Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Belajar Playing Victim, Bagaimana Sikap Kita?

26 September 2020   15:50 Diperbarui: 26 September 2020   16:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap dimana anak hanya berorientasi pada dirinya sendiri. Eka (bukan nama sebenarnya) asyik bermain hingga kemudian Alif (bukan nama sebenarnya) datang dan mengajak untuk berbagi mainan tapi Eka tidak mau berbagi. Hingga pada akhirnya, karena Alif adalah laki-laki, ia pun merebut mainan yang sedang Eka mainkan. Kalau bertemu dengan kondisi seperti ini, bisa dibayangkan apa yang selanjutnya terjadi?

Benar, Eka menangis. Dimana tangisannya tentu mengundang perhatian dari Ustadzah yang ada disana. Sebenarnya, aku merasa perlu untuk menangani keadaan itu, sebab ya aku memang mengetahui kronologi dari kejadian itu. 

Tapi, aku mencoba melihat dulu, respon seperti apa selanjutnya yang dilakukan oleh Eka ketika dihampiri oleh Ustadzah. Sedangkan Alif, ia kebingungan. Ia hanya ingin bermain mainan yang sama. Ketika mengetahui Eka menangis karena mainannya direbut olehnya, ia melemparkan mainan itu dan segera menyingkir dari sana. Mencoba bermain permainan lain, dan dengan teman yang lain.

"Eka kenapa nangis?" tanya Ustadzah,
"Itu Ustadzah, Alif nakal enggak mau berbagi mainan, padahal mainnya udah dari tadi," ujar Eka.

Melihat itu semua, ingin rasanya aku turut campur, tapi aku melihat aspek lainnya. Satu hal yang aku tau, Eka ini adalah salah satu anak yang aku lihat pertama kali melakukan yang namanya 'playing victim'.

Dikutip dari Wikipedia, Playing Victim dikenal juga dengan 'bermain korban.' Dimana sikap seseorang berlagak sebagai seorang korban untuk berbagai alasan seperti membenarkan pelecehan terhadap orang lain, memanipulasi orang lain, strategi penjiplakan atau mencari perhatian. Dan tentu, hal ini bukan sebuah hal yang wajar dilakukan oleh seorang anak usia dini. Sebab, anak usia dini biasanya bersikap polos dan apa adanya. 

Untungnya, Ustadzah di tempat aku KKL melakukan hal yang menurut aku tepat dalam mengatasi permasalahan yang saat itu terjadi. Ia menyelesaikan tanpa membenarkan atau menyalahkan salah satu dari keduanya Eka dan Alif. Hal ini menurutku merupakan sebuah jalan tengah yang paling aman, sebab tak ada pribadi yang disakiti.

"Yasudah, Eka dan Alif berbaikan ya. Mainnya bisa berbagi." Ujar Ustadzah.

Aku melihat raut Eka, ia berhenti menangis dan mulai terdiam. Sebaliknya Alif, ia tetap kebingungan dan tetap bermain dengan anak yang lain. Kalau aku boleh menebak isi kepala Alif, mungkin saat itu batinnya bilang gini.

"Loh kok? Kan aku gak salah. Tapi yaudah sih ya, lupain aja"

Jangan terlalu serius, itu hanya tebakan. Aku bukan orang yang bisa membaca pikiran orang juga. Jadi, benar tidaknya tidak tahu. Kembali pada masalah itu tadi, aku berpikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun