Tulisan ini terinspirasi dari seorang temanku, tentang ia yang pada masa kecilnya begitu suka bernyanyi, suaranya merdu dan ia memiliki cita-cita ingin jadi seorang penyanyi terkenal.Â
Kami lama sekali tak bersua dan berbagi cerita. Terakhir saling menyapa adalah saat kami berdua sama-sama belum bersekolah dasar. Kami terpisah sebab ia dan keluarganya pindah rumah. Untuk mencairkan suasana yang sedikit canggung karena lama tak jumpa, aku kemudian meminta dia bernyanyi, namun dia menjawab, "Aku tak lagi suka bernyanyi Puj", ujarnya.
Aku pun bertanya pada temanku untuk mendengar alasannya dan temanku menjawab, "Dulu, Orangtuaku bilang, suaraku jelek pas aku bilang mau jadi penyanyi. Mereka bilang, gaji penyanyi itu sedikit dan tidak pasti. Udah, mending jadi pegawai aja gajinya tetap. Kamu bisa hidup nyaman".Â
Mendengar jawaban temanku, sontak aku kaget yang bukan tanpa alasan. Memang benar sih, orangtua pasti menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Ingin anaknya ketika dewasa memiliki gaji tetap dan hidup nyaman. Tapi, kalian bisa menerka tidak, di mana letak kejanggalannya?
Yap, karena hal itu dikatakan oleh orangtuanya sendiri, yang mana saat itu temanku masih kecil bahkan belum masuk sekolah dasar. Terlalu dini, untuk orangtua mengatakan hal itu semua.Â
Untuk menjawab rasa penasaranku, aku mulai mencari data terkait hal tersebut. Mirisnya, benar saja. Orangtua dan lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah faktor pertama dan utama yang membuat anak kehilangan minat, percaya diri, kreativitas, bahkan bakat yang dimilikinya saat usia dini karena kurangnya respon dan juga tanggapan.
Hal tersebut juga terus mengalami peningkatan dengan semakin sempitnya pola pikir orangtua akan pentingnya untuk mendukung bakat serta kreativitas yang dimiliki oleh anak sejak dini.
Sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari perihal dunia anak usia dini, semakin dalam aku belajar dan membandingkannya dengan kondisi di lapangan, bukan sebuah terang yang aku dapat, namun, gelap yang semakin tersingkap. Banyak hal tidak wajar yang kemudian terungkap. Ada hal yang perlu diubah, namun butuh lebih banyak tangan lagi untuk mengubah hal tersebut.
Sebagai orang Indonesia, kamu pasti akrab dengan istilah nyinyir bukan? Apabila melihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, nyinyir berarti mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh, atau cerewet.
Apabila kita sambungkan dengan konteks kasus yang dialami temanku, di mana orangtuanya nyinyir sebab temanku ingin menjadi penyanyi sejak berusia dini.Â
Barangkali, apabila orangtuanya hanya berkata satu kali, kita sebagai seorang anak usia dini (yang cenderung masih sering mendengarkan perintah dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri) tidak akan mengubris hal tersebut. Tapi, ketika nyinyiran orangtua terus terjadi berulang-ulang, maka sebagai seorang anak, pasti akan ditanggapi sebagai hal yang serius.
Aku mencoba mengingat lagi dengan peristiwa serupa yang pernah aku alami saat aku masih berusia dini. Dulu, aku pernah dibilang tomboy karena aku punya kakak laki-laki, sehingga menyebabkan perilaku dan perangaiku juga nampak seperti laki-laki.Â
Sejak kecil, aku suka sekali berlari, bermain bola, atau bahkan memanjat pohon. Diamini oleh cerita bapak yang bilang, kecerdasan motorikku memang sudah bagus sejak kecil. Aku dapat berjalan terlebih dahulu, sebelum bisa ngomong. Aku bisa berlari terlebih dahulu, padahal anak-anak seusiaku masih belajar berjalan.
Kalau ditanya cita-cita masa kecil, aku ingat sekali kalau aku pengen jadi atlet. Ingat sekali ketika lomba 17 Agustus-an di kampungku, aku pasti ikut lomba yang ada hubungannya dengan lari. Tapi, sejak mau masuk SD aku sudah tak lagi suka berlari. Alasannya bukan sebab nyinyiran orangtuaku, tapi nyiyiran orangtua di kampungku.
Aku, tinggal di sebuah kampung, di mana biasanya orang kampung percaya, kalau anak perempuan itu harus anggun, kemayu, lembut atau secara sederhananya, perempuan itu harus feminim. Dan kalau aku berkaca pada aku yang dulu, bisa dibilang itu bukan aku banget!
Aku yang dulu ya seperti apa yang sudah aku ceritakan di atas. Aku bisa dibilang yang paling tidak feminim dibandingkan dengan teman main perempuanku yang lainnya.Â
Ketika anak perempuan seusiaku saat itu lebih suka bermain masak-masakan atau pasar-pasaran, aku lebih suka berangkat ke lapangan bermain bola, bermain bentengan  atau sekadar kejar-kejaran yang bisa aku manfaatkan untuk melatih kemampuan berlariku dan hal itu membuatku senang. Tapi tentu saja, itu semua tinggal kenangan sejak seringnya kudengar, orangtua temanku yang berkata seperti ini:
"Perempuan kok tingkahnya seperti itu, ke mana-mana sukanya lari-lari. Cobak lebih kalem dikit. Kalau disuruh beli apa-apa ke warung, gak usah pakai lari-lari. Gak usah grasa-grusu! Liat loh teman perempuannya yang lain, pada kalem kok."
Ya, kalimat itu. Kalimat yang membuat kakiku enggan lagi berlari cepat. Aku mendengarnya hampir setiap hari. Bagaimana tidak, tetanggaku yang mengatakan begitu.Â
Tentu, ia juga seorang orangtua. Meski bukan orangtuaku, bukan tak mungkin untuk aku menganggapnya sebuah hal yang tak biasa. Di-nyinyiri oleh orang dewasa khususnya ia yang sudah menjadi orangtua, rasanya menyakitkan.
Dari sana aku berpikir bahwa semua anak perempuan harus dilatih berlemah lembut sejak kecil dan aku harus merubah diriku menjadi seperti itu. Tapi dampak yang paling besar, yang baru aku sadari sekarang adalah aku kehilangan semangat untuk menjadi seorang atlet, mengapa?Â
Ya aku adalah seorang perempuan. Perempuan tak baik bila senang berlari kencang, perempuan harus lemah lembut dan harus harus lagi yang lainnya menurut tuntutan lingkungan. Aku tersadar, bakat yang aku miliki telah terusir, bukan sebab kesalahan yang aku lakukan, tapi karena sebuah nyinyiran.
Dahsyat banget bukan dampak dari sebuah nyinyiran yang tak semestinya anak kecil dapatkan?Â
Mengapa aku menggunakan konotasi bakat anak terusir, bukankah seharusnya terkubur? Sebab, menurutku antara terusir dan terkubur memiliki beda pemaknaan.Â
Sebuah bakat terkubur itu karena tidak diasah sejak kecil. Makanya, bakat itu kemudian terkubur namun masih ada kemungkinan untuk kembali muncul apabila digali.
Misalkan nih ya, temanku yang suka bernyanyi tadi, ia memiliki bakat dalam dunia tarik suara, tapi karena ia enggan bernyanyi dan tak pernah melatih kemampuan nyanyinya, maka bakatnya akan terkubur atau tenggelam.Â
Kalau kamu membaca tulisanku yang sebelumnya yang berjudul "Sama yang Berbeda: Otak, Pikir, dan Anak", di sana aku menekankan bahwa setiap anak itu memiliki yang namanya bakat lahiriah. Sebab faktor keturunan dan dipengaruhi juga oleh lingkungan.
Nah, bakat yang terkubur tadi dapat digali dan kembali muncul apabila lingkungan mendukungnya. Seperti, orangtua temanku sadar, bahwa anaknya memiliki bakat dalam bernyanyi, kemudian keduanya mendaftarkan temanku ke tempat les privat musik. Seiring berjalannya waktu, akhirnya bakat temanku bahkan menjadi lebih terasah dan luar biasa.
Lain halnya dengan sebuah bakat yang terusir. Terusir di sini, sebab bakat itu sudah tidak lagi dianggap hal yang istimewa.Â
Ketika sebuah bakat terusir, untuk dapat kembali, diasah, serta dilatih menjadi sangat sulit. Bayangkan saja, kamu memiliki sebuah kalung yang paling kamu sukai, kemudian ada orang yang mengatakan,"Ih, cuma kalung kaya gitu doang, banyak kok kalung yang lebih bagus. Ngapain juga menyayangi kalung kaya gitu".
Kira-kira apa yang akan kamu lakukan pada kalung yang kamu miliki setelah mendengar kata yang seperti itu?Â
Ada banyak kemungkinan. Kemungkinan pertama, kamu akan melepas kalung itu. Kedua, menyembunyikannya. Kemungkinan ketiga atau bahkan yang paling buruk adalah membuangnya. Sama halnya kalung tadi dengan sebuah bakat.Â
Suatu kelebihan yang dimiliki oleh seorang anak usia dini, yang sepatutnya wajar apabila ia membanggakan dan berlanjut mengasahanya, bukan justru hilang dengan disengaja karena nilai berharganya telah dipatahkan.
Yuk coba deh dipikirkan lagi, kalau kamu yang membaca tulisan ini adalah orangtua, pemberi kalung yang begitu disayangi oleh anak tadi. Lalu tahu kalungnya telah dibuang dan hilang. Apa yang kira-kira kamu rasakan? Sedih bukan? Atau malah marah kepada anak kenapa kalung tersebut dibuang?Â
Ya aku hanya bisa menduga-duga. Tapi, semoga saja kamu tidak menjadi salah satu dari alasan anak untuk membung kalung yang ia miliki tadi. Kamu tidak menjadi salah satu dari alasan anak untuk mengusir bakat yang ia miliki tadi.
Terakhir, aku memiliki pesan. Benar kata pepatah yang mengatakan, hati-hati menjaga lisan, menjaga omongan. Sebab, ia mampu mematahkan, dan memotong satu hal yang terkadang tidak nampak di kenyataan.Â
Jangan sampai, kamu menjadi salah seorang dari mereka yang sukanya nyinyir, ketika melihat sesuatu. Sudah sepatutnya, kamu lebih bijak dalam membaca keadaan.
Ketika melihat ada anak usia dini yang memiliki kalung dalam makna "bakat" itu tadi, janganlah nyinyir. Hati-hati bakat anak terusir. Jadilah pemberi semangat serta alasan bagi anak untuk lebih lagi menyanyangi kalung yang ia miliki. Ketika ia menyayangi kalung tersebut, sudah pasti ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin.
Bagaimana, mau menjadi salah satu alasan untuk anak dapat menyayangi, atau malah alasan anak membuang kalung kesayangannya?
Semoga tulisan ini bermanfaat....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H