"Kapan mau kuliah?"
Hari selasa sore, tiba-tiba salah seorang dosenku bertanya hal tersebut di grup perkuliahan, padahal pada siang harinya telah tersebar surat edaran dari kampus bahwa mulai hari rabu hingga ahad ditetapkan sebagai hari libur cuti bersama. Tentu saja, mengetahui adanya pertanyaan tadi seketika teman-temanku heboh, bimbang memilih menjawab menentukan kapan waktu kesepakatan untuk kuliah, atau me-lobby untuk kuliah di lain hari pada pekan depan. Ibaratnya, mengiyakan kuliah keberatan karena menimbang waktu liburan, dan kalau menolak pun sungkan.Â
Pada akhirnya, setelah dirundingkan bersama, kami sekelas sepakat untuk kuliah. Jujur saja, aku tahu pasti ada satu dua orang dari temanku yang keberatan, namun apa boleh buat keputusan telah ditetapkan. Akhirnya, pagi hari kemarin kami kuliah, dan secara kebetulan di akhir perkuliahan, dosenku menyinggung dan berkata seperti ini,
"Saya sebenarnya sengaja kemaren menanyakan kepada kalian kapan mau kuliah, padahal saya tahu kalau hari ini seharusnya libur. Saya ingin ngetes saja, apakah anak kelas ini juga terjebak pada bias kognitif atau tidak."
Iya, pagi hari itu aku dan teman kelasku belajar mengenai bias kognitif. Mengenai hal ini aku akan mengajak beberapa dari kamu berpikir terlebih dahulu. Coba saja kita lihat beberapa hal di sekitar kita, rasa-rasanya banyak orang yang mengambil keputusan tapi tidak berdasar pada rasionalitas.
Misalnya nih ya, ada orang yang sudah mengetahui bahaya merokok, tapi mereka tetap saja merokok. Ada juga orang-orang yang jelas-jelas pernah tersangkut kasus korupsi, tapi masih aja ikut Pilkada dan menang pula.Â
Hal tersebut membuktikan bahwa ada fenomena di mana irrasionalitas itu ada di mana-mana. Nah sayangnya, yang namanya irrasionalitas itu bukan hanya terjadi di luar sana, tapi juga terjadi di dalam kepala kita. Bahkan sering kali terjadi dalam keseharian. Hal ini yang kemudian disebut sebagai systematic thinking error atau dalam bahasa psikologi, populer disebut sebagai cognitive bias atau bias kognitif.
Istilah cognitive bias, pertama kali diperkenalkan oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman pada tahun 1960 yang awalnya keduanya meneliti mengenai, kenapa sih ada orang yang mengambil sebuah keputusan yang tidak masuk akal.Â
Tversky dan Kahneman mematahkan asumsi yang ada sebelumnya bahwa manusia selalu mengambil keputusan secara rasional berdasar pada data yang ada atau biasa dikenal sebagai rational choice theory.Â
Berbeda dengan mesin, ternyata otak manusia memilih untuk tidak mengambil data-data yang rumit dalam mengambil keputusan. Tapi, lebih mengutamakan data-data sederhana yang membuat kita merasa nyaman. Padahal, belum tentu data-data yang dipakai itu benar.Â
Cognitive Bias didefinisikan sebagai proses terjadinya distorsi persepsi, penilaian tidak akurat dan interpretasi yang tidak logis dalam pikiran manusia.Â
Cognitive bias ini bisa muncul dalam banyak sekali hal dalam keseharian. Lantas, apa hubungannya bias kognitif ini dengan perkataan dari dosenku tadi mengenai masuk kuliah di waktu yang seharusnya libur?Â
Iya, pasti ada sebagian dari kita yang sejak kecil terbiasa dengan pola pikir yaitu, hari libur ya harus liburan. Tapi apakah benar, waktu libur harus diisi dengan liburan?
Mengenai hal ini, tentu ada dua tipe jawaban. Pertama, mengiyakan, dan yang kedua tidak. Baik yang mengiyakan dan tidak tentu saja memiliki rasionalisasi masing-masing atas keputusan yang mereka ambil. Sebut saja seperti ini, yang mengiyakan pertanyaan tadi adalah seseorang yang memang memiliki sedikit sekali waktu me time atau family time kecuali waktu libur panjang, di mana tentu saja waktu libur panjang ini menjadi wajib untuk diisi dengan liburan. Serta anggapan bahwa waktu libur harus diisi dengan liburan tidak akan menjadi bias kognitif apabila keputusan akan hal tersebut diambil berdasar pada rasionalitas.
Rasionalitas ini ada dua contoh, sebut saja kondisi diri serta keadaan sosial. Ada orang-orang yang beranggapan bahwa libur panjang harus diisi dengan liburan, padahal kondisi dirinya sedang tidak mendukung, sebut saja dana yang dimiliki tidak cukup.Â
Keputusan memaksakan diri untuk liburan padahal kondisi diri serta keuangan yang tidak baik-baik saja tadi menjadi tidak rasional. Sebab, tujuan dari liburan adalah untuk menghilangkan beban, kalau setelah liburan justru mengalami kesusahan karena uang telah habis dipakai liburan, maka itulah masalahnya tadi.
Kemudian, memaksakan liburan padahal keadaan sosial sedang tidak baik-baik saja. Sebut saja sekarang, di masa pandemi. Tentu saja, meskipun sudah ada protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penularan Covid-19 di momen libur panjang dan destinasi wisata, namun tetap saja, ketika memilih liburan di saat-saat seperti ini menjadi tidak puas.Â
Momen bersenang-senang menjadi tidak luwes. Apabila liburannya ke perkebunan, pegunungan atau tempat rekreasi keluarga barangkali masih bisa menerapkan protokoler kesehatan seperti memakai masker, tapi coba bayangkan apabila liburannya ke pantai. Akankah saat berenang, kita juga masih bisa menggunakan masker? Apakah kita masih bisa menjaga jarak? Sedikit susah bukan?
Nah, jadi kembali lagi, harus ada pertimbangan serta alasan yang jelas sebelum memutuskan mengisi libur panjang untuk liburan. Jangan sampai sebab momen liburan, kita dan orang-orang disekitar kita menjadi kesusahan pasca liburan.
Kemudian kembali lagi ke pertanyaan awal, untuk orang-orang yang memang sebut saja tidak memiliki perbedaan aktivitas baik itu waktu libur atau tidak, maka akan cuek dan menganggap waktu libur panjang ya tidak harus liburan.Â
Pada mahasiswa contohnya, kita ketahui bahwa sekarang pembelajaran dilakukan di rumah dan memang kebanyakan dari mahasiswa tidak ke mana-mana, orang-orang yang memaksakan pendapat bahwa waktu libur ya harus liburan akan menjadi bias kognitif apabila dia sendiri tidak memiliki dasar alasan yang jelas atas pengambilan keputusannya tadi.Â
Itulah tadi sebenarnya yang menjadi landasan awal mengapa dosenku bertanya dan mengajak untuk tetap kuliah padahal seharusnya liburan. Beliau ingin mengetahui, bagaimana proses pengambilan keputusan yang diambil oleh mahasiswanya.
Dan sebenarnya, waktu libur panjang juga tidak seharusnya selalu diisi dengan liburan. Liburan di sini, pemaknaan dariku adalah pergi jalan-jalan ke luar rumah atau melancong ke suatu tempat. Tapi, justru lebih banyak hal yang bisa dilakukan di rumah saat libur panjang. Sebut saja, bersih-bersih rumah bersama, menonton film bersama, atau bahkan kuliah bagi mahasiswa yang memang tidak ada rencana ke mana-mana.
Sebab, yang paling penting adalah waktu libur panjang tidak sampai berlalu dengan sia-sia. Bagi mereka yang berangkat liburan, otomatis harus benar-benar memahami akan esensi liburan itu sendiri. Sebelum berangkat sudah harus memiliki pertimbangan mengapa berangkat liburan.Â
Dan untuk yang memilih di rumah aja dan tidak liburan, bukan berarti harus beberapa hari berleha-leha saja tanpa kegiatan, kuliah di waktu libur bisa menjadi pilihan yang justru baik daripada hanya melewatkan libur panjang tanpa ilmu atau kegiatan positif lainnya.
Lantas, kenapa kita harus belajar mengenai bias kognitif atau pengambilan keputusan berdasarkan hal yang tidak rasional ini? Nah, ada 3 hal yang kemudian bisa kita pelajari yaitu:
Pertama, untuk lebih memahami sebenarnya bagaimana proses pengambilan keputusan, apakah rasional atau sebaliknya. Tentu saja, setiap hari, kita dihadapkan dengan begitu banyak keadaan atau momen pengambilan keputusan. Agar keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang terbaik, maka dengan belajar mengenai bias kognitif ini, kita jadi bisa membedakan apakah keputusan yang kita ambil sudah rasional atau tidak.
Rasional atau tidaknya sebuah keputusan yang sudah terlanjur diambil, akan berpengaruh pada dampak setelahnya. Sebut saja begini, ketika ditanya, "Menurut kamu lebih keren iphone atau Android?"
Ada yang berpikir terlebih dahulu, kemudian menjawab, "Ya Android lah, soalnya begini-begini", lalu dia memberikan rasionalisasi atas pendapatnya. Kemudian ada juga yang langsung menjawab,"Ya jelas iphone-lah, semua orang juga sudah tahu kalau iphone itu lebih keren dari pada android."
Mendengar dua jawaban ini, si orang yang memberikan pertanyaan bisa melihat, orang mana yang mengambil keputusan secara tepat dan yang mana mengambil keputusan hanya mengandalkan kecepatan saja. Dalam interview pekerjaan, tentu saja pola-pola menjawab seperti ini akan memiliki dampak.
Kedua, untuk lebih bisa memahami cara pikir orang lain terutama juga lebih bijak dalam mencerna ketidakrasionalan yang ada di sekitar kita. Dengan menggunakan contoh yang sama, tentu saja orang yang memberikan pertanyaan mengenai lebih keren mana iphone atau Android, dapat mengetahui karakter orang yang menjawab dengan melihat pola jawaban yang orang itu berikan.
Ketiga, tentunya dalam mempelajari bias kognitif ini bisa membantu kita dalam mengkondisikan pengambilan keputusan terbaik. Dengan mengetahui mengenai bias kognitif ini, tentu saja kita tidak mau terjebak dalam pengambilan keputusan yang tidak rasional tadi, pada akhirnya, kita akan terbiasa untuk berpikir dengan matang terlebih dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan tertentu.
Inilah tadi, penjelasan mengenai mengapa kemudian mempelajari bias kognitif dalam kehidupan sehari-hari itu penting. Sebab, setiap harinya, kita akan selalu dihadapkan pada proses pengambilan keputusan baik itu keputusan penting ataupun yang kita anggap itu sederhana. Sama seperti libur panjang sekarang ini.Â
Pengambilan keputusan untuk mengisi waktu libur panjang dengan liburan dianggap sebagai sebuah pengambilan keputusan yang sederhana, padahal sebenarnya sebaliknya. Harus ada alasan rasional yang melandasi mengapa waktu libur panjang harus diisi dengan liburan. Dengan mempelajari bias kognitif, kita akan dibiasakan untuk berpikir lebih bijak dan dewasa dalam setiap pengambilan keputusan.
Semoga tulisan ini bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H