Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Paternity Leave", tentang Hak Ayah yang Sering Dipandang Sebelah Mata

6 Februari 2021   15:27 Diperbarui: 6 Februari 2021   23:02 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

"Nutrisi saja tidak cukup, anak juga perlu diberikan asupan kasih sayang dari orangtua"

Kalau ditanya, orangtua mana yang tidak mau dekat dengan anaknya, maka akan sulit sekali kita bisa menemukannya. Terlebih lagi kalau posisinya seorang pasangan tersebut baru memiliki gelar sebagai seorang orangtua.

Tentu saja, ada perasaan dimana enggan untuk berpisah cukup lama dengan anak. Seorang perempuan yang bekerja lalu melahirkan maka kita ketahui bahwasanya akan mendapatkan hak untuk cuti bekerja untuk beberapa saat. 

Hal ini dilakukan tentu saja dengan tujuan agar perempuan atau seorang ibu tersebut untuk dapat fokus merawat anaknya untuk beberapa saat.

Namun, apakah cuti melahirkan hanya dibutuhkan oleh perempuan atau ibu saja? Apakah laki-laki atau seorang ayah tidak memerlukan hal tersebut?

Pemberian hak cuti untuk laki-laki pekerja yang baru memiliki anak ini sendiri dikenal dengan istilah "Paternity Leave". 

Dimana, hal ini sendiri bertujuan agar para laki-laki atau suami juga ikut andil dalam membantu istri dalam merawat serta mengasuh anak.

Sebagaimana kita ketahui bersama pula bahwa tugas merawat dan mengasuh anak sendiri bukan hanya sebagai tugas seorang ibu semata. Ada peran laki-laki yang dibutuhkan terlebih apabila seorang istri atau ibu tersebut belum sepenuhnya pulih setelah mengalami proses persalinan yang barangkali cukup berat dan serius.

Tentu saja, istilah paternity leave sendiri kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia karena di negara kita sendiri sudah tertanam budaya bahwa mengasuh dan merawat anak adalah tugas seorang istri dan suami memiliki tugas untuk mencari nafkah.

Berdasarkan fakta tersebut, dikutip dari www.citation.co.uk , Indonesia masuk dalam jajaran negara dengan pemberian cuti melahirkan terburuk ke-4 setelah Afrika Selatan, Djibouti, dan Algeria. Hal ini bukan tanpa sebab, apabila dilihat dari apa yang ada di lapangan, hak pegawai laki-laki memang sering sekali dikesampingkan.

Belum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai paternity leave di Indonesia sendiri juga menjadi salah satu faktor pendukung mengapa kesadaran akan pentingnya hak ini perlu untuk menjadi perhatian.

Meskipun ketetapan mengenai lama hak cuti melahirkan untuk ibu di Indonesia berbeda-beda pada setiap wilayahnya, namun apabila dibandingkan dengan negara lainnya perbedaannya masih terpaut begitu jauh.

Di Indonesia, seorang pegawai perempuan yang melahirkan memiliki waktu cuti yaitu selama tiga bulan dan untuk pegawai laki-laki hanya 3 hari atau bahkan 2 hari. Dan tentu saja waktu tersebut sama sekali tidak cukup untuk kedua orangtua.

Berkaca dari Inggris misalnya, Inggris memiliki aturan yang bernama Shared Parental Leave Regulation yang ditetapkan pada tahun 2015. Peraturan ini sendiri memberikan izin terhadap suami dan istri untuk berbagi jatah cuti sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Di Inggris, seorang perempuan memiliki jatah cuti selama 52 pekan, dimana terdiri atas cuti melahirkan 26 pekan dan 26 pekan jatah cuti setelah melahirkan.

Untuk urutan negara dengan peraturan paternity leave terbaik di dunia adalah meliputi Inggris, Kanada, Norwegia, Swedia, dan Amerika Serikat.

Kalau ditanya, apa saja sih keuntungan adanya ketetapan paternity leave yang cukup untuk orangtua ini? maka tentu saja banyak sekali keuntungannya.

Seperti halnya yang telah aku mention diawal bahwasanya tanggung jawab untuk merawat dan mengasuh anak itu sejatinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab dari seorang ibu saja melainkan juga seorang ayah.

Ada satu hal lagi yang akan terpengaruh apabila waktu yang dihabiskan oleh seorang ayah dengan anak lebih sedikit dari kebersamaan antara ibu dan anak adalah attachment atau kelekatan antar keduanya.

Maka tidak heran ketika terkadang seorang ayah merasa tidak terlalu dekat dengan anaknya itu adalah bisa jadi karena ketika masa awal kelahiran si anak, ayah tidak memiliki banyak waktu membersamainya. 

Tidak heran juga mengapa tidak sedikit ibu pasca melahirkan justru menjadi lebih stres itu tidak lain karena mereka memegang peran inti untuk mengasuh anaknya dengan hanya sedikit dibantu oleh suaminya.

Apabila kasusnya pada orangtua baru dan orangtua yang masih berusia muda, maka bukan tidak mungkin pasca melahirkan bukannya siap menjadi orangtua, justru terkadang tidak dapat mengendalikan emosi yang memuncak karena belum terbiasa dengan keadaan baru yaitu hadirnya anak dalam keluarga.

Sebenarnya, peraturan mengenai paternity leave memang digadang-gadang akan diperbarui di Indonesia. Namun, pada penerapannya sejak tahun 2014 belum ada perkembangan hingga sekarang. Belum ada peraturan resmi mengenai hal ini, namun dikembalikan kepada pemerintah daerah serta masing-masing perusahaan dalam memberikan peraturan terhadap pekerjanya.

Apabila ada peraturan resmi mengenai hal ini bukan tidak mungkin akan menekan angka permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga dimana disebabkan oleh pertengkaran antar orangtua dalam urusan pengasuhan dan merawat anak.

Kalau kita lihat, angka tersebut lebih tinggi terjadi di perkotaan daripada pedesaan dimana jumlah laki-laki yang bekerja di perusahaan lebih banyak daripada di desa. Dari fenomena ini saja bisa kita lihat kehidupan keluarga, hubungan antara orangtua dan anak di pedesaan cenderung lebih tenang ketika berstatus menjadi orangtua baru.

Hal ini dikarenakan di desa masih percaya bahwa benar adanya laki-laki masih wajib dan perlu untuk bertanggung jawab dalam beberapa waktu dalam membantu istri mengasuh anak mereka.

Lokasi dan pekerjaan yang biasanya lebih fleksibel di desa membuat para ayah masih memiliki waktu yang lebih banyak dan bisa bekerja sembari mengasuh anak mereka dibandingkan dengan ayah yang bekerja di perkotaan, bekerja kantoran dimana terikat dengan jam kerja yang tidak dapat diduakan.

Aku pernah bertanya kepada beberapa orang yang merupakan orangtua baru mengenai tanggapan mereka dengan sedikitnya waktu cuti untuk ayah setelah istrinya melahirkan, dan jawabannya adalah ketidakberdayaan.

Para ayah tersebut terjebak pada kondisi dimana kalau mengambil waktu cuti lebih maka akan berakibat pada kemungkinan lain yang lebih parah seperti tidak mendapatkan gaji hingga berpeluang untuk dipecat.

Apabila mereka berangkat kerja setelah habis masa cuti yang hanya terhitung hari tersebut, kebanyakan dari mereka yang tidak dapat bekerja dengan tenang karena kepikiran dengan kondisi istri dan anak di rumah.

Namun, berbeda lagi kasusnya apabila terjadi pada keluarga bekerja dari kalangan menengah ke atas, dimana waktu cuti yang sedikit tersebut tidak menjadi masalah.

Sebab, bisa saja dalam merawat anak mereka sudah dapat membayar jasa baby sitters sehingga suami tidak lagi terbebani dengan istri yang masih harus mengasuh anak secara ekstra pasca melahirkan.

Pengambilan keputusan mengenai menyewa baby sitter atau tidak ini sendiri kembali kepada keputusan masing-masing orangtua. Dan tentu saja juga setiap keputusan pasti memiliki resiko.

Dengan membiarkan anak diasuh oleh baby sitter dan orangtua kurang intens dalam mengasuh anak maka akan mengakibatkan kelekatan antar orangtua dan anak tidak terlalu baik. Maka, paternity leave sebenarnya adalah salah satu cara yang perlu untuk segera diperhatikan. 

Memberikan waktu cuti yang layak bagi ayah karena kelahiran anaknya bukan sesuatu yang salah. Memberikan masa cuti yang layak bagi laki-laki juga bisa menjadi penekanan bahwa menjadi orangtua itu adalah pekerjaan dari ayah dan ibu. 

Perlu untuk kolaborasi yang sejalan antara suami dan istri agar terbentuk kepribadian anak yang baik dan sesuai dengan harapan kedua orangtua. Penghasilan yang tinggi dari orangtua akan menjadi sia-sia apabila asupan kasih sayang sosok orangtua tidak didapat oleh anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun