Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cara Berdamai dengan Sindrom Penipu

28 Oktober 2020   04:00 Diperbarui: 3 November 2020   21:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: thriveglobal.com

Pertama, ubah mindset atau pola pikir. Biasanya, aku mulai fokus pada kenyataan bahwa  tidak ada satupun manusia di dunia ini yang hidupnya sempurna. Ketika kita sedih, cemas, ragu, atau bahkan merasa bodoh, kita tidak sendirian. 

Hampir semua orang lain merasakan hal yang sama, hanya saja tidak selalu diperlihatkan. Dengan ini, aku kemudian menjadi lebih tenang dan kecemasan yang aku rasakan menjadi berkurang dan kemudian hilang.

Kedua, ketika aku mulai mempertanyakan kemampuanku secara berlebih, aku akan mencoba duduk, mengambil buku diary-ku dan menulis kemampuan apa saja yang telah aku raih dan miliki selama ini. 

Baik itu menerima penghargaan prestisius, atau berhasil membuat orang terkasih yang tadinya sedih menjadi kembali tenang dan tersenyum. Semua ini aku lakukan agar catatan tadi dapat aku lihat kembali setiap kali rasa ragu datang dalam diri.

Tiga, menyimpan baik-baik pujian atas kerja keras yang pernah aku terima. Biasanya, aku akan mencoba mengingat-ingat kembali pujian itu ketika sindrom penipu datang bertandang. 

Dengannya, aku yang awalnya ragu untuk menulis karena khawatir tulisanku akan dibaca diapresiasi oleh orang yang prestasinya jauh lebih dari diriku sendiri, tidak aku pikirkan lagi. Aku mencoba menguatkan diri untuk menulis semampu dan sebisaku sebagai bentuk apresiasi terhadapat diriku sendiri.

 Dan yang terakhir, aku mencoba untuk sedikit demi sedikit mengurangi kemudian berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Iya, alasan mengapa hal ini aku taruh di akhir, sebab hal ini yang paling sulit. Terutama, bagiku yang seorang perempuan. Namun bukan tidak mungkin, hal ini dapat perlahan-lahan aku wujudkan dan terapkan dalam keseharian.  

Diakhir tulisan ini, aku ingin mengajak untuk menilik kembali cerita Neil Gaiman tadi. Ketika ia tahu bahwa seorang astronot Neil Armstrong terkadang merasa seperti penipu, Gaiman menyimpulkan kemungkinan besar masih banyak orang diluar sana yang merasakan hal yang sama.

Karena pada akhirnya, mungkin kita semua hanyalah orang-orang yang bekerja keras dan kadang beruntung, namun tidak selalu mahir setiap saat. Mungkin, kita hanya orng-orang yang berusaha sebaik mungkin dan itu sebetulnya sudah cukup. Tidak perlu merasa ragu, apalagi merasa menjadi seperti seorang penipu.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun