Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan

21 September 2020   10:19 Diperbarui: 21 September 2020   10:40 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Apabila dibaca di berita yang beredar, perlu kiranya dilihat alasan mengapa anak menjadi susah sekali dan kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah online. Dan kalau dilihat, ibu si anak tadi seringkali memukul anak setiap kali jawaban anak salah. Sehingga ya, bukan tak mungkin anak trauma dan ketakutan. Bukan tak mungkin, anak tersebut kemudian benar ada enggan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang diberikan.

Sepakat dengan hal itu, dalam Jurnal of Family Medicine and Disease Prevention mengemukakan ada dampak negatif lain terutama jika toksiknya ini berlangsung hingga anak menjadi dewasa. Misalnya perilaku deskruktif seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang sebagai pelarian dari trauma masa kecilnya. 

Kemudian krisis kepercayaan menjalani hubungan, produktivitas kerja rendah, terus menerus merasa cemas, hobi menyalahkan diri sendiri dan yang paling pasti dan cukup mengerikan adalah anak berpotensi menjadi orangtua yang toksik pula. 

Atau secara sederhananya, perilaku toksik yang dimiliki orangtua dalam sebuah pengasuhan dapat menjadi sebuah racun yang diwariskan terhadap anak mereka.


Eh, tapi ini tidak kemudian menyimpulkan bahwa orangtua toksik sudah jahat dari sananya ya, tetapi sebenarnya ada orangtua toksik yang mengidap masalah mental. Karena hal ini pula, kita kembali disadarkan akan pentingnya peduli dan merawat kesehatan mental baik dari diri sendiri maupun orang-orang yang ada di sekitar kita. 

Tidak perlu denial apalagi menyepelekan, tidak usah malu juga apabila perlu bantuan profesional. Kesehatan mental merupakan salah satu syarat untuk membuka lagi komunikasi  yang selama ini kusut bahkan terputus. 

Disini seorang anak bisa menjadi pihak yang mengawali perubahan, maklum beberapa orangtua bahkan tidak menyadari bahwa diri mereka ini toksik. Pelan-pelan aja, dan kalau lelah kamu boleh untuk mengambil waktu untuk sendiri dulu, jauhi sumber masalah meski hanya sebentar. 

Tetap jaga kewarasan karena tantangan terbesarnya adalah bagaimana memutus rantai perilaku toksik agar generasi setelahmu, tidak terpapar 'racun' yang sama.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun