Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Dopamine Detox, Cara Ampuh Melepaskan Otak dari Kebahagiaan Semu

2 November 2020   04:00 Diperbarui: 3 November 2020   21:01 2437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Photo by Hybrid on Unsplash

"The greatest discovery of my generation is that a human being can change his life simply by changing his habits"
-William James

Kalau ditanya dan diminta memilih, lebih sulit mana kira-kira memulai atau membiasakan? Pasti rata-rata dari kamu akan menjawab membiasakan. Padahal, ternyata memulai sesuatu yang baru itu jauh lebih sulit loh. 

Dalam tulisan kali ini aku ingin sedikit berbagi pengalamanku selama 8 bulan terakhir, dimana aku mulai mencoba sesuatu yang baru dan meninggalkan kebiasaanku yang lama. Dan, hal yang aku coba itu adalah dopamine detox alias reset otak.

Aku akan menceritakan sesuatu  mengenai diriku, yaitu aku memiliki kebiasaan menunda-nunda pekerjaan dan justru asyik sendiri membuang waktu larut menikmati semunya Hallyu.

Keputusan untuk meninggalkan Hallyu sendiri aku ambil setelah sadar kalau ternyata memang sedikit sekali hal positif yang aku dapatkan darinya. Hallyu yang aku tinggalkan setelah biasanya aku jadikan sebagai tempat pelarian atau sumber kebahagiaan.

Sumber: Cakapcakap.com
Sumber: Cakapcakap.com
Jujur saja, sejak sekolah menengah pertama, aku suka sekali dengan Hallyu atau yang lebih dikenal sebagai Korean Wave. Secara singkatnya, Korean Wave sendiri adalah sebuah gelombang yang datang dari negeri ginseng atau Korea baik itu berupa  budaya, musik K-Pop, drama, film, makanan, atau hal apapun asal, datangnya dari sana. 

Iya, kalau ditanya, Millenial mana sih yang saat ini tidak tahu siapa BTS atau Blackpink? Atau siapa yang tidak tau siapa itu Lee Min Ho? Bahkan sekarang, budaya di Indonesia sendiri terlihat begitu berkiblat kesana. Eits, jangan berprasangka dulu, kali ini aku bukan ingin menulis sesuatu hal yang negatif tentang Korea. 

Tapi, aku ingin mengajak untuk yuk coba berpikir lebih dewasa tentang bagaimana seharusnya kita mendewasa. Karena, kalau dibilang tidak suka Korea, aku sendiri sebenarnya juga suka Korea. Buktinya, sejak SMP hingga 8 bulan yang lalu, aku masih suka sekali Fan-girlingan, nonton K-Drama, dan jujur saja, aku sendiri lancar membaca dan menulis hangeul atau huruf Korea sejak lama.

Nah, kalau ditanya, kenapa sih kamu suka Korea? Pasti rata-rata jawabannya Idolnya bertalenta, Dramanya begitu mempesona, Budayanya yang menyilaukan mata , makanannya yang rasanya tak perlu ditanya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kalau bertanya kenapa aku suka Korea? jawabanku, ya aku mendapatkan kebahagiaan disana. 

Iya, kebahagiaan instan yang aku raih hanya dengan 'klik' diujung jari. Ada video baru dari Idol kesayangan aku klik, jadilah aku bahagia, melihat ada drama baru tayang, aku klik, aku jadi bahagia. Dan aku yakin, kalau kamu yang membaca tulisan ini juga suka Korea, kamu tak akan menyangkal apa yang aku ungkapkan ini. 

Karena, coba deh diingat-ingat pertama kali kita kenal sesuatu tentang Korea dari mana? Biasanya dari video atau musik yang didengar. Dan, darimana kita bisa mengetahui banyak hal tentang budayanya? Iya, dari berbagai media, di internet. Dari internet, kita jadi tahu tentang Korea dan menjadi candu padanya, sepakat?

Well, setiap hari kita membanjiri otak kita dengan dopamine. Dengan bermain game, bersosial media, browsing tanpa tujuan yang jelas, streaming YouTube menonton Idol atau drama kesayangan, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Dopamine adalah hormon yang bertanggungjawab atas sensasi senang yang dirasakan oleh otak, bersama dengan endorphine, serotonine, dan oksitosine. Dopamine ini juga dijuluki sebagai "happy hormone" atau hormon kebahagiaan. Dopamine juga berkaitan erat dengan motivasi dan hasrat untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Saat kita merasa bahagia, otak kita dibanjiri oleh dopamine.

Dua jam nonton drama tak terasa lama, tapi belajar sepuluh menit langsung sakit kepala. Nyadar gak sih? Kalau sebenarnya hanya lewat sentuhan jari terkadang kita melakukan escapisme alias lari dari kenyataan. Dan hal mengenai Korea, aku jadikan contoh saja. Karena sebenarnya bahasan tulisanku ya tentang Dopamine detox tadi bukan tentang Korea-Koreaan. Aku mengambil ia sebagai contoh, karena bersumber dari yang sebelumnya aku rasakan.

Coba deh dibayangkan, bagaimana apabila teknologi internet digunakan dengan cara yang salah? Tentu saja dampaknya tidak hanya menghabiskan waktu kita secara percuma, namun juga dapat merusak otak dan menghancurkan hidup kita. 

Kita akan menjadi pemalas luar biasa, tidak fokus, tak pandai bersyukur, sibuk dengan hal yang tidak penting, juga tak lagi bahagia. Kita menjadi pecandu, kita hidup padahal sudah mati. Kita menjadi sering 'halu' ke hal-hal yang sebenarnya semu.

Coba deh diingat, bagaimana sih biasanya perasaan bahagia itu muncul? Sebut saja contohnya kita yang mendapatkan nilai A setelah belajar satu semester perkuliahan akan merasakan bahagia. Kita yang naik jabatan setelah bekerja bertahun-tahun akan merasakan bahagia. 

Butuh proses untuk mendapat kebahagiaan bukan? Dan seiring waktu, perasaan bahagia tadi dapat kita rasakan sekarang hanya karena sentuhan jari. Itu terjadi ketika kita mendapatkan likes di sosial media, mendapatkan notifikasi dari Idol kesayangan, atau mendapatkan voucher dari marketplace langganan. Kebahagian kini, bisa diraih instan, tak perlu waktu yang lama dan usaha yang besar lagi untuk mendapatkannya.

Ketika kamu dapat mendapatkan nilai A hanya dengan seujung "Klik" apakah kamu akan menghabiskan waktu berhari-hari untuk belajar? Jika kamu bisa mendapatkan reward, level-up, likes, dan pengakuan sosial hanya bermodalkan ujung jarimu, apakah kamu mau menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk bekerja keras dengan tekun?

Nah sayangnya, semua itu membuat kita tidak lagi menghormati proses dan merusak 'sistem reward' dalam otak kita. Sebab reward tak lagi datang dari serangkaian usaha dan serentetan waktu. 

Melainkan dapat diperoleh setiap kali dibutuhkan hanya melalui seujung jari. Padahal, kita amini bersama bahwa hidup tak semudah naik level di game online, tak seindah newsfeed orang liburan di Instagram, tak seindah drama korea, tak seperti itu. 

Tapi mungkin sebagian dari kita sudah menjadi pecandu yang sakau dan selalu bahagia dengan pencapaian yang semu. Maka tak heran bahwa instan, adalah new normal. 

Sebut saja kita menjadi tak sabaran, tak fokus, selalu merasa jenuh, tak merasa puas atau selalu gampang puas, tak pandai bersyukur, malas untuk hal yang lewat penting tapi terlewat rajin untuk hal yang tidak penting.

Internet adalah alat, pisau yang tergantung pada penggunanya. Yang bisa digunakan untuk memotong, atau membunuh. Tentu saja, tak ada yang salah dengannya sampai ia digunakan secara berlebihan. Menganggap menggunakannya biasa saja, padahal sebetulnya merubah segala hal yang ada dalam hidup. Dan seringkali dari kita tidak sadar, sejak kapan ia telah merusak otak kita dan membuat kita tidak lagi bahagia yang sebenarnya.

Ketika kita merasa bosan mengerjakan tugas, jangan lantas menonton Drama Korea agar menghilangkan kebosanan. Jangan karena sedang jenuh dengan pekerjaan, lantas kita melarikan diri dengan Fan-girlingan. Jangan hanya karena kita merasa enggan, kita lantas lari dari kenyataan. Karena, masalah kita tak akan hilang bila tidak diselesaikan. 

Sebenarnya tak ada salahnya dengan menonton Drama Korea atau Fan-girlingan, hanya saja berdasarkan fakta ketika dua hal ini kita lakukan, akan menjadi kebiasaan. Kita tidak akan fokus lagi terhadap apa yang seharusnya kita selesaikan dan hanya larut dengan kebahagian semu yang kita ciptakan.

Ada pertanyaan, mengapa ada orang-orang yang tidak merasa bosan dalam hidupnya, tidak pernah merasa malas, selalu mengembangkan bisnisnya, dan dapat selalu mempererat hubungan sosial? padahal orang lain begitu malas melakukannya dan malah menghabiskan waktu secara percuma dalam candu internet. 

Jawabannya adalah, ada pada kebiasaan yang mereka lakukan setiap hari. Untuk mengubah kebiasaan yang dilakukan setiap hari, kita bisa melakukan dopamine detox yaitu dengan memperbaiki sensor yang ada di dalam otak kita. Saat hilang motivasi atau kelelahan, kita tidak boleh menghibur diri kita dengan eskapisme atau lari dari kenyataan, berupa dopamine hit yang biasa kita lakukan.

Kita tidak lagi memberikan reward setiap saat. Alih-alih melakukannya, biarkan diri kamu menjadi bosan. Kamu mungkin akan merasa lesu darah dan setengah mati saat tidak menonton drama atau video Idol kesayangan, tapi itulah poinnya. Dengan membiarkan dirimu bosan, kamu akan membiarkan otak mereset dirinya. 

Kamu, membiarkan otak melakukan detoksifikasi dopamine di dalamnya. Pasti,  kamu akan merasa sangat bosan, sehingga hal-hal yang sebelumnya kamu anggap begitu membosankan, prioritas-prioritas itu, masalah-masalah dan tugas-tugas yang sebetulnya perlu kamu selesaikan, perlahan berubah menjadi menyenangkan.

Yang perlu digarisbawahi adalah, kamu barangkali bisa menggunakan internet untuk mempermudah pekerjaanmu, tapi jangan sekali-kali menggunakannya untuk memberikan dopamine hit seperti yang selama ini kamu lakukan. Berikan reward, ketika pekerjaan telah selesai dilakukan, terutama di petang hari. 

Semakin besar pencapaian yang kamu dapatkan, semakin besar pula reward yang boleh kamu berikan. Hal ini seperti berbuka, setelah berpuasa seharian. 

Selanjutnya, pertahankan detox ini selama 100 hari berturut-turut hingga menjadi sebuah kebiasaan baru. Dengan mengistirahatkan otak kita dari reward-reward semu, kita akan mulai mendefinisikan kembali kebahagiaan, dan merasa lebih bahagia bahkan dengan hal-hal kecil yang sering terlewat di depan mata. 

Iya, itu dia reset otak yang aku lakukan. Ternyata meskipun sulit bukan tidak mungkin aku bisa lepas dari hal yang sebelumnya menjadi penghasil kebahagiaan semu bagiku, yaitu asyik dengan Korea-Koreaan tadi. 

Ketika aku perlahan meninggalkannya, ternyata mengerjakan tugas kuliah menjadi begitu menyenangkan. aku mencoba melarikan diri dan menghasilkan dopamine dari cara lain yang juga tak kalah asyik dari Fan-girlingan yaitu salah satunya  dengan berkompasiana.

Yuk coba mulai suatu hal yang baik baru, dan tinggalkan kebiasaan lama yang menyia-nyiakan waktu dan masa mudamu. Kamu pasti bisa!

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun