Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan

21 September 2020   10:19 Diperbarui: 21 September 2020   10:40 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Faktanya ya, cinta dan kasih sayang itu menawarkan segala racun dan kepahitan dalam hidup"


Ungkapan ini dikemukakan oleh seorang Psikolog dan Peneliti Personal Growth yaitu Ratih Ibrahim. Dewasa ini, istilah 'toxic atau toksik' santer sekali terdengar. Istilah toksik kian akrab masuk dan keluar di dalam setiap perbincangan. 

Aku, juga merasakan hal yang sama, sering kali temanku mengajak untuk berdiskusi mengenai topik ini. Jelasnya, obrolan kami tidak jauh-jauh membahas perihal 'Toxic Parenting'.

Aku mencoba memahami ihwal (red-perihal) kata toksik ini. Apabila dilihat dari pemaknaan, kata toxic bermakna racun. Dimana selayaknya racun, ia negatif dan perlu untuk dihilangkan. Berbicara lebih luas mengenai seperti apa toxic parenting itu sendiri, kita perlu kiranya untuk membaca dari awal terkait hal ini.

Setiap anak pasti mendambakan sebuah keluarga yang bahagia, aman serta nyaman. Dimana orangtua tak hanya memberi kebutuhan materi, tapi juga asupan emosional yang bisa berupa kasih sayang, komunikasi yang baik atau memberikan dukungan moral apabila anak membutuhkan. 

Orangtua diharapkan mampu memahami dan memenuhi kebutuhan anak termasuk pilihan-pilihan yang mereka ambil ketika dewasa. Jika tidak, maka orangtua berpotensi toksik atau menjadi 'racun' bagi anak mereka dan menciptakan keluarga yang toksik pula. 

Indikatornya simpel kok, orangtua jenis ini membuat anak merasa cemas, sedih,atau marah setiap kali memikirkan atau sedang berinteraksi dengan orangtua. Mengapa? Ya karena anak sudah menganggap tidak ada lagi hal positif yang bisa diambil dari interaksi itu.

Menurut Psikolog dan Peneliti Personal Growth Ratih Ibrahim, orangtua toksik bisa dilihat dari seberapa besar trauma yang diberikan mereka kepada si anak. Semakin besar trauma, semakin beracun potensi hubungan yang dihasilkan. Toxic parenting sering dianggap biasa saja di permukaan, namun ternyata perlu serius untuk diperbincangkan.

Apabila melihat dari kriteria seorang 'toxic person' dari berbagai platform pencarian, dihasilkan ada 6 kriteria. Diantaranya, The controller, The Narcissist, The Compulsive Liar, The Drama Magnet, The Green Eyed, dan The Energy Vampire. Disini coba mari kita jabarkan satu-satu perihal kriteria ini dan bandingannya apabila kriteria ini ada pada orangtua kita.

Pertama, Orangtua yang masuk dalam kriteria the controller biasanya akan mengatur segala bentuk hal dalam kehidupan anak hingga ke hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Hal ini disebabkan ia beranggapan segala hal tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak melalui campur tangannya.

Kedua, the narcissist, kriteria kedua ini biasanya orangtua yang hanya peduli dengan dirinya sendiri serta tidak memiliki empati dengan orang-orang disekitarnya sekalipun itu adalah anak mereka sendiri.

Ketiga, the compulsive liar. Maksudnya, orangtua dengan kriteria toksik ini biasanya suka sekali memanipulasi kebaikan seseorang termasuk anak mereka. Hal ini juga bisa dilakukan dengan sering berbohong serta menakut-nakuti anak akan sesuatu.

Keempat, the drama magnet. Kriteria orangtua toksik yang ini seringkali terjadi pada orangtua yang memiliki rasa khawatir terlalu berlebihan serta tidak mampu mengontrol rasa sayang yang ia miliki terhadap anak mereka. Biasanya, orangtua dengan kriteria ini selalu saja membesar-besarkan masalah atau sesuatu yang sifatnya sepele atau kecil. Seperti istilahnya saja, orangtua dengan kriteria ini sering dan suka sekali mendramatisir masalah yang ada.

Kelima, the green eyed. Nah, untuk kriteria yang ini biasanya orangtua tidak suka apabila meilhat oranglain merasa senang. Hal ini memiliki cakupan yang luas, dimana bisa saja sebab hal tersebut, anak selalu menjadi pelampiasan kemarahan ketika orangtua sedang merasa tidak senang terhadap sesuatu.
Serta yang terakhir, 

Keenam adalah the energy vampire yang bisa dikatakan sebagai konklusi dari lima kriteria sebelumnya. Orangtua dengan kriteria ini biasanya akan selalu menyerap energi positif yang dimiliki oleh orang-orang disekitarnya termasuk anak mereka sendiri.
Setelah mengetahui enam kriteria diatas, pasti sebagian kita sudah bisa memprediksi akan berjalan kearah mana pembahasan ini selanjutnya. Yap, tentu dampak dari itu semua.

 Mengapa aku mengatakan bahwasanya seringkali 'toxic parenting' dianggap biasa saja di permukaan, sebab ada yang namanya pengaburan konsep kasih sayang. 

Banyak yang menganggap, segala bentuk perlakuan orangtua terhadap anak adalah salah satu bentuk pemberian atau pengungkapan bentuk kasih sayang mereka terhadap anak tak masalah apabila caranya berbeda-beda pada setiap orangtua. Padahal, semestinya tidak begitu. Perlu kiranya orangtua berpikir akan dampak yang anak terima dari setiap perlakuan 'kasih sayang' mereka terhadap anak.

Seperti halnya dalam hal toxic parenting ini, banyak yang kemudian tak sadar bahwa sebuah pengasuhan yang 'beracun' juga mampu menghasilkan hubungan yang beracun atau 'toxic relationship' antara orangtua dengan anak.  

Biasanya, salah satu ciri yang ada pada anak yang menjadi korban dalam toxic parenting ini adalah anak memilih untuk berada jauh dari rumah atau orangtua. Namun, tidak menutup mata dengan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini yaitu pandemi, bukan tak mungkin keadaan ini semakin membuat anak merasa depresi. Sebab, anak dituntut untuk tetap berada di dalam rumah dengan kondisi suasana rumah yang sama sekali tak hangat. 

Sudah sepatutnya, kita menganggao hal ini sebagai sebuah perbincangan yang serius. Ditambah dengan adanya kebijakan SFH yang memaksa orangtua untuk mendampingi anak selama belajar di rumah. Tapi, apabila orangtuanya saja toksik, kira-kira apakah bisa anak belajar? 

Ketika mengawali sebuah obrolan atau perbincangan saja anak sudah merasa kesulitan dan tertekan. Jangan sampai kembali lagi terjadi sebuah kasus yang baru-baru ini viral yaitu seorang ibu di Tangerang yang membunuh anak kandungnya sendiri karena tertekan dengan tugas-tugas sekolah si anak ditambah dengan kondisi si anak yang memang susah sekali untuk diminta mengerjakan tugas-tugasnya.

 Apabila dibaca di berita yang beredar, perlu kiranya dilihat alasan mengapa anak menjadi susah sekali dan kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah online. Dan kalau dilihat, ibu si anak tadi seringkali memukul anak setiap kali jawaban anak salah. Sehingga ya, bukan tak mungkin anak trauma dan ketakutan. Bukan tak mungkin, anak tersebut kemudian benar ada enggan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan.

Sepakat dengan hal itu, dalam Jurnal of Family Medicine and Disease Prevention mengemukakan ada dampak negatif lain terutama jika toksiknya ini berlangsung hingga anak menjadi dewasa. Misalnya perilaku deskruktif seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang sebagai pelarian dari trauma masa kecilnya. 

Kemudian krisis kepercayaan menjalani hubungan, produktivitas kerja rendah, terus menerus merasa cemas, hobi menyalahkan diri sendiri dan yang paling pasti dan cukup mengerikan adalah anak berpotensi menjadi orangtua yang toksik pula. 

Atau secara sederhananya, perilaku toksik yang dimiliki orangtua dalam sebuah pengasuhan dapat menjadi sebuah racun yang diwariskan terhadap anak mereka.


Eh, tapi ini tidak kemudian menyimpulkan bahwa orangtua toksik sudah jahat dari sananya ya, tetapi sebenarnya ada orangtua toksik yang mengidap masalah mental. Karena hal ini pula, kita kembali disadarkan akan pentingnya peduli dan merawat kesehatan mental baik dari diri sendiri maupun orang-orang yang ada di sekitar kita. 

Tidak perlu denial apalagi menyepelekan, tidak usah malu juga apabila perlu bantuan profesional. Kesehatan mental merupakan salah satu syarat untuk membuka lagi komunikasi  yang selama ini kusut bahkan terputus. 

Disini seorang anak bisa menjadi pihak yang mengawali perubahan, maklum beberapa orangtua bahkan tidak menyadari bahwa diri mereka ini toksik. Pelan-pelan aja, dan kalau lelah kamu boleh untuk mengambil waktu untuk sendiri dulu, jauhi sumber masalah meski hanya sebentar. 

Tetap jaga kewarasan karena tantangan terbesarnya adalah bagaimana memutus rantai perilaku toksik agar generasi setelahmu, tidak terpapar 'racun' yang sama.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun