"Ma, pokoknya nanti kalau nyampe di Blitar, adek mau mainan mobil-mobilan baru ya,"
"Emangnya, kenapa adek mau beli mainan baru lagi? Kan mainan mobil-mobilan adek masih banyak di rumah?"
Kalimat percakapan ini tidak sengaja aku dengar dari ibu dan anak yang duduk pada kursi di depanku, saat aku melakukan sedang berada di dalam kereta, perjalanan dari Malang ke Blitar.Â
Aku menganggap pertanyaan dari Mama si anak adalah hal yang tidak biasa, sebab biasanya sering aku temui ketika ada anak yang menangis, ngotot, hingga bahkan tantrum ketika keinginannya tidak dipenuhi oleh orangtuanya. Dan orangtua, biasanya akan memberikan tiga macam respon dalam hal menanggapi sikap anak yang seperti itu.
Pertama, biasanya akan langsung mengiyakan dan menuruti permintaan anak. Kedua, orangtua akan mengabaikan dan pura-pura tidak mendengar atas apa yang disampaikan oleh anak. Ketiga, orangtua akan bersifat denaying, biasanya dengan memberika respons yang negatif seperti memarahi anak, memberikan pelabelan negatif, bahkan ada peluang orangtua memukul kepada anak dengan dalih mendisiplinkan anak yang bersikap seperti itu.
Hal ini mengapa, aku menganggap bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh Mama yang duduk di depanku ini tidak biasa, sebab ia meminta pendapat kepada anak, mengajak anak untuk berpikir terlebih dahulu alih-alih meberikan respon seperti tiga macam respon diatas.
Karena tertarik, coba saja aku memperhatikan mereka siapa tau ada percakapan yang muncul lagi setelah itu. Melihat dari respon si anak, ketika mendapat pertanyaan seperti itu oleh Mamanya, ia yang awalnya merengek-rengek memaksa Mamanya untuk membelikan mainan mobil-mobilan baru yang ia inginkan, tiba-tiba terdiam.
Kulihat dari ekspresinya, ia sedang kebingungan. Ia mencoba mengalihkan pandangan dari mata Mamanya, menoleh ke segala arah seolah sedang mencari jawaban yang tepat dan bisa diterima. Sesekali ia melirik ke arahku yang memang sedang memperhatikannya.
Kulihat, Mama si anak tetap pada posisinya, ia memandang tepat kearah si anak, duduk sejajar, dan tetap sabar menunggu jawaban dari anaknya. Selang beberapa menit, akhirnya anaknya menjawab.
"Yaudah deh Ma, enggak jadi beli mobil-mobilannya. Adek masih punya banyak di rumah,"
Mendengar respons dari si anak, Mamanya tersenyum. Ia kemudian memberikan respon mengelus kepala dari si anak dan menciumnya sambil berkata,
"Anak cerdas itu harus hemat dek, mainan adek kan masih banyak, nanti belinya kalau adek ulang tahun aja ya sayang,"
Mendengar kalimat tersebut, si anak tersenyum seraya mengangguk. Raut wajahnya berubah, ia kembali ceria seolah melupakan kejadian beberapa menit yang lalu dimana ia merengek meminta dibelikan mainan baru kepada Mamanya. Refleks aku pun ikut tersenyum, betapa beruntungnya aku melihat kejadian yang menurutku cukup menarik ini.
Aku sebenarnya penasaran akan latar belakang si Mama tadi, sebab menurutku ia cerdas dalam hal memberikan figur seorang orangtua kepada anak. Kuberikan diri untuk mengobrol dan mencoba lebih akrab dengan si Mama tadi.
Di akhir obrolan yang sungguh menarik ini, aku dapat menyimpulkan bahwasanya ada sebuah pola asuhan yang cukup ajaib, dimana dapat memberikan rasa sadar kepada anak tanpa orangtua harus bersikap kasar. Pola pengasuhan ajaib itu adalah, Mindful Parenting.
Menurut Founder eMKA, Melly Amaya Kiong, Mindful Parenting merupakan pola asuh berkesadaran, dimana orangtua sadar bahwa dalam hal pengasuhan anak, perlu kiranya untuk mengasuh dari dalam. Maksudnya, selain pengasuhan secara fisikal, orangtua juga memiliki tanggungjawab untuk mendidik anak agar mampu menyeimbangkan antara intelektual dan emosional.
Pola asuh berkesadaran ini pula memiliki beberapa langkah yang harus dilakukan orangtua agar dapat diterapkan kepada anak, yaitu diantaranya orangtua harus menjadi pendengar yang baik, menjaga perkataan yang keluar kepada anak, bijak dalam memberikan sikap, memenuhi apa yang anak butuhkan bukan yang anak inginkan, serta yang terakhir adalah selalu berpikiran positif.
Dengan terpenuhinya langkah-langkah ini, itu tandanya orangtua telah mampu mengasuh berkesadaran terhadap anak. Sebenarnya pula, pola pengasuhan yang seperti ini memiliki dampak terhadap perkembangan otak anak.
Mengenai hal ini, disampaikan oleh Mental Health Therapist with a private practice called Safe Stories Counselling, yaitu Tessa Amanda Sawitri, MA. Dalam Melatih kesadaran diri atau mawas diri pada anak dapat membantu atau memberi dampak menumbuhkan korteks prefrontal tengah yang merupakan bagian dari otak yang memperkuat tombol jeda (pause button) pada anak, kemampuan untuk mundur sejenak, dan mengobservasi keadaan. Hal ini juga melingkupi empati, intuisi, dan moralitas.Â
Jadi bisa dikatakan bahwasanya melatih kesadaran diri melalui mindful parenting adalah karakteristik yang orangtua ingin perlengkapi terhadap anak-anak di sepanjang hidup mereka.Â
Jadi ketika anak memiliki kesadaran diri, itu juga membantu dalam hal mengatasi stres dalam kehidupan seperti sekolah, bullying, tekanan dari teman sebaya, berurusan dengan orangtua, berurusan dengan guru-guru dimana anak dapat belajar sejak usia dini mampu memiliki pemikiran,
"Aku tidak apa-apa untuk merasakan apa yang aku rasakan, namun aku tidak perlu bertindak berdasarkan emosi, aku bisa rasional, aku bisa tenang"
Jadi sekali lagi, mindful parenting ini mengajarkan anak sejak usia dini untuk selalu memiliki keseimbangan antara emosi dan logika, itulah keuntungannya.Â
Sebenarnya, mindful parenting termasuk dalam pola pengasuhan yang diakui diterapkan oleh orangtua dari Ayunda Faza Maudya atau lebih dikenal sebagai Maudy Ayunda. Siapa sih yang tidak mengenal sosok Maudy Ayunda?
Selain berparas cantik, cerdas, namun juga berkepribadian baik. Dan, ternyata terbentuknya kepribadian Maudy Ayunda yang seperti ini sangat dipengaruhi oleh pola pengasuhan dari Mamanya sejak ia berusia dini.
Dulu, Maudy merupakan sosok yang sangat pemalu, namun sekarang bisa dikatakan sangat pemberani dibuktikan dengan begitu seringnya ia tampil di depan orang banyak, selain memang kariernya yang sebagai artis, namun juga prestasinya dalam menjadi speakers atau influencer di berbagai acara baik luar atau pun dalam negeri.Â
Hal ini diakui Maudy adalah sebab Mamanya yang selalu melibatkan ia dalam sebuah pengambilan keputusan yang mana melatih kognitifnya untuk mampu berpikir kritis. Hal-hal kecil ini seringkali luput dari perhatian orangtua dimana tidak melibatkan anak dalam hal pengambilan keputusan. Akibatnya, biasanya anak menjadi anak yang cenderung bermental "follower" daripada menjadi "speaker".
Proses pelibatan pengambilan keputusan yang diakui oleh Maudy, adalah misalkan, ketika di rumahnya ada hajatan, maka Mamanya akan bertanya kira-kira menu apa yang akan disuguhkan kepada tamu, rendang atau soto.
Dan, ketika Maudy menjawab "Rendang" misalkan, maka Mamanya akan bertanya lagi, "Mengapa rendang?" dan ketika Maudy sudah menjawab alasannya mengenai ia yang memilih rendang, akan ada pertanyaan-pertanyaan lain yang diajukan kepadanya yang mana menuntut otak atau pikiran Maudy mampu mengelola intelektualnya dan mampu memunculkan alasan-alasan yang mampu diterima.
Tentu, dengan dibiasakannya pola pengasuhan yang seperti ini, selain anak menjadi sadar bahwa ia memiliki kedudukan meskipun masih berusia dini, ia memiliki peran dalam hal pengambilan keputusan, otak dan kepribadian anak akan terlatih menjadi lebih dewasa dan terbiasa dengan masalah.
Pada akhirnya, ketika ia mendapatkan sebuah masalah, ia sudah mampu berpikir, menalar bagaimana kira-kira cara pemecahan atau solusi atas masalah yang ia hadapi serta ia sudah mampu menimbang dan mengelola resiko atas keputusan yang ia ambil.
Apabila kita mengintip kembali ke cerita yang sempat aku ceritakan di awal mengenai si anak yang merengek meminta mainan dan si Mama yang menanyakan alasan mengapa anak merengek meminta mainan tadi, menjadi salah satu cara terhadap orangtua-orangtua lain di luar sana dalam hal mengatasi kasus atau pengalaman yang serupa.
Barangkali ada orangtua yang beranggapan bahwasanya sikap anak yang seperti itu merupakan sikap yang wajar sebab anak memiliki sifat egosentris atau berorientasi terhadap dirinya sendiri. Namun, itu bukan lantas dijadikan sebagai pembenaran atas orangtua memenuhi segala hal yang anak inginkan.
Kita sebagai orangtua harus mampu bersikap bijak dan cukup memenuhi hal-hal yang anak butuhkan saja. Dan sudah pasti, coba saja kita lihat pada kasus orangtua yang selalu mengabulkan permintaan anak, pasti anak akan memiliki kepribadian yang manja dan cenderung bertemperamen sulit. Apabila hal ini dibiasakan, bukan tidak mungkin, anak akan ditolak oleh lingkungannya atas kepribadian yang ia miliki tersebut.
Dari sini, kemudian kita lihat bahwasanya mindful parenting merupakan salah satu pola pengasuhan yang cukup ajaib dan perlu kiranya orangtua untuk menerapkannya pada anak-anak mereka.
Pola asuh berkesadaran ini diakui oleh Mama si anak di dalam kereta yang sempat mengobrol denganku, mampu mengajak anak untuk sadar, tanpa memaksa orangtua harus bersikap kasar. Sebab, kunci utama dari pola asuh berkesadaran ini adalah orangtua yang mau mendengar.Â
Dan, satu-satunya cara agar orangtua mampu mengetahui hal ini adalah dengan banyak-banyak membaca dan belajar.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H