Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

5 Stages of Grief yang Perlu Kamu Ketahui Ketika Merasakan Kehilangan

29 Mei 2021   05:34 Diperbarui: 29 Mei 2021   05:49 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jangan merasa senang berlebihan, agar tak sedih berlebihan. Tapi bukan berarti perasaan sedih patut untuk disalahkan."

-Puja Nor Fajariyah

Aku yakin setiap manusia yang hidup pasti merasakan momen bersedih. Alasan seseorang merasa bersedih tentu saja bermacam-macam. Biasanya perasaan ini muncul karena sebuah peristiwa buruk entah itu berupa kehilangan dan biasanya akan dihindari munculnya. Aku ingat, ada salah satu kejadian yang sempat membuat aku bersedih cukup lama waktu itu. Aku akan coba menceritakannya sebentar lagi. 

Well, berbicara mengenai kesedihan, dalam tulisanku kali ini aku memang hendak menuliskan salah satu hal yang berkaitan dengan hal ini yaitu mengenai sebuah teori yang dikembangkan oleh seorang psikiater bernama Elisabeth Kubler-Ross yang dikenal dengan istilah "Stages of Grief" atau tahapan kesedihan ketika mengalami kehilangan. So, kalau kamu penasaran maka aku sarankan untuk membaca tulisan ini hingga selesai agar kamu mendapatkan insight atas apa yang aku bagikan. 

Memang sih, aku sadari bahwa cara seseorang ketika merasakan duka adalah berbeda-beda. Namun, berdasarkan fakta yang ada, terdapat berbagai kesamaan pada seseorang dalam prosesnya. Aku pernah mengalami salah satu momen kehilangan yang cukup membuat aku bersedih tepatnya terjadi pada semester 5 perkuliahan tahun lalu. Jujur saja, aku kuliah di Malang dengan biaya beasiswa. Jarang sekali atau bahkan sejak kuliah aku tak lagi meminta uang kepada orangtua berkaitan dengan kebutuhan perkuliahan. 

Bisa dibilang uang beasiswa sudah cukup untuk membiayai hidupku selama di Malang dan jauh dari orang tua. Selain itu, aku juga bekerja lepas atau sebagai freelancer design dan tentunya menulis artikel sehingga setiap bulannya mendapatkan penghasilan tambahan. Tepatnya di sekitar bulan Agustus tahun 2020, aku terkena penipuan dengan kedok whatsapp phising. 

Saat itu ada salah satu orang yang menghubungiku dan memang dari bahasa chat-nya nampak seperti dia biasanya. Yang aku ketahui, temanku ini memang memiliki usaha dan penghasilannya jauh diatasku. Dari bahasa chatnya, dia ingin meminjam uang yang cukup banyak kepadaku, jutaan lah pokoknya. 

Aku tentu saja tidak menaruh kecurigaan sama sekali karena aku kira dia hendak transfer ke salah satu konsumernya dan memang terkendala masalah. Akhirnya aku melakukan transfer sesuai dengan apa yang temanku ini butuhkan. Aku ingat sekali kejadiannya malam hari, dan aku baru sadar kalau aku telah terkena penipuan itu pada pagi harinya. Aku tahu dari grup chat dan mengatakan kalau whatsapp temanku ini telah di hack dan kalau ada yang di chat ingin meminjam uang jangan diberikan. Dari sini tentu saja aku panik dong. 

Aku coba menghubungi temanku ini melalui kontak keluarganya dan akhirnya benar adanya. Pun korbannya bukan aku saja. Akhirnya aku dihadapkan pada beberapa kondisi yang cukup membingungkan. Pertama, akan betapa jahatnya aku kalau menagih uangku sebab sudah tentu temanku tengah bersedih. Kedua, kalau aku tak menagih tentu saja aku harus merelakan uangku yang hilang karena keteledoranku tadi. Akhirnya aku memilih untuk diam dan berlarut dalam kesedihan sendiri. Sambil berjuang untuk mengikhlaskan. 

Setelah aku membaca mengenai teori Dr. Ross, aku rasa bahwa teori ini benar-benar aku alami sendiri. Dimana teori ini tepat sekali dalam mendeskripsikan perasaan ketika tengah kehilangan. Baik itu kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, barang berharga atau ketika terdiagnosis mengalami penyakit serius. Hal ini juga tertulis dalam buku "On Death and Dying" yang mana isinya terkait hasil observasi terhadap pasien-pasien Dr. Ross yang menderita penyakit dengan keadaan cukup gawat. Adapun tahapan kesedihannya sendiri adalah sebagai berikut

Pertama, denial atau penyangkalan

Tahap ini adalah reaksi yang begitu normal. Kalau melihat dari pengertiannya sendiri, denial atau penyangkalan ini bisa membantu seseorang yang tengah bersedih untuk mengurangi rasa sakit yang tengah ia alami. Kalau apa yang terjadi padaku, aku selalu terpikir "Ini pasti gak nyata" atau "Kok bisa ini terjadi padaku?" dan lain-lain. Ketika aku perlahan keluar dari fase ini, aku merasakan emosi-emosi yang semula terkubur dalam diriku perlahan muncur. Memang sulit, tetapi ini adalah bentuk perjalanan kedukaan yang memang akan dialami oleh siapapun termasuk salah satunya aku. 

Kedua, anger atau marah.

Aku masih ingat sekali ketika aku berada di tahap ini, aku sendiri marah pada diriku sendiri. Kok bisa begitu ceroboh mengirimkan uang dengan nominal yang cukup banyak dengan begitu ringan tanpa melakukan double crosscheck terlebih dahulu. Dan memang, saat itu aku hanya terpikirkan bahwa meluapkan amarah yang aku rasakan adalah yang paling benar. Aku mengurung diri di kamar dengan terus kepikiran. Terkadang ada pergolakan perasaan yang aku alami.

 Di sisi lain aku mengetahui bahwa temanku tidak patut untuk disalahkan namun terkadang karena perasaan yang begitu intens aku sempat dihadapkan dengan keadaan yang susah sekali untuk dapat berpikir rasional. Dan ketika kemarahan yang aku rasakan ini perlahan memudar, aku kembali dapat berpikir rasional terkait dengan apa yang sebenarnya telah terjadi serta sadar bahwa emosi-emosi yang sebelumnya harusnya muncul menjadi tersingkir sebab rasa marah yang aku rasakan.

Ketiga, bargaining atau penawaran. 

Ketika berada di tahap kesedihan ini, yang akan muncul dalam pikiran adalah pengandaian. Seperti halnya, "Ah, seandainya aku kemaren nanya dulu sebelum ngirim uang," seandainya begini dan seandainya begitu. Aku larut dalam pemikiran seperti itu. Kehilangan dan putus asa memang dua perasaan yang kerap berdampingan dalam tahap kesedihan. 

Ketika tengah berduka, yang biasanya akan dilakukan oleh seseorang untuk meringankan kedukaannya memang salah satunya adalah melakukan penawaran. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak juga orang yang melakukan tawar-menawar dengan Tuhan pada tahap ini agar mendapatkan kekuatan dari kedukaan dan rasa sakit. 

Empat, depression atau depresi. 

Jujur saja ini juga aku alami. Sebab, uang yang aku kirimkan dan hilang itu seharusnya merupakan uang untuk membayar kos serta biaya hidupku selama di Malang. Aku seolah dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya dimana perlu bekerja dua kali lebih keras pada akhirnya untuk mengembalikan apa yang tengah aku hilangkan. Aku masih tetap saja tak kuasa untuk meminta kepada orang tua walaupun aku sudah bercerita mengenai apa yang aku alami tadi. 

Yang aku ketahui mengenai dua jenis depresi yang berhubungan dengan kedukaan ini adalah reaksi praktis dan jenis yang bersifat lebih pribadi. Kalau reaksi pribadi, ia muncul terhadap kehilangan yang terjadi. Seperti halnya perasaan khawatir dengan kondisi finansial yang harus kamu hadapi atau kecemasan lain.

Sedangkan depresi yang lebih pribadi sendiri adalah ketika kamu menjauhkan diri dari orang lain untuk dapat mengatasi duka tersebut. Tetapi apabila kamu begitu bersedih, merasa tak berdaya, dan tak mampu untuk melewati tahap ini maka aku sarankan kamu untuk membicarakannya dengan orang terdekat atau profesional seperti psikolog. Beruntungnya, depresi ini tak sampai aku rasakan. 

Kelima, acceptance atau penerimaan.

Tahap penerimaan ini bukan berarti seseorang sudah benar-benar bahagia. Pada tahap ini, biasanya seseorang sudah mampu berdamai dengan apa yang tengah ia alami. Memang sih masih merasa sedih, namun sudah belajar untuk hidup dengan situasi kini dan mencoba keluar dari fase kehilangan. 

Yang perlu dijadikan pengingat adalah, tak semua orang yang dalam tahapan berduka akan mengalami stages of grief atau dalam urutan yang sama. Kedukaan atau griefing adalah hal yang berbeda-beda pada setiap orang. Bisa saja kamu berasa dalam proses tawar-menawar pada satu hari, lalu kembali menyangkal pada hari berikutnya. 

Hal yang juga penting adalah ungkapkan kesedihan kamu dengan orang-orang terdekat atau psikolog, terutama ketika kamu merasa sangat stres dan tidak berdaya. Dengan ini, kedukaan yang kamu alami tidak akan berlarut-larut dan kamu akan berangksur-angsur menerima kenyataan agar dapat kembali menata masa depan dengan perasaan yang lebih ringan. 

Itulah tadi sedikit yang dapat aku bagikan berdasar pada pengamalan yang pernah aku rasakan dan alami. Aku harap kamu benar-benar mendapatkan insight atas apa yang aku bagikan dan semoga tulisan ini bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun