Sebelum bertemu Ganjar Pranowo, pandanganku terhadap semua pemimpin itu sama saja. Semuanya selalu minta dihormati, dihargai dan terkesan sombong.
Maklum saja, sebagai orang ndeso yang lahir di pelosok pulau Sumatera, aku belum pernah bersinggungan langsung dengan seorang pemimpin. Jangankan ngobrol, bertatap muka saja belum pernah.
Pernah suatu ketika, saat SMA kalau tidak salah, ada seorang pejabat yang ingin mengikuti panen raya di kampungku. Itulah kali pertama kali aku bertemu dengan pemimpin, meskipun tidak secara langsung. Dan kesannya, sungguh jauh dari kata menyenangkan.
Bagaimana tidak, kami anak-anak sekolah waktu itu, dipaksa guru kami untuk menyambut kedatangan orang terhormat itu. Berjam-jam kami menunggu di pinggir jalan, dengan harapan bisa melihat wajah pemimpin itu secara langsung. Tampil dengan dandanan sekeren mungkin, kami berbaris rapi sambil mengibarkan bendera merah putih di tangan kanan. Maklum saja, sejak lahir sampai usiaku 16 tahun, baru itu pertama kali ada pejabat masuk kampung.
Jauh sebelum hari paling bersejarah itu tiba, kampungku juga langsung berbenah total. Jalan-jalan yang biasanya jelek dan berlumpur, diperbaiki sebaik mungkin agar sang pejabat nyaman saat lewat. Pengumuman melalui Toa di masjid-masjid berkumandang, meminta seluruh warga memasang umbul-umbul di pinggir jalan agar terkesan meriah.
Saat acara berlangsung, di Balai Desa tempat pejabat itu istirahat, disiapkan aneka makanan mewah yang kamipun tak pernah memakannya. Kursi terbaik yang hanya dimiliki pak Lurah, diboyong ke kantor Balai Desa sebagai singgasana. Buah-buahan segar macam anggur, jeruk, pisang disajikan di meja, dibungkus plastik rapat biar tidak ada lalat yang menghinggapinya. Tentunya, ibu-ibu perangkat desa yang menyiapkan aneka jamuan itu, pasti tak dapat menahan air liurnya karena kepincut mencicipi.
Berjam-jam menunggu berakhir dengan kekecewaan. Saat rombongan lewat dengan mobil-mobil mewahnya, tak sedikitpun mereka memberikan perhatian. Jangankan melambaikan tangan, membuka kaca jendela mobil pun mereka ogah.
Apalagi, acara yang diikuti juga terkesan hanya menggugurkan kewajiban. Persiapan seminggu warga kampung, dibalas dengan kunjungan tak lebih dari satu jam. Tak ada dialog atau memberikan kesempatan kami beraudiensi, padahal kami warga kampung ingin sekali menyuarakan uneg-uneg kepada wakil kami itu.
Sejak saat itu, aku apatis dengan namanya pemimpin!. Bahkan sejak saat itu, belum pernah sekalipun aku menggunakan hak suaraku untuk memilih pemimpin. Ah, pasti nanti sama saja, tidak ada bedanya. Pikirku.
Namun semua berbalik saat aku bertemu Ganjar Pranowo. Sebagai seorang jurnalis yang ditugaskan di Pemprov Jateng, aku sering bersinggungan langsung dengan Gubernur Jawa Tengah dua periode itu. Ketika pertama bertemu dengannya, 2013 lalu, aku langsung melihat ada guratan wajah ramah dari pria berambut putih itu.
Setiapkali ada kegiatan, aku bisa wawancara Ganjar dengan gampang. Tanpa ribet melalui protokoler, Ganjar selalu ramah menyambut berondongan pertanyaan kami para kuli tinta, meskipun kadang ada pertanyaan yang menyerang dan sedikit kontroversi.