Aku ingat sekali, tanggal 8 Agustus 2018Â aku pertama kali boyong (red-pindahan) masuk ke salah satu gedung asrama yang ada di UIN Malang. Namanya adalah, Mabna (nama lain dari gedung atau asrama) Asma' Binti Abi Bakar.Â
Aku adalah penghuni kamar nomor 29, kamar pojok, sayap sebelah utara. Pertama kali masuk ke dalam kamar, melihat 5 buah ranjang susun berjejer, ah rasanya mimpiku jadi kenyataan. "Akhirnya aku resmi jadi santri!". Senyumku mengulum, aku senang. Â
Sebenarnya, mahasantri di UIN Malang tidak langsung berada di bawah naungan kampus, tapi dibawah naungan Ma'had Sunan Ampel Al-'aly (MSAA) atau yang sekarang dikenal sebagai Pusat Ma'had Al-Jami'ah. Jumlah mahasantri di UIN Malang sekitar 3000 lebih mahasiswa dari penjuru negeri hingga luar negeri.
 Dalam satu kamar mahasantri putri diisi oleh sepuluh orang mahasiswa dari jurusan yang berbeda. Aku sendiri, Puja Nor Fajariyah, dari jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini, asal Madura.Â
Teman kamarku yaitu Kartika Yuni Pratiwi jurusan Akuntansi asal Pasuruan, Maystika Tsamara Widyapsaridanti jurusan Sastra Inggris asal Malang, Febi Nurus Kusumawati jurusan Psikologi asal Lamongan, Rosdiyana jurusan Akuntansi asal Wonogiri, Chrisne Tri Apriliana jurusan Psikologi asal Kediri, Wardatul Firdaus jurusan Psikologi asal Pasuruan, Rofifah Nabilah jurusan Farmasi asal Gresik, Fajar Inarotul Amani jurusan Farmasi asal Tegal, dan Andini Khairunnisa dari jurusan Matematika asal Malang.Â
Oh iya, setiap mahasantri di UIN Malang juga didampingi oleh pendamping kamar yang begitu baik hatinya. Pendamping kamarku bernama Hidayatus Shofiyana, biasa dipanggil Uni Chopai. Uni ini selain cantik, baik sekali hatinya.Â
Tiap-tiap mabna, biasanya memiliki sebutan berbeda, khusus untuk di mabnaku, memanggil dengan sebutan "Uni" atau kita kenal memiliki arti "Kakak perempuan" dalam bahasa minangkabau. Iya, dibayanganku saat itu, dalam satu tahun ke depan, sembilan orang teman kamarku yang memiliki latabelakang jurusan dan  daerah yang berbeda-beda inilah yang akan menemaniku dalam menikmati sensasi menjadi seorang mahasantri di tahun awal perkuliahan.
Aku memiliki pandangan bahwa santri memiliki keistimewaan tersendiri. Aku melihat, teman-temanku yang santri entah mengapa seolah memiliki nilai plus dalam diri. Seolah, keluhan-keluhan anak-anak termasuk aku yang sekolah di sekolah negeri belum ada apa-apanya daripada mereka yang sekolah sambil nyantri.Â
Lihat saja dari jadwalnya, kalau dari sekolah negeri anggap saja sekolah dari pukul tujuh pagi hingga pukul 2 siang, itu kalau tidak ada les tambahan. Tapi kalau santri, karena aku belum pernah nyantri saat di masa sekolah, aku coba saja membandingkannya dengan pengalamanku saat menjadi mahasantri.
Menjadi Mahasantri dituntut memiliki kesadaran dan kewajiban untuk bangun sebelum subuh, sholat malam, berangkat sholat berjamaah shubuh ke masjid, lalu lanjut belajar bahasa di pagi buta, setelahnya mengikuti jadwal perkuliahan seperti biasa hingga sore, malam kembali belajar agama hingga larut, belum lagi membagi waktu untuk mengerjakan tugas perkuliahan yang begitu majemuk. Â
Aku bandingkan saja dengan teman kamarku yang dari fakultas kedokteran, mereka harus menyisihkan lagi banyak dari waktu istirahatnya untuk menggarap laporan. Ah, tak ada kata lain selain, Santri itu istimewa!