"Titik tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan"
Beberapa hari sejak tayangnya episode terakhir dari drama True Beauty, hashtag "Seojun"Â sempat trending di beberapa media sosial di Indonesia seperti Twitter dan Instagram.Â
Bukan tanpa alasan, penayangan ending dari True Beauty dimana Lim Jugyeong yang diperankan oleh Mun Ga Young happy ending dengan Lee Suho yang diperankan oleh Cha Eun Woo.Â
Sedangkan tim Han Seojun di drama tersebut yang diperankan oleh Hwang In Youp tentu saja patah hati. Dimana, apabila dibandingkan dengan cerita di Webtoon, banyak sekali cerita di dalam drama yang tidak sesuai dan mengalami improvisasi. Dan, tentu saja hal ini wajar sekali dalam industri peran.
 Sebenarnya, aku sendiri termasuk tim Seojun jauh sebelum cerita ini diangkat menjadi drama.Â
Sebagai pembaca webtoonnya sejak tahun 2018, entah mengapa memang karakter Seojun lebih menarik menurut aku sebagai pembaca. Ending yang cukup menyedihkan di drama dimana Seojun berakhir mengikhlaskan orang yang dicintainya demi sahabatnya memang dapat membuat aku sendiri tertegun.Â
Namun, pada tulisan kali ini aku bukan hendak mengulik lebih dalam mengenai rasa patah hati Seojun, tetapi justru perasaan cintanya terhadap Jugyeong yang awet dari mulai masa SMA hingga kuliah dan ia sendiri tidak apa-apa meskipun tidak dapat memiliki orang yang dicintainya.Â
Perasaan cinta yang seperti ini memiliki istilah yang dikenal sebagai "Platonic Love" atau cinta platonis.Â
Well, dalam tulisan ini selanjutnya aku hendak membahas lebih jauh mengenai cita platonis ini setelah terinspirasi dari cinta Seojun terhadap Jugyeong. So, kalau kamu penasaran maka kamu harus membaca tulisan ini hingga selesai.
Aku ingin bertanya, kalau kamu mencintai seseorang apakah kamu termasuk tipe orang yang harus mencintai orang yang kamu cintai tersebut? kalau kamu termasuk orang yang merasa dan percaya bahwa mencintai itu dapat bertahan tanpa memiliki maka kamu sedang terjebak dengan yang namanya cinta platonis.Â
Menurut pengertiannya sendiri, cinta platonis adalah keadaan dimana seseorang memiliki perasaan cinta terhadap seseorang namun tidak dibersamai oleh nafsu atau keinginan lebih untuk dapat memiliki cinta orang tersebut.Â
Berdasarkan asal-usulnya, penamaan "platonis" ini sendiri adalah berdasar pada Plato sebagai orang pertama yang mengenalkan mengenai jenis cinta ini. Cinta platonis ini sendiri adalah penggambaran dari rasa cinta yang dimiliki Plato terhadap Socrates, guru yang sangat dicintainya. Bahkan, Plato merasakan kesedihan yang begitu mendalam ketika mengetahui Socrates mendapatkan hukuman mati.Â
Istilah cinta platonis ini tersimpan dalam karya Plato yang berjudul 'Symposium' dimana ia juga mengaitkan mengenai hal tersebut dengan teori lainnya yang bersumber dari pemikirannya yaitu 'Idea'.Â
Menurut Plato, Idea ini adalah segala konsep ideal itu hanya terdapat dan bersumber pada angan-angan belaka. Dan, hal ini ia samakan dengan cinta dimana cinta yang sempurna menurut Plato hanyalah ada ketika itu berada dalam diri manusia. Maksudnya, mencintai jiwa seseorang itu lebih eksis daripada mencintai yang diikuti oleh orientasi seksual untuk memiliki atau mencintai raga.Â
Definisi mengenai cinta platonis kemudian disederhanakan oleh beberapa orang yaitu perasaan cinta yang dipenuhi dengan cinta kasih sayang namun tidak diikuti oleh hasrat seksual.
Dengan adanya definisi tersebut semakin menguatkan bahwa cinta yang sempurna adalah perasaan mencintai dalam diam. Perasaan cinta tidak harus selalu diungkapkan dengan kata-kata ataupun sentuhan. Terdapat istilah yang terkenal mengenai cinta dalam diam ini, yaitu bernama Armor Platonicus yang pada abad ke-15 dipakai oleh Marsillo Ficino. Istilah ini merujuk pada perasaan sayang Socrates terhadap murid-muridnya dan salah satunya adalah Plato. Nah, dari sini kemudian terciptalah dasar teori cinta platonis yang kita kenal hingga sekarang.
Kita ketahui bersama bahwasanya Plato merupakan salah satu filsuf yang cukup tersohor dengan berbagai macam hasil pemikirannya. Ia berasal dari Yunani. Seperti apa yang telah aku ungkap diawal mengenai beberapa hasil pemikiran dari Plato yaitu salah duanya adalah mengenai Idea yang membahas tentang keindahan serta Platonic Love atau cinta platonis ini juga yang membahas perkara cinta. Segala hasil pemikiran Plato ini banyak sekali terpengaruh oleh pemikiran dari Socrates, gurunya.Â
Plato mengungkapkan bahwa cinta platonis yang paling sempurna adalah cintanya terhadap gurunya. Hingga kalau kita teliti lebih dalam, setiap karya yang dihasilkan oleh Plato mengandung unsur Sokratik saking besarnya pengaruh yang diberikan Socrates dalam kehidupan Plato.
Oleh karena itu kemudian cinta platonis ini sendiri menjadi lebih luas dalam hal sasarannya. Ia merupakan cinta yang tidak hanya sering disasarkan pada dua orang manusia lawan jenis yang memiliki ketertarikan antar satu sama lain. Pada cinta platonis, ia bisa saja merupakan rasa cinta seperti yang dirasakan Plato terhadap Socrates yaitu gurunya, rasa cinta orangtua terhadap anak mereka begitupun sebaliknya, atau bahkan seperti rasa Seojun terhadap Jugyeong yang pada endingnya tidak lagi didasarkan pada rasa untuk dibalas rasa cintanya atau bahkan harus memiliki sosok orang yang dicintainya.
Istilah cinta platonis ini sebenarnya akrab kita temui dalam kehidupan sehari-hari hanya saja memang istilahnya masih sering kita belum mengetahuinya. Jujur saja, siapa nih dari kamu yang baru mengetahui mengenai hal ini dan ternyata kalau mengingat-ingat tengah terjebak dalam salah satu jenis mencintai ini? atau bahkan pernah mengalaminya dalam kehidupanmu? Iya, sebagai seorang manusia sudah tentu saja setidaknya pernah satu kali merasakan atau terjebak dalam jenis cinta ini.
Dengan adanya pemikiran cinta platonis ini bisa menjadi dasar terhadap orang-orang yang berpikiran bahwa mencintai itu berarti harus selalu memiliki. Setiap orang yang mencintai perlu belajar menjadi Seojun atau tokoh-tokoh yang dalam cerita di film, drama atau novel berperan sebagai second lead. Yang lekat dalam setiap cerita yang diperankan oleh karakter second lead adalah ketika tahap mencintai mereka sudah sampai di titik yaitu mengikhlaskan dan beranggapan bahwa melihat orang yang dicintainya bahagia sudah cukup untuk membuatnya bahagia meskipun ia sendiri tidak dapat memiliki rasa cinta dari orang yang dicintainya tersebut.
Melalui cinta platonis pula seharusnya dapat mengembalikan kesempurnaan dari definisi mencintai yang seharusnya pula. Lagi-lagi sama dengan cinta platonis pada kasus Seojun dan Jugyeong dimana Seojun mencintai Jugyeong adalah dikarenakan kepribadian Jugyeong. Ia mencintai jiwa bukan raga.Â
Jadi, meskipun raga Jugyeong dalam cerita dramanya diambil oleh Suho, tetapi jiwa Jugyeong masih tetap dicintai oleh Seojun. Maka tidak heran, karakter second lead selalu dianggap sebagai orang-orang yang tangguh dan kepribadiannya selalu memberikan banyak pelajaran bagi para pembaca cerita atau penonton sebuah film dengan catatan cerita atau film tersebut adalah membahas mengenai romansa atau terkait cinta.
 Mencintai itu adalah tentang memberikan rasa nyaman dan kasih sayang dengan sepenuhnya terhadap ia yang kita taruh ketertarikan terhadapnya. Bukan tentang bagaimana harus memaksakan perasaan ketika kita tidak mendapatkan balasan. Tak apa menjadi seperti sosok Seojun daripada harus tenggelam dengan rasa benci dan harus terpaksa meninggalkan padahal sebenarnya enggan. Tak ada salahnya untuk belajar mengikhlaskan meskipun begitu berat untuk dilakukan.Â
Sekali lagi, jangan sampai hanya karena perasaan cinta kita yang terlalu dipaksakan justru membuat orang lain bahkan orang yang kita cintai justru merasa tidak nyaman dan dekat dengan kita saja merasa enggan. Bijaklah dalam mencintai dan berurusan dengan perasaan cinta.Â
Tak apa terjebak dalam cinta platonis sembari menunggu waktu yang tepat kita untuk menyambut gayung dari cinta kita yang sebenarnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H