Tentu sepakat bahwa secara filosofis, model segregasi ini dirasa tak logis. Â Bagaimana tidak? Sistem ini mengatakan bahwasanya, ia ada untuk mempersiapkan anak berkebutuhan khusus dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat normal, tapi nyatanya mereka justru dipisahkan dari masyarakat normal itu sendiri. Kalau kita rasakan, ini merupakan sebuah fakta yang begitu menyayat nurani juga hati. Pendidikan yang katanya milik semua, yang katanya setiap manusia memiliki hak dan kapasitas yang sama pula untuk dapat mengenyam yang namanya pendidikan ternyata masih ada yang dibeda-bedakan dengan sebuah alasan pembenaran.Â
Karena itu semua kemudian, dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang datangnya dari hati, salah satunya adalah ia yang sebagian kita masih asing terhadapnya, yaitu pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi, dikatakan sebagai sebuah pendidikan dari hati sebab tak semua orang mampu menyiapkan hati mereka untuk turun dan menyibukkan diri dengan hal ini. Pendidikan inklusi ini adalah sebuah layanan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak untuk belajar secara bersama-sama di sekolah umum dengan memerhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal. Semangat pendidikan  inklusi ini mampu memberi akses seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan mendapatkan layanan pendidikan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.
Sekali lagi, mengapa aku mengatakan bahwa baik pendidikan inklusi, orang-orangnya ataupun mereka yang tergolong sebagai anak-anak inklusi itu sendiri memiliki hati yang besar. Lagi-lagi aku belajar dari salah seorang temanku, Â seorang mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa.
Pekan lalu, aku pergi ke Malang selama satu pekan dan tinggal bersama temanku itu di Kos miliknya. Saat ini ia berada di semester akhir dan sedang melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan. Namun, karena Pandemi, kegiatan tersebut dilaksanakan secara daring. Setiap harinya, temanku menyiapkan hal-hal yang berhubungan dan dibutuhkan untuk mengajar seperti RPP, media pembelajaran, silabus dan tetek bengeknya.
Sudah tentu, sebagai mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa, siswa temanku pun merupakan anak berkebutuhan khusus atau biasa kita sebut sebagai anak luar biasa. Sebagai sesama mahasiswa jurusan pendidikan, aku memahami betul betapa repotnya menjadi seorang calon guru dan hal ini juga membuatku sadar untuk turut mengapresiasi guru-guru ku terdahulu hingga saat ini yang telah mengenalkanku dengan pendidikan dan meyakinkan hatiku untuk turut berkecimpung di dalamnya.
Kembali lagi ke cerita tadi, ternyata mendidik atau memberikan pendidikan ke anak-anak luar biasa susahnya berkali-kali lipat. Ditambah dengan keadaan mendidik yang hanya melalui gawai. Hari itu, temanku memberikan pelajaran 'melipat selimut' kepada siswanya. Aku melihat temanku dari belakang, ia begitu serius saat mengajarkan hal sederhana tersebut. Entah, dalam satu step melipat selimut saja temanku bisa dibilang mengulang-ulangnya hinga berkali-kali sebab ya anak luar biasa biasanya memiliki fokus yang cenderung dibawah anak-anak normal.
Aku berkaca ke diriku sendiri, yang terkadang sering mengeluh dan merasakan susahnya mendidik anak usia dini, ternyata jauh lebih berat lagi tantangannya dalam mendidik anak-anak inklusi. Ketika mendidik anak usia dini butuh stok sabar sejumlah 10, maka bisa dikatakan bahwa mendidik anak inklusi harus dua atau tiga kali lipat lagi. Aku salut terhadap mereka yang peduli akan pentingnya pendidikan inklusi. Aku  salut terhadap semua manusia-manusia berhati besar itu. Aku sangat salut terhadap mereka yang sadar bahwa tak ada perbedaan untuk sama-sama dapat menjalani dan mendapatkan pendidikan. tak ada perbedaan untuk sama-sama mendapat kesempatan memaknai kehidupan.
Tetap semangat! dan semoga tulisan ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H