Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Paternity Leave", tentang Hak Ayah yang Sering Dipandang Sebelah Mata

6 Februari 2021   15:27 Diperbarui: 6 Februari 2021   23:02 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

Apabila kasusnya pada orangtua baru dan orangtua yang masih berusia muda, maka bukan tidak mungkin pasca melahirkan bukannya siap menjadi orangtua, justru terkadang tidak dapat mengendalikan emosi yang memuncak karena belum terbiasa dengan keadaan baru yaitu hadirnya anak dalam keluarga.

Sebenarnya, peraturan mengenai paternity leave memang digadang-gadang akan diperbarui di Indonesia. Namun, pada penerapannya sejak tahun 2014 belum ada perkembangan hingga sekarang. Belum ada peraturan resmi mengenai hal ini, namun dikembalikan kepada pemerintah daerah serta masing-masing perusahaan dalam memberikan peraturan terhadap pekerjanya.

Apabila ada peraturan resmi mengenai hal ini bukan tidak mungkin akan menekan angka permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga dimana disebabkan oleh pertengkaran antar orangtua dalam urusan pengasuhan dan merawat anak.

Kalau kita lihat, angka tersebut lebih tinggi terjadi di perkotaan daripada pedesaan dimana jumlah laki-laki yang bekerja di perusahaan lebih banyak daripada di desa. Dari fenomena ini saja bisa kita lihat kehidupan keluarga, hubungan antara orangtua dan anak di pedesaan cenderung lebih tenang ketika berstatus menjadi orangtua baru.

Hal ini dikarenakan di desa masih percaya bahwa benar adanya laki-laki masih wajib dan perlu untuk bertanggung jawab dalam beberapa waktu dalam membantu istri mengasuh anak mereka.

Lokasi dan pekerjaan yang biasanya lebih fleksibel di desa membuat para ayah masih memiliki waktu yang lebih banyak dan bisa bekerja sembari mengasuh anak mereka dibandingkan dengan ayah yang bekerja di perkotaan, bekerja kantoran dimana terikat dengan jam kerja yang tidak dapat diduakan.

Aku pernah bertanya kepada beberapa orang yang merupakan orangtua baru mengenai tanggapan mereka dengan sedikitnya waktu cuti untuk ayah setelah istrinya melahirkan, dan jawabannya adalah ketidakberdayaan.

Para ayah tersebut terjebak pada kondisi dimana kalau mengambil waktu cuti lebih maka akan berakibat pada kemungkinan lain yang lebih parah seperti tidak mendapatkan gaji hingga berpeluang untuk dipecat.

Apabila mereka berangkat kerja setelah habis masa cuti yang hanya terhitung hari tersebut, kebanyakan dari mereka yang tidak dapat bekerja dengan tenang karena kepikiran dengan kondisi istri dan anak di rumah.

Namun, berbeda lagi kasusnya apabila terjadi pada keluarga bekerja dari kalangan menengah ke atas, dimana waktu cuti yang sedikit tersebut tidak menjadi masalah.

Sebab, bisa saja dalam merawat anak mereka sudah dapat membayar jasa baby sitters sehingga suami tidak lagi terbebani dengan istri yang masih harus mengasuh anak secara ekstra pasca melahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun