan tegas, tapi kalau Desember 2020 nanti ini tidak selesai, maka saya akan tindak secara hukum," ancamnya.
Melihat ketegasan Ganjar selama memimpin Jawa Tengah dua periode, tentunya ancaman itu bukanlah isapan jempol belaka. Tiga bulan ini, mau tidak mau pengusaha harus menyelesaikan persoalan limbah di tempatnya masing-masing. Sebab kalau tidak, Ganjar pasti akan melakukan tindakan tegas dengan menggandeng aparat penegak hukum.
Tak hanya Ganjar, saya dan juga mbah Hartono tentu akan mengawal komitmen itu. Sebab jika tidak, maka nasib Bengawan Solo mungkin akan jadi seperti Citarum atau sungai-sungai lain, yang pencemarannya akut dan sulit dibenahi.
Hei para pencemar Bengawan Solo, waktu anda  tinggal tiga bulan lagi. Camkan itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H