Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - MedPsych Student at VUW New Zealand | LPDP Scholarship Awardee

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Inklusi, Pendidikan dari Hati

12 September 2020   09:47 Diperbarui: 12 September 2020   12:39 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: tonyatoothman on Pinterest

"Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri."
-John Dewey

Siapa yang bisa hidup tanpa pendidikan? bila ada, ia tak hidup dengan sepenuhnya. Ada makna kehidupan yang tak didapat secara nyata. Pendidikan, tentu banyak maknanya. Pendidikan menurut pribadi A bisa beda artinya bagi pribadi B. Pendidikan untuk anak SMA  jelas berbeda tingkatnya dengan pendidikan untuk anak SD. Kalau bertanya kepadaku, pendidikan itu apa? Menurutku pendidikan itu segalanya. Sebab, ya aku bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa tanpa pendidikan.

Pendidikan itu luas, dari mulai yang tingkatannya sederhana hingga yang luar biasa. Mengapa manusia perlu pendidikan? Sebab, manusia itu berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Manusia itu istimewa. Seseorang yang tak berpendidikan akan selalu dipandang sebelah mata.

Khususnya dewasa ini, lihat saja wajah pendidikannya. Sudah beda jauh dengan pendidikan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Disini, coba kita lihat luarnya. Dulu, anak sekolah tak butuh gawai untuk bersekolah. Namun kini, anak  bersekolah lewat gawai di tangan mereka. Perubahan pasti ada dan selalu memaksa. Kalau kita tak mau berubah, ya kita akan tertinggal dari yang lainnya.

Kalau kembali bertanya, pendidikan itu sebenarnya milik siapa? Tentu, milik semua manusia. Semua manusia memiliki hak untuk menjadi pribadi yang mengenyam pendidikan. Semua pribadi, memiliki hak yang sama untuk dapat berpendidikan. Tapi, apakah semua manusia itu sama? Tidak!

Faktanya, pendidikan tak selalu sama untuk manusia yang dianggap berbeda. Tak sedikit, meskipun dibilang semua manusia itu sama, ternyata dalam pemenuhan pendidikannya, tak selalu sama. Itu semua, dialami oleh mereka. Mereka yang dianggap berbeda. Mereka yang sebenarnya 'luar biasa' tapi dipandang sebelah mata.

Tulisan ini aku khususkan untuk mereka yang ikut berkecimpung dan sadar akan pentingnya pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi ini lahir sebagai bentuk adanya rasa tidak puas terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sistem yang segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus.

Sistem ini dipandang bertentangan dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dimana, tujuan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah untuk mempersiapkan mereka dapat berinteraksi sosial secara mandiri di lingkungan masyarakatnya. Namun pada proses penyelenggaraan pendidikannya, sistem segregasi justru dipisahkan dengan lingkungan masyarakatnya, lihat saja dengan kondisi nyata yang ada di sekitar kita saat ini.

Budiyanto (2006) mengemukakan, bahwa sistem segregasi ini tidak mampu lagi mengemban misi utama pendidikan, yaitu memanusiakan manusia.

Sistem segregatif cenderung diskriminatif, eksklusif, mahal, tak efektif, tak efisien, serta outputnya tidak menjanjikan sesuatu yang positif. Reynold dan Birch (1988) juga berpendapat bahwa model pendidikan yang segregatif ini tidak menjamin kesempatan anak yang berkebutuhan khusus untuk dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal, karena kurikulum yang dirancang pun berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. 

Tentu sepakat bahwa secara filosofis, model segregasi ini dirasa tak logis.  Bagaimana tidak? Sistem ini mengatakan bahwasanya, ia ada untuk mempersiapkan anak berkebutuhan khusus dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat normal, tapi nyatanya mereka justru dipisahkan dari masyarakat normal itu sendiri. Kalau kita rasakan, ini merupakan sebuah fakta yang begitu menyayat nurani juga hati. Pendidikan yang katanya milik semua, yang katanya setiap manusia memiliki hak dan kapasitas yang sama pula untuk dapat mengenyam yang namanya pendidikan ternyata masih ada yang dibeda-bedakan dengan sebuah alasan pembenaran. 

Karena itu semua kemudian, dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang datangnya dari hati, salah satunya adalah ia yang sebagian kita masih asing terhadapnya, yaitu pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi, dikatakan sebagai sebuah pendidikan dari hati sebab tak semua orang mampu menyiapkan hati mereka untuk turun dan menyibukkan diri dengan hal ini. Pendidikan inklusi ini adalah sebuah layanan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak untuk belajar secara bersama-sama di sekolah umum dengan memerhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal. Semangat pendidikan  inklusi ini mampu memberi akses seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan mendapatkan layanan pendidikan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.

Sekali lagi, mengapa aku mengatakan bahwa baik pendidikan inklusi, orang-orangnya ataupun mereka yang tergolong sebagai anak-anak inklusi itu sendiri memiliki hati yang besar. Lagi-lagi aku belajar dari salah seorang temanku,  seorang mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa.

Pekan lalu, aku pergi ke Malang selama satu pekan dan tinggal bersama temanku itu di Kos miliknya. Saat ini ia berada di semester akhir dan sedang melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan. Namun, karena Pandemi, kegiatan tersebut dilaksanakan secara daring. Setiap harinya, temanku menyiapkan hal-hal yang berhubungan dan dibutuhkan untuk mengajar seperti RPP, media pembelajaran, silabus dan tetek bengeknya.

Sudah tentu, sebagai mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa, siswa temanku pun merupakan anak berkebutuhan khusus atau biasa kita sebut sebagai anak luar biasa. Sebagai sesama mahasiswa jurusan pendidikan, aku memahami betul betapa repotnya menjadi seorang calon guru dan hal ini juga membuatku sadar untuk turut mengapresiasi guru-guru ku terdahulu hingga saat ini yang telah mengenalkanku dengan pendidikan dan meyakinkan hatiku untuk turut berkecimpung di dalamnya.

Kembali lagi ke cerita tadi, ternyata mendidik atau memberikan pendidikan ke anak-anak luar biasa susahnya berkali-kali lipat. Ditambah dengan keadaan mendidik yang hanya melalui gawai. Hari itu, temanku memberikan pelajaran 'melipat selimut' kepada siswanya. Aku melihat temanku dari belakang, ia begitu serius saat mengajarkan hal sederhana tersebut. Entah, dalam satu step melipat selimut saja temanku bisa dibilang mengulang-ulangnya hinga berkali-kali sebab ya anak luar biasa biasanya memiliki fokus yang cenderung dibawah anak-anak normal.

Aku berkaca ke diriku sendiri, yang terkadang sering mengeluh dan merasakan susahnya mendidik anak usia dini, ternyata jauh lebih berat lagi tantangannya dalam mendidik anak-anak inklusi. Ketika mendidik anak usia dini butuh stok sabar sejumlah 10, maka bisa dikatakan bahwa mendidik anak inklusi harus dua atau tiga kali lipat lagi. Aku salut terhadap mereka yang peduli akan pentingnya pendidikan inklusi. Aku  salut terhadap semua manusia-manusia berhati besar itu. Aku sangat salut terhadap mereka yang sadar bahwa tak ada perbedaan untuk sama-sama dapat menjalani dan mendapatkan pendidikan. tak ada perbedaan untuk sama-sama mendapat kesempatan memaknai kehidupan.


Tetap semangat! dan semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun