Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Belajar Playing Victim, Bagaimana Sikap Kita?

26 September 2020   15:50 Diperbarui: 26 September 2020   16:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah untuk membuat diri kamu benar, kamu harus membuat orang lain menjadi salah?"

- Dimas Danang (Presenter, Komika Indonesia)

Siang itu aku sedang bernostalgia melihat kenangan saat menjalani kegiatan perkuliahan tahun lalu, saat semuanya masih dilakukan dengan tatap muka. 

Tahun lalu, saat semester tiga, aku melaksanakan kegiatan kuliah kerja lapangan yang pertama. Sebuah kegiatan wajib dari kampus bagi kami mahasiswa, sebagai pengenalan serta pembiasaan agar kami terbiasa terjun langsung dan mengetahui dunia pendidikan pada anak usia dini di lapangan seperti apa. 

Satu demi satu kenangan berupa gambar dan video yang sempat terekam aku geser dan aku putar berurutan. Terhitung meskipun hanya beberapa kali pertemuan di sekolah, tapi rasanya sungguh menyenangkan. 

Dari sana, aku banyak sekali belajar terkait bagaimana seharusnya memposisikan diri ketika mengajar, mengenal berbagai macam ilmu dan pengalaman baru, serta yang paling penting, mengenal begitu macam tipologi anak-anak. Dari mulai yang  ceria, hiperaktif, sering tantrum, hingga yang paling unik, ada anak yang pernah dua kali aku temui ia playing victim.

"Itu Ustadzah, Alif yang nakal (Bukan nama sebenarnya), enggak mau berbagi mainan padahal mainnya udah dari tadi," ujar Eka (Bukan nama sebenarnya).

Tempat aku KKL adalah di salah satu Raudhatul Athfal di Kota Malang, dan bisa dibilang cukup maju sebab gedung sekolahnya sendiri sampai dibagi ke tiga tempat. Murid-murid yang bersekolah disana, disebut dengan 'santri' sebab memang, RA tersebut adalah RA Tahfidz. 

Aku ingat sekali aku menemui kejadian tadi ketika sedang waktu istirahat. Sudah pasti, sebagai mahasiswa yang sedang KKL, tugas aku hanya observasi dan sesekali membantu mengajar atas izin Ustadzah yang memang mengajar disana. 

Pada waktu istirahat itu, aku mengamati satu persatu pola tingkah laku santri-santri yang sedang bermain tadi. Mereka bermain bersama. Namun, ada satu anak yang bisa dibilang ia tidak mau berbagi dengan teman yang lainnya. Dan yang namanya anak usia dini, kita pasti sudah akran juga dengan yang namanya sikap egosentris pada anak. 

Sikap dimana anak hanya berorientasi pada dirinya sendiri. Eka (bukan nama sebenarnya) asyik bermain hingga kemudian Alif (bukan nama sebenarnya) datang dan mengajak untuk berbagi mainan tapi Eka tidak mau berbagi. Hingga pada akhirnya, karena Alif adalah laki-laki, ia pun merebut mainan yang sedang Eka mainkan. Kalau bertemu dengan kondisi seperti ini, bisa dibayangkan apa yang selanjutnya terjadi?

Benar, Eka menangis. Dimana tangisannya tentu mengundang perhatian dari Ustadzah yang ada disana. Sebenarnya, aku merasa perlu untuk menangani keadaan itu, sebab ya aku memang mengetahui kronologi dari kejadian itu. 

Tapi, aku mencoba melihat dulu, respon seperti apa selanjutnya yang dilakukan oleh Eka ketika dihampiri oleh Ustadzah. Sedangkan Alif, ia kebingungan. Ia hanya ingin bermain mainan yang sama. Ketika mengetahui Eka menangis karena mainannya direbut olehnya, ia melemparkan mainan itu dan segera menyingkir dari sana. Mencoba bermain permainan lain, dan dengan teman yang lain.

"Eka kenapa nangis?" tanya Ustadzah,
"Itu Ustadzah, Alif nakal enggak mau berbagi mainan, padahal mainnya udah dari tadi," ujar Eka.

Melihat itu semua, ingin rasanya aku turut campur, tapi aku melihat aspek lainnya. Satu hal yang aku tau, Eka ini adalah salah satu anak yang aku lihat pertama kali melakukan yang namanya 'playing victim'.

Dikutip dari Wikipedia, Playing Victim dikenal juga dengan 'bermain korban.' Dimana sikap seseorang berlagak sebagai seorang korban untuk berbagai alasan seperti membenarkan pelecehan terhadap orang lain, memanipulasi orang lain, strategi penjiplakan atau mencari perhatian. Dan tentu, hal ini bukan sebuah hal yang wajar dilakukan oleh seorang anak usia dini. Sebab, anak usia dini biasanya bersikap polos dan apa adanya. 

Untungnya, Ustadzah di tempat aku KKL melakukan hal yang menurut aku tepat dalam mengatasi permasalahan yang saat itu terjadi. Ia menyelesaikan tanpa membenarkan atau menyalahkan salah satu dari keduanya Eka dan Alif. Hal ini menurutku merupakan sebuah jalan tengah yang paling aman, sebab tak ada pribadi yang disakiti.

"Yasudah, Eka dan Alif berbaikan ya. Mainnya bisa berbagi." Ujar Ustadzah.

Aku melihat raut Eka, ia berhenti menangis dan mulai terdiam. Sebaliknya Alif, ia tetap kebingungan dan tetap bermain dengan anak yang lain. Kalau aku boleh menebak isi kepala Alif, mungkin saat itu batinnya bilang gini.

"Loh kok? Kan aku gak salah. Tapi yaudah sih ya, lupain aja"

Jangan terlalu serius, itu hanya tebakan. Aku bukan orang yang bisa membaca pikiran orang juga. Jadi, benar tidaknya tidak tahu. Kembali pada masalah itu tadi, aku berpikir.

Tak ada asap, kalau tak ada api. Tak ada pohon, bila akarnya mati.

Sikap Eka yang 'bermain korban' tadi  tak hanya aku temui sekali. Tapi dua kali, esoknya dengan kasus yang berbeda.

Kalau kemarin perihal berebut mainan, sekarang perihal ia yang merebut jajan temannya. Kebetulan, di RA tempat aku melaksanakan KKL, santrinya tidak diperkenankan untuk mebeli jajan dari luar sekolah, dimana semuanya wajib membawa bekal dari rumah. 

Dari masing-masing santri pasti membawa jajan yang berbeda, hal ini juga diterapkan dengan alasan agar anak terbiasa berbagi dengan teman yang lainnya. Dan pada saat itu, aku kembali melihat Eka 'bermain korban'

"Ra, aku minta jajanmu dong," kata Eka
"Bagi dua ya Ka," kata Rara (bukan nama sebenarnya)
"Kamu kan lebih tua Ra, ngalah harusnya,"

Dan pada akhirnya, Eka merebut jajan milik Rara. Melihat jajannya direbut, Rara pada akhirnya menangis. Saat itu, aku mencoba menengahi keduanya, aku bertindak seolah-olah tidak mengetahui kejadian sebenarnya dan mencoba bertanya pada Rara dan Eka.

"Loh, Rara kenapa nangis?" tanyaku pada Rara
"Itu loh Ustadzah, masa Rara gakmau ngalah pas aku minta jajannya. Masa dia pelit, padahal dia yang lebih tua," Jawab Eka padaku

Oh iya, memang panggilan santri di RA sana memang memanggil aku dengan sebutan Ustadzah, bukan 'Kak'. Dan bisa dibilang, Eka ini juga merupakan anak yang kecerdasan linguistiknya berkembang dengan baik. Dimana, ia dengan seumuran anak empat tahun lainnya, bisa dikatakan sangat fasih dan lancar dalam mengolah kata-kata. 

Kembali ke masalah tadi, aku kembali bertanya pada Rara, dan Rara hanya diam dengan terus menangis. Menghadapi keadaan itu, aku coba saja peluk Rara tanpa kembali bertanya, berharap ia mnjadi tenang. Dan Eka, beranjak ke tempat lain tanpa merasa bersalah. 

Dengan adanya hal ini, aku semakin saja penasaran, mengapa Eka bisa dikatakan cukup lihai dalam hal 'bermain korban'? semakin besar rasa penasaranku untuk mencari tahu alasan atas salah satu sikap Eka tadi.

Siangnya, ketika anak-anak sudah semua pulang, aku coba bertanya dan mengulik latar belakang Eka kepada salah satu Ustdzah di tempat aku KKL. Dan, pada akhirnya mulai terkuak alasan-alasan mengapa Eka menjadi sangat terbiasa melakukan playing victim.

Eka merupakan anak dari keluarga broken home. Dimana, ia tinggal dengan neneknya. Sebagaimana pengasuhan seorang nenek, biasanya sangat 'kolot' sekali.Sedikit-sedikit disalahkan, sedikit-sedikit dilarang ini, sedikit-sedikit harus itu dan masih banyak lagi. 

Kalau mengutip dari isi artikelku yang berjudul "Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan" nenek Eka bisa dikatakan sebagai salah satu orang yang disebut "The Controller" dimana anak dikontrol dengan sedemikian rupa sehingga ia tidak memiliki ruang untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. 

Selaiknya robot atau boneka yang harus patuh pada tuannya. Salah satu dampak dari 'racun' ini adalah kebiasaan Eka tadi, ia suka sekali playing victim. Sebuah sikap yang muncul agar ia merasa aman dan terbebas dari kesalahan. Dan, kebiasaan ini sangat penting kiranya untuk dihapuskan.

Ada kaitannya antara sikap playing victim ini dengan proses penalaran pada anak. Bisa dikatakan, playing victim adalah salah satu contoh penerapan silogisme negatif pada anak. Maksudnya bagaimana? Sebagaimana silogisme, ia adalah sebuah penarikan kesimpulan yang berdasar pada premis umum, lalu premis khusus. 

Seperti halnya begini, Premis umumnya adalah, Eka mengetahui bahwa menyalahkan orang lain dilakukan untuk membuat seseorang merasa aman. Sedangkan premis khususnya adalah ketika ia aman maka ada orang lain yang disalahkan. Dari sana dapat disimpulkan bahwa membuat orang lain bersalah, akan membuat ia aman.

Kemudian, ketika sudah terlanjur terjadi hal yang seperti ini, dimana anak terbiasa playing victim, enaknya diapain? Aku mencoba bertanya hal tadi kepada ustadzah disana. Dan ustadzahnya menjawab, sebenarnya banyak cara yang perlu sekali diterapkan dalam menghilangkan kebiasaan buruk anak tadi. Dan hal ini, tak bisa bila dilakukan dengan sendirian. 

Sebab, perlu adanya kerjasama dengan pihak keluarga, sebab bagaimanapun juga, pada anak usia dini pendidikan dalam keluarga lebih berpengaruh dalam pembentukan pribadi. Seperti halnya, kita tidak boleh melepas fakta bahwa ada peran latar belakang keluarga dalam hal pembentukan kepribadian, latar belakang pengasuhan. 

Pada kasus Eka, yang justru disayangkan memang sebab ia tidak mendapatkan kebutuhan pendidikan emosional yang seharusnya dari keluarganya oleh sebab itu dalam hal pembentukan kepribadiannya memang lebih rentan. 

Selain itu, lingkungan di sekolah. Eka, di kelas merupakan anak yang paling muda, sehingga seolah ia menjadi yang paling perlu untuk 'disayangi' oleh anak-anak lainnya dan menjadi pembenaran dalam kebiasaan buruknya tadi dimana anak lain sudah seharusnya mengalah atasnya. Hal itu juga seolah memberikan jawaban mengapa Rara hanya diam ketika aku bertanya alasan ia menangis saat jajannya direbut oleh Eka. Ada berbagai spekulasi, bisa karena Rara takut, atau memang sudah pasrah dan malas memperpanjang permasalahan.

"Kalau dari sekolah, apa tidak ada cara yang dilakukan untuk memperbaiki sikap anak ini Ustadzah?"

Dan, jawaban atas pertanyaanku ini membuatku tak dapat berkata-kata juga. Bingung atas pihak mana yang seharusnya bertanggung jawab. Sebab, dari sekolah memang sudah rutin mengadakan yang namanya kelas parenting untuk para wali santri, sering mengadakan pertemuan rutin untuk melaporkan kepada wali santri terkait perkembangan masing-masing anak juga. 

Dan, karena Eka yang diasuh oleh neneknya yang memang sudah cukup 'sepuh', maka nenek Eka sering sekali berhalangan untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Alasan kedua adalah, sebab guru di sekolah yang minim dan tidak sebanding dengan jumlah santri yang ditampung di sekolah itu. Aku juga mengetahui fakta tadi. Benar adanya, ketika kita menaruh perhatian ke satu anak, khawatir anak lain malah terabaikan. 

Ditambah lagi, dengan keadaan guru PAUD yang benar-benar lulusan pendidikan anak usia dini di sekolah aku KKL itu cukup minim, sehingga seringkali penanganan dari ustadzah lainnya justru membuat anak seperti Eka menjadi 'keenakan' melakukan playing victim. Bagaimana tidak, kalau saja ternyata Ustadzah memberi hukuman pada anak yang seharusnya benar, bukankah kemudian mental salah satu dari keduanya berpengaruh?

Hal ini merupakan sebuah keseriusan yang benar adanya sering terjadi dalam kehidupan pengasuhan serta pendidikan pada anak-anak kita. Di luar sana, masih sering aku temui 'Eka-Eka' lainnya yang sejak berusia dini mulai belajar dan nyaman 'bermain korban'. 

Oleh karena itu, menjadi penting kiranya untuk kita mengetahui bagaimana seharusnya bersikap dan menghadapi keadaan yang seperti ini bila kebiasaan tadi ada pada anak, adik, atau keluarga kita sendiri. Teruslah belajar menjadi calon orangtua, orangtua, kakak, atau bahkan nenek yang bijak dalam mendidik anak. 

Semua orang perlu kiranya sadar akan pentingnya pendidikan parenting sejak dini, karena menjadi orangtua adalah pekerjaan seumur hidup. Dan anak, bukan sebuah robot yang siap dengan resiko trial and error. Ketika anak belajar playing victim, perlu kiranya dihadapi dengan intim. Perlu kiranya kita memahamkan, bahwa untuk menjadi benar, tak perlu dengan menyalahkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun